Bukan Kartel, IFSoc Tegaskan Aturan Batas Bunga Pinjol Demi Perlindungan Publik
- Dugaan kartel bunga fintech lending tahun 2018 kembali mencuat. IFSoc menilai kebijakan tersebut penting bagi ekosistem pinjol yang sehat dan aman bagi peminjam.

Ananda Astri Dianka
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Indonesia Fintech Society (IFSoc) menanggapi perkembangan kasus dugaan kartel yang tengah diselidiki Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait penetapan batas atas suku bunga fintech lending. Menurut IFSoc, isu ini perlu ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas, terutama menyangkut kepentingan perlindungan konsumen dan penataan pelaku industri.
IFSoc merupakan forum diskusi kebijakan di sektor teknologi finansial yang beranggotakan sejumlah ekonom senior seperti Hendri Saparini, A. Prasetyantoko, Yose Rizal, praktisi tata kelola Syahraki Syahrir, perwakilan modal ventura Eddi Danusaputro, mantan Menkominfo Rudiantara, mantan Komisioner OJK Tirta Segara, hingga mantan Asisten Gubernur BI Dyah Nastiti.
- Baca Juga: AFPI Tegaskan Tidak Pernah Ada Kesepakatan Harga untuk Bunga Pinjol
Salah satu Dewan Pengarah IFSoc sekaligus mantan Komisioner OJK 2017–2022, Tirta Segara, menegaskan bahwa penetapan batas atas bunga pinjaman bukanlah kartel. “Saat itu OJK memberikan arahan kepada AFPI untuk menata perilaku pasar melalui Code of Conduct. Kebijakan ini menjadi pijakan awal lahirnya ketentuan resmi pada 2023 melalui SEOJK 19/SEOJK.06/2023. Tujuannya jelas: melindungi masyarakat dari praktik pinjol ilegal yang mengenakan bunga sangat tinggi,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu 3 September 2025.
Senada dengan Tirta, anggota Dewan Pengarah IFSoc lainnya, Syahraki Syahrir, menyebutkan bahwa kebijakan tersebut justru memberikan manfaat nyata. “Kita melihat bunga pinjaman yang semula sangat tinggi akhirnya bisa ditekan. Batas atas ini berfungsi sebagai pagar pengaman, sementara harga tetap bergerak mengikuti mekanisme pasar,” katanya.
Sebagai catatan, OJK pada 2018 menginstruksikan AFPI untuk menetapkan batas bunga fintech lending maksimal 0,8% per hari melalui Code of Conduct. Aturan ini kemudian diperketat menjadi 0,4% pada 2021. Selanjutnya, OJK mengambil alih langsung melalui SEOJK 19/SEOJK.06/2023 yang membatasi bunga maksimal 0,3% untuk pinjaman konsumtif dan 0,1% untuk pinjaman produktif.
Tirta menekankan, kebijakan tersebut tidak bisa dianggap sebagai penyeragaman harga. “Yang ditetapkan adalah batas atas, bukan batas bawah. Fakta menunjukkan ruang kompetisi tetap terbuka karena banyak pelaku fintech menetapkan bunga berbeda sesuai strategi bisnis masing-masing. Jadi tidak tepat jika dikatakan ada kartel,” jelasnya.
Lebih lanjut, Syahraki mendorong KPPU dan OJK untuk duduk bersama mencari titik temu. “Jika terbukti menimbulkan distorsi pasar, kebijakan ini bisa dievaluasi. Namun prioritas utamanya tetap perlindungan konsumen. Kita butuh ekosistem yang melindungi peminjam dari praktik eksesif sekaligus menjaga kompetisi dan inovasi industri fintech,” tegasnya.

Ananda Astri Dianka
Editor
