Tren Global

Belajar dari Thailand: Kerusuhan Sipil Tak Terkendali Buka Jalan Kudeta Militer

  • Kudeta militer Thailand 2014 menggulingkan pemerintahan sipil dan membuka jalan bagi rezim junta. Kini, kisah itu menjadi peringatan bagi Indonesia yang tengah dilanda gelombang demonstrasi dan krisis politik.
thailand.jpg

 JAKARTA, TRENASIA.ID – Pada 22 Mei 2014, lembaran hitam demokrasi kembali ditorehkan di Asia Tenggara. Di Bangkok, tank-tank militer merangsek masuk pusat kota, jalan-jalan utama diblokade, siaran televisi diputus serentak, dan segala bentuk protes rakyat dibungkam. 

Dalam sekejap, pemerintahan sipil yang sah ambruk, digantikan oleh kekuasaan berseragam. Kudeta militer yang dipimpin Jenderal Prayut Chan ocha menggulingkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, melanjutkan tradisi panjang intervensi militer di negeri gajah putih. 

Dengan dalih menjaga stabilitas, junta mengklaim langkah itu sebagai “jalan keluar” dari kebuntuan politik. Namun faktanya, kudeta tersebut membuka jalan panjang bagi dominasi militer yang hingga kini masih membayangi demokrasi Thailand.

Dimulai dari Gejolak Politik

Dilansir TrenAsia dari berbagai sumber, Senin, 1 September 2025, Gejolak politik Thailand sendiri bermula pada 2013, ketika pemerintahan Yingluck mendorong RUU Amnesti. Regulasi ini dituding hanya akal-akalan untuk memulangkan Thaksin Shinawatra, mantan PM sekaligus kakaknya, yang hidup di pengasingan setelah divonis bersalah dalam kasus korupsi. 

Protes besar pun meledak, kelompok People's Democratic Reform Committee (PDRC) yang dipimpin Suthep Thaugsuban mengerahkan massa dalam jumlah masif, menuntut pembentukan “dewan rakyat” non-elektoral. 

Blokade jalan raya, pendudukan gedung pemerintahan, hingga bentrokan di jalanan menjadi pemandangan sehari-hari di Bangkok. Situasi kian panas hingga Desember 2013, ketika Yingluck membubarkan parlemen dan menyerukan pemilu cepat. Harapan agar demokrasi menjadi jalan keluar justru pupus.

Baca juga : IHSG Ditekan Asing, Hanya 3 Saham Komoditas LQ45 Ini yang Jadi Jawara Pekan Lalu

Pemilu Februari 2014 tak mampu berjalan mulus. Blokade massa oposisi membuat pemungutan suara di banyak daerah gagal dilakukan. Mahkamah Konstitusi pun membatalkan hasil pemilu, meninggalkan kekosongan legitimasi. 

Dalam kondisi itulah militer turun tangan. Pada 20 Mei 2014, darurat militer diberlakukan. Dua hari berselang, kudeta resmi diumumkan. Pemerintahan Yingluck digulingkan, parlemen dibubarkan, para politisi oposisi dan aktivis ditangkap, media massa dibungkam, dan jam malam diberlakukan. 

Sejak kudeta, Thailand menjalani rezim yang dikelola oleh National Council for Peace and Order (NCPO), junta militer yang diketuai langsung oleh Jenderal Prayut. 

Hak sipil dipangkas dengan larangan pertemuan lebih dari lima orang, para pengkritik rezim ditahan tanpa pengadilan, dan kebebasan akademik ikut dikekang. Media dikontrol ketat, stasiun televisi dan media asing diblokir, berita disensor, dan jurnalis diintimidasi. 

Junta juga mengesahkan konstitusi sementara yang memberi kekuasaan absolut serta kekebalan hukum bagi militer. Meski kemudian Thailand menggelar pemilu pada 2019, banyak pihak menilai proses itu hanya “kosmetik”. Jenderal Prayut tetap bertahan sebagai Perdana Menteri melalui mekanisme yang dianggap tidak adil.

Sepuluh tahun pasca-kudeta, demokrasi Thailand belum sepenuhnya pulih. Struktur politik masih dirancang agar militer tetap berpengaruh, bahkan setelah ada pergantian pemerintahan sipil. 

Generasi muda yang menggelar protes besar pada 2020–2021 pun kembali berhadapan dengan represi. Thailand adalah cermin tentang rapuhnya demokrasi bila konflik politik tidak terkelola. Kudeta 2014 menunjukkan bagaimana jalan buntu politik bisa berujung pada intervensi militer, yang justru memperpanjang krisis alih-alih menyelesaikannya.

Baca juga : Resep IHSG Hari Ini Menurut Analis: Antara Kepanikan dan Data Ekonomi

Cermin untuk Indonesia

Kisah Thailand menjadi peringatan yang relevan bagi Indonesia hari ini. Menjelang akhir Agustus 2025, suasana politik dalam negeri memanas dengan demonstrasi hampir setiap hari. Ribuan massa turun ke jalan menolak kebijakan pemerintah, sementara isu militerisasi sipil semakin menambah ketegangan.

Kerusuhan bahkan merembet ke tindakan anarkis, penjarahan rumah anggota DPR, perusakan dan penjarahan kediaman menteri, hingga bentrokan antara aparat dan pengunjuk rasa. Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya stabilitas jika demokrasi tidak dikelola dengan baik.

Sejarah Thailand membuktikan, kebuntuan politik bisa membuka pintu bagi militer untuk mengambil alih kekuasaan dengan dalih “menyelamatkan negara.” 

Bila demonstrasi di Indonesia terus berlanjut tanpa solusi, risiko terjadinya krisis legitimasi bisa membesar dan jalan menuju skenario seperti Thailand bukanlah hal mustahil.