Tren Leisure

Awalnya Ruang Interaksi, Medsos Kini Jadi Ancaman untuk Anak

  • Dari USENET hingga Facebook, evolusi media sosial membawa manfaat besar, tetapi risikonya terhadap anak dan remaja membuat negara-negara mulai memperketat regulasi.
Media sosial.
Media sosial. (Freepik)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Pembahasan mengenai media sosial kembali mengemuka di tengah meningkatnya kekhawatiran global terkait keselamatan anak dan kesehatan mental remaja. 

Di balik pesatnya pertumbuhan platform digital ini, terdapat dua isu yang saling berkaitan, bagaimana media sosial bermula, dan mengapa kini dianggap berbahaya bagi pengguna muda.

Kemunculan media sosial tidak terjadi secara tiba-tiba. Perkembangan ini bermula dari platform diskusi daring sederhana pada era 1970-an. 

Sejumlah catatan sejarah digital, dikutip dari Encyclopaedia Britannica, Senin, 24 November 2025, menyebut bahwa teknologi komunikasi berbasis jaringan seperti USENET merupakan cikal bakal media sosial karena memungkinkan pengguna bertukar pesan dalam komunitas virtual.

Memasuki akhir 1990-an, konsep jejaring sosial modern mulai terbentuk melalui SixDegrees (1997) yang memperkenalkan fitur profil pribadi dan daftar pertemanan.

Evolusi kemudian berlanjut dengan hadirnya Friendster, MySpace, hingga Facebook pada 2004 yang menjadi tonggak transformasi besar dalam cara manusia berinteraksi.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, analisis teknologi dikutip dari More Than Digital menyatakan bahwa media sosial berkembang bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi menjadi ruang sosial baru yang memengaruhi ekonomi, budaya pop, hingga perilaku generasi muda.

Baca juga : BREN dan BRMS Masuk MSCI, IHSG Langsung Ngegas Tembus ATH

Mengapa Medsos Kini Dianggap Berbahaya?

Di balik manfaat besar yang ditawarkan, berbagai lembaga internasional mulai mengungkap risiko serius yang muncul di kalangan anak dan remaja. Temuan World Health Organization (WHO), dalam laporan kajian kesehatan digital mereka, mencatat peningkatan signifikan remaja yang mengalami gangguan mental akibat paparan media sosial yang berlebihan sejak 2018 hingga 2024.

Kajian lain dari US Surgeon General, menunjukkan bahwa remaja yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari menghadapi risiko dua kali lipat mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan tidur. Faktor algoritma yang mendorong konten ekstrem atau sensasional dianggap memperburuk kondisi ini.

Selain itu, organisasi perlindungan anak internasional, dikutip dari laporan SOS Children’s Villages, menyoroti meningkatnya kasus perundungan siber, pelecehan, eksploitasi seksual, hingga pencurian identitas yang kerap menimpa pengguna di bawah umur.

Para ahli juga menekankan bahwa banyak platform digital dirancang untuk meningkatkan waktu layar, bukan keamanan pengguna. Hal ini menyebabkan anak dan remaja mudah terpapar konten berbahaya tanpa perlindungan memadai.

Berbagai negara kini mengambil langkah untuk membatasi akses anak terhadap media sosial. Pemerintah Australia dan Malaysia dilaporkan akan menerapkan kebijakan menonaktifkan akun pengguna di bawah 16 tahun untuk mengurangi risiko kesejahteraan mental.

Baca juga : QRIS Tap Beroperasi di 14 Provinsi, Ini Manfaatnya Buat Kamu

Sejumlah negara Eropa seperti Prancis, Spanyol, dan Italia, turut menguji teknologi verifikasi usia demi mencegah anak membuka akun palsu. Sementara Indonesia, mulai memperkuat regulasi penyaringan konten dan kewajiban verifikasi identitas.

Tren pembatasan ini menunjukkan bahwa isu keselamatan digital bukan lagi perdebatan akademis, tetapi kebutuhan mendesak untuk melindungi generasi muda.

Media sosial yang awalnya dirancang sebagai sarana interaksi telah berkembang menjadi ruang global dengan dampak multidimensi. Namun, bersamaan dengan manfaatnya, risiko terhadap anak dan remaja juga meningkat tajam. 

Karena itu, langkah kolektif, baik regulasi, edukasi literasi digital, maupun pengawasan orang tua, menjadi kunci untuk memastikan media sosial tetap menjadi ruang yang aman.