AI Dorong Revolusi 4 Hari Kerja, Dunia Bergerak ke Arah Baru
- AI dorong revolusi empat hari kerja, produktivitas naik hingga 25%, kesejahteraan pekerja meningkat. Simak data McKinsey dan WEF terbaru.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Konsep minggu kerja pendek sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun 1926, industrialis asal Amerika Serikat Henry Ford memperkenalkan sistem kerja lima hari dan delapan jam per hari. Inovasi itu terbukti meningkatkan produktivitas sekaligus kesejahteraan pekerja.
Seratus tahun kemudian, dunia kerja kembali memasuki babak baru, menuju proyeksi sistem empat hari kerja per minggu. Kali ini dipicu kemajuan Artificial Intelligence (AI) dan otomatisasi yang mengubah cara manusia bekerja, dikutip dari The Economist, Jumat, 17 Oktober 2025.
Dalam periode 2023-2025, semakin banyak negara yang menguji atau menerapkan kebijakan four-day work week. Model paling populer adalah prinsip 100:80:100, yaitu gaji tetap 100%, jam kerja berkurang menjadi 80%, namun produktivitas tetap 100%.
Menurut laporan 4 Day Week Global 2024 yang dikutip Jumat, 17 Oktober 2025, lebih dari 10 negara telah melakukan uji coba sejak 2019, dan 92% perusahaan memutuskan mempertahankannya karena kinerja karyawan tetap stabil bahkan meningkat.
Hasil positif terlihat di berbagai sektor. Microsoft Jepang mencatat lonjakan produktivitas sebesar 40%, sementara startup Buffer melaporkan peningkatan efisiensi 22%, lonjakan lamaran kerja 88%, serta penurunan absensi hingga 66%.
Pemerintah Islandia, Dubai, dan Tokyo juga melaporkan peningkatan kepuasan kerja dan keseimbangan hidup pegawai negeri. Namun, tidak semua uji coba berjalan mulus. Beberapa perusahaan seperti Bolt dan Krystal menghentikan kebijakan empat hari kerja karena kurangnya perencanaan dan penurunan kinerja layanan.
AI Jadi Motor Penggerak
Peningkatan produktivitas yang memungkinkan sistem kerja empat hari tak lepas dari peran AI generatif dan otomatisasi. Laporan McKinsey Global Institute (2024) yang dikutip Jumat, 17 Oktober 2025, memperkirakan penerapan AI dapat meningkatkan produktivitas global hingga US$4,4 triliun per tahun, atau naik 5-25% di berbagai sektor industri.
Sektor layanan pelanggan, pengembangan perangkat lunak, dan konsultasi bisnis termasuk yang paling diuntungkan. Contohnya, Omega Healthcare berhasil menghemat puluhan ribu jam kerja per tahun setelah mengintegrasikan AI untuk menangani tugas-tugas administratif dan analisis medis.
AI kini berfungsi layaknya “co-pilot” dalam pekerjaan, mengambil alih tugas repetitif seperti entri data, penjadwalan, dan analisis laporan dasar, sehingga manusia bisa berfokus pada kegiatan bernilai strategis, dikutip dari PwC Global AI Jobs Barometer 2025, Jumat, 17 Oktober 2025.
Pergeseran Peta Pekerjaan Global
Meski menawarkan efisiensi tinggi, revolusi AI juga mengubah struktur tenaga kerja secara signifikan. Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF), Future of Jobs 2025, sekitar 85 juta pekerjaan diperkirakan akan tergantikan oleh otomatisasi, namun akan muncul 97 juta peran baru yang menuntut kolaborasi manusia dan mesin, dikutip Jumat, 17 Oktober 2025.
Pekerjaan baru tersebut meliputi bidang AI Engineering, Data Science, Cloud Computing, hingga AI Governance dan Etika Teknologi. Di sisi lain, muncul profesi baru seperti Prompt Engineer, yaitu ahli yang mengarahkan sistem AI menggunakan bahasa alami agar menghasilkan output optimal.
Sementara itu, PwC dalam laporannya mencatat bahwa beberapa sektor telah mengalami lonjakan efisiensi hingga empat kali lipat, membuka peluang bagi perusahaan untuk memangkas jam kerja tanpa mengurangi target bisnis.
Tren kerja terbaru yang muncul pada Oktober 2025 menunjukkan bahwa model kolaborasi hybrid antara manusia dan AI menjadi pola utama di banyak perusahaan global. Dalam sistem ini, manusia berperan sebagai kurator dan pengarah hasil kerja mesin, bukan lagi sekadar pelaksana tugas teknis.

Menurut riset MIT Technology Review Insights (2025) yang dikutip Jumat, 17 Oktober 2025, AI kini semakin mampu memahami konteks, bahasa alami, bahkan ekspresi emosi, menjadikannya mitra kerja yang lebih adaptif.
Oleh karena itu, soft skills seperti kreativitas, empati, komunikasi, dan kemampuan berpikir kritis menjadi kompetensi utama yang tak tergantikan oleh teknologi.
Jika abad ke-20 menandai perjuangan buruh demi delapan jam kerja, maka abad ke-21 menjadi era untuk memperjuangkan empat hari kerja dengan bantuan AI. Kombinasi teknologi dan desain kerja baru membuka peluang bagi sistem yang lebih produktif sekaligus lebih manusiawi.
Dalam wawancaranya dengan The Economist, Jumat, 17 Oktober 2025, Bill Gates sempat mengeluarkan pernyataan yang disorot banyak pihak. “Dalam sepuluh tahun ke depan, manusia mungkin hanya perlu bekerja dua atau tiga hari seminggu, bukan karena kita malas, tapi karena teknologi akhirnya memungkinkan kita bekerja lebih cerdas, bukan lebih lama.” ungkap Bill Gates.
Dengan dukungan kebijakan publik, pelatihan keterampilan digital, dan kepemimpinan yang visioner, dunia kerja masa depan tampaknya akan lebih efisien, dan lebih seimbang antara hidup dan pekerjaan.

Muhammad Imam Hatami
Editor
