BlackRock Peringatkan Bom Waktu Utang AS, Apa Dampaknya Bagi Kita?
- Situasi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: jika "rumah" investasi terbesar di dunia sedang goyah, apa dampaknya bagi kita dan bagaimana kita harus menyikapinya?

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA - Manajer aset terbesar di dunia, BlackRock, baru saja merilis pandangan yang cukup membuat pasar waspada. Dalam laporan prospek kuartal III-2025 mereka, BlackRock menyebutkan bahwa tumpukan utang pemerintah Amerika Serikat (AS) berpotensi menjadi risiko terbesar bagi dominasi pasar keuangan negara tersebut.
Peringatan ini bukan tanpa alasan. Utang pemerintah federal AS yang sudah mencapai lebih dari US$ 36 triliun berpotensi membengkak lagi hingga US$ 5 triliun dalam satu dekade ke depan akibat RUU pajak dan belanja baru dari Presiden Donald Trump.
Situasi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: jika "rumah" investasi terbesar di dunia sedang goyah, apa dampaknya bagi kita dan bagaimana kita harus menyikapinya? Mari kita bedah peringatan dari BlackRock ini menjadi lima pelajaran penting.
- Saham AS dan Bitcoin Cetak Rekor, Tapi Harus Waspada Sama Faktor Ini
- Kemenkes Dinilai Adopsi Aturan Asing dalam PP 28/2024
- Trump vs Energi Hijau: Pasar Mobil Listrik Terpecah, Nasib Ekspor RI di Ujung Tanduk
1. Manajer Investasi Terbesar Dunia Lagi 'Cemas', Ada Apa?
Pelajaran pertama adalah ketika raksasa seperti BlackRock merasa cemas, kita perlu mendengarkan. Mereka secara terang-terangan menyebut posisi utang pemerintah AS yang genting sebagai "satu-satunya risiko terbesar bagi 'status khusus' AS di pasar keuangan."
Artinya, status dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia dan obligasi pemerintah AS (US Treasury) sebagai aset paling aman di dunia, kini mulai dipertanyakan. Ini adalah sebuah pergeseran fundamental yang bisa mengubah peta investasi global.
Kecemasan ini diperparah oleh fakta bahwa pemerintah AS kini harus menerbitkan lebih dari setengah triliun dolar utang baru setiap minggunya. Ada risiko nyata bahwa pasar tidak akan mampu menyerap semua utang ini, yang bisa menimbulkan gejolak.
Peringatan dari pemain sebesar ini tentu punya gaung hingga ke pasar negara berkembang. Gejolak di pasar keuangan terbesar dunia mau tidak mau akan menciptakan riak yang bisa sampai ke bursa saham di Jakarta dan memengaruhi sentimen investor lokal.
2. Utang Numpuk, Dolar & Obligasi Bisa 'Kurang Seksi'
Konsekuensi paling logis dari utang yang menumpuk adalah menurunnya kepercayaan investor. BlackRock memperingatkan bahwa minat investor, terutama investor asing, terhadap aset-aset utama AS seperti obligasi pemerintah jangka panjang dan dolar bisa melemah.
Jika hal ini terjadi, investor akan mulai mencari alternatif investasi di luar perbatasan AS, yang bisa memicu pelemahan dolar. Isu ini diperkuat oleh kebijakan tarif yang diterapkan Presiden Trump, yang juga menimbulkan keraguan atas status dolar.
Meskipun de-dolarisasi atau ditinggalkannya dolar sebagai mata uang dunia masih jauh dari kenyataan, tumpukan utang ini dianggap mempercepat munculnya risiko tersebut. Investor akan berpikir dua kali untuk menyimpan asetnya dalam mata uang negara yang utangnya terus membengkak.
Bagi negara seperti Indonesia, pelemahan dolar bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, Rupiah berpotensi menguat dan beban utang luar negeri menjadi lebih ringan. Namun di sisi lain, ketidakpastian global bisa memicu investor asing untuk ragu menempatkan dananya di aset berisiko.
3. Anomali Aneh di Pasar: Suku Bunga Turun, Imbal Hasil Malah Naik?
Salah satu risiko paling menarik yang diungkap BlackRock adalah potensi terjadinya anomali di pasar obligasi. Secara teori, jika bank sentral (The Fed) memangkas suku bunga, maka imbal hasil atau yield obligasi seharusnya ikut turun.
Namun, karena pasokan utang baru yang membanjiri pasar, BlackRock melihat skenario sebaliknya bisa terjadi: The Fed memangkas suku bunga, tetapi yield obligasi jangka panjang justru malah naik. Ini adalah sinyal bahwa pasar lebih takut pada risiko utang daripada tergiur oleh suku bunga rendah.
Anomali ini menjadi krusial bagi Bank Indonesia dan pemerintah. Kenaikan imbal hasil obligasi AS bisa membuat Surat Berharga Negara (SBN) kita terlihat kurang menarik, sehingga berisiko memicu keluarnya dana asing dari pasar obligasi domestik.
4. Strategi BlackRock: 'Jangan Taruh Semua Telur di Keranjang Amerika'
Menghadapi risiko ini, rekomendasi utama dari BlackRock sangat jelas dan klasik: diversifikasi. Namun, kali ini diversifikasi yang disarankan lebih spesifik, yaitu "beralih ke peluang di luar perbatasan AS."
Ini adalah saran bagi investor global untuk mengurangi eksposur yang terlalu terkonsentrasi di AS. Mereka diimbau untuk mencari peluang di negara atau kawasan lain, termasuk pasar negara berkembang seperti Indonesia yang menawarkan cerita pertumbuhan berbeda, asalkan fundamental ekonomi domestik tetap terjaga.
Pesan ini bisa diartikan sebagai "jangan menaruh semua telurmu di keranjang Amerika". Di tengah potensi guncangan, menyebar investasi ke berbagai negara adalah strategi manajemen risiko yang paling bijaksana, dan ini bisa menjadi peluang masuknya dana ke pasar modal kita.
5. Lirik Obligasi Jangka Pendek, 'Teman Baik' Saat Suku Bunga Turun
Meskipun menyarankan untuk diversifikasi ke luar AS, BlackRock masih melihat ada satu "safe haven" atau tempat berlindung yang menarik di dalam pasar AS sendiri, yaitu obligasi pemerintah jangka pendek (short-term US Treasury).
Berbeda dengan obligasi jangka panjang yang rentan terhadap isu utang, obligasi jangka pendek justru bisa diuntungkan dari rencana The Fed untuk memangkas suku bunga. Harganya cenderung akan naik jika suku bunga acuan benar-benar dipotong.
Oleh karena itu, strategi yang disarankan adalah mengurangi porsi di obligasi jangka panjang dan memindahkannya ke obligasi jangka pendek. Ini adalah cara taktis untuk tetap mendapatkan keuntungan dari kebijakan moneter The Fed sambil menghindari risiko utang jangka panjang.
Rekomendasi ini juga menjadi pengingat bagi investor di Indonesia. Di saat krisis global, seringkali dana akan mencari 'tempat berlindung' yang paling likuid dan aman, bahkan jika itu berarti tetap berada di dalam pasar AS, meskipun dalam instrumen yang berbeda.

Alvin Bagaskara
Editor
