Tren Pasar

Asing Masuk Rp30 Triliun, Mengapa Saham Blue Chip Masih Kalah dari Lapis Dua?

  • Meski asing guyur dana Rp30 triliun di semester II-2025, performa saham blue chip (LQ45) masih tertinggal jauh dari saham lapis dua. Simak analisis Infovesta dan Kiwoom Sekuritas.
Aktifitas Bursa Saham - Panji 4.jpg
Pekerja berjalan di depan layar yang menampilkan pergerakan saham di Mail Hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta 17 Oktober 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Saham blue chip terpantau masih tertinggal dibandingkan saham lapis dua terafiliasi konglomerat pada periode tahun berjalan. Padahal, pasar modal Indonesia telah mendapat tenaga tambahan dari aliran modal asing yang mencapai Rp30 triliun sepanjang semester II-2025 sebagai dampak positif sentimen global.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, indeks LQ45 hanya tumbuh 3,25% ytd, jauh di bawah IHSG yang melejit 21,61% ytd. Kesenjangan ini mencolok jika dibandingkan indeks IDX SMC Composite yang melonjak hingga 49,54% ytd, mencerminkan dominasi saham lapis dua atas saham keping biru konvensional sepanjang tahun ini.

Arus modal asing yang masuk secara masif belum mampu mengangkat performa saham keping biru di pengujung tahun. Fenomena ini memicu anomali karena kinerja indeks LQ45 tertinggal jauh dari lonjakan harga saham lapis dua. Berikut lima fakta utama yang mendasari dinamika arus modal serta tertinggalnya saham berkapitalisasi besar:

1. Arus Balik Dana Asing Capai Rp30,82 Triliun

Investor asing terpantau mulai kembali agresif masuk ke pasar saham RI sejak pertengahan tahun. Pada 29 Juni 2025, nilai jual bersih (net sell) asing tercatat mencapai Rp53,21 triliun ytd. Namun, per 19 Desember 2025, angka tersebut menyusut menjadi Rp22,39 triliun ytd.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu enam bulan terakhir (semester II-2025), investor asing telah menggelontorkan dana mencapai Rp30,82 triliun. Kendati demikian, aliran dana jumbo ini belum mampu mengangkat performa indeks blue chip secara signifikan karena arah modal yang lebih selektif.

2. Kesenjangan Tajam LQ45 vs Saham Lapis Dua

Terdapat anomali performa antara saham big caps dan mid-small caps. Indeks LQ45 yang tumbuh moderat 3,25% ytdmencerminkan beratnya langkah saham-saham berkapitalisasi besar. Sebaliknya, indeks IDX SMC Composite yang berisi saham lapis dua justru meroket 49,54% ytd.

Kesenjangan ini menunjukkan bahwa motor penggerak indeks sepanjang tahun 2025 lebih banyak didominasi oleh saham-saham menengah yang terafiliasi dengan konglomerat besar. Saham-saham ini bergerak lebih lincah dan responsif terhadap sentimen domestik dibandingkan saham keping biru konvensional.

3. Aksi Jual Asing di Saham Perbankan Jumbo

Di tengah tren inflow secara keseluruhan, sejumlah saham berkapitalisasi pasar besar justru menjadi sasaran jual investor asing dalam sebulan terakhir. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) mencatatkan net sell asing terbesar mencapai Rp5,03 triliun.

Beberapa saham lain yang juga dilepas asing meliputi PT Bumi Resources Tbk (BUMI) sebesar Rp2,06 triliun, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Rp953,58 miliar, serta PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) sebesar Rp872,6 miliar. Aliran keluar ini menjadi alasan utama mengapa indeks LQ45 cenderung jalan di tempat.

4. Potensi Santa Claus Rally

Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, menjelaskan bahwa momentum Santa Claus Rally didorong oleh penurunan suku bunga The Fed yang membuat biaya modal global lebih rendah. Aset emerging markets seperti Indonesia kini menjadi jauh lebih menarik bagi manajer investasi global.

Stabilitas makro ekonomi menjadi kunci bagi kembalinya minat asing ke pasar reguler. "Dalam 1–2 bulan ke depan, saya melihat peluang aliran dana asing kembali meningkat, terutama jika rupiah stabil dan outlook penurunan suku bunga BI pada semester I-2026 semakin kuat," ujar Ekky. 

5. Proyeksi Rebound Perbankan 

Sementara itu, analis Kiwoom Sekuritas, Miftahul Khaer, memproyeksikan pergerakan dana asing ke depan akan cenderung lebih selektif dan berbasis fundamental. Saham-saham bank jumbo seperti BBCA dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) diprediksi akan menjadi tujuan utama arus dana tersebut.

Katalis positif bagi kebangkitan saham keping biru perbankan meliputi penyaluran kredit yang mulai membaik, terjaganya kualitas aset, serta margin profitabilitas yang mulai menunjukkan tanda-tanda rebound. Strategi pelonggaran moneter lanjutan dari BI juga akan menjadi tenaga tambahan bagi sektor finansial di tahun 2026.