Sejarah Panjang dan Teknik Rumit Penyelamatan Kru Kapal Selam

  • Ketika kemampuan kapal selam secara bertahap diperkenalkan di berbagai angkatan laut di seluruh dunia pertanyaan umum juga muncul: apa yang dapat dilakukan jika terjadi kecelakaan yang menonaktifkan kapal selam dan mencegahnya kembali ke permukaan?

<p>KRI Nanggala-402/TNI AL</p>

KRI Nanggala-402/TNI AL

(Istimewa)

JAKARTA-Kapal selam KRI Nanggala-402 hilang kontak di perairan sekitar Bali pada Rabu 21 April 2021. Pencarian yang dilakukan hingga Kamis belum menemukan titik di mana kapal selam tersebut berada.

Sempat muncul informasi bahwa KRI Nanggala telah ditemukan tetapi Kapuspen TNI Mayjen TNI Achmad Riad dalam jumpa pers Kamis menyebut berita tersebut tidak ebnar.

“Jadi saya tegaskan kembali berbagai berita yang disampaikan sudah ditemukan 21 jam itu sebenarnya belum bisa digunakan sebagai dasar. Oleh karena itu saya berharap kepada rekan-rekan media untuk tidak membuat analisa, tidak memberitakan yang mungkin belum dipastikan kebenarannya sehingga memberikan ketenangan kepada masyarakat khususnya informasi ini,” tutur Achmad Riad.

Dugaan sementara KRI Nanggala-402 mengalami black out sehingga kapal tidak terkendali dan tidak bisa melaksanakan prosedur kedaruratan. Tangki BBM kapal selam itu juga diduga rusak. Seperti diketahui, dalam kapal selam KRI Nanggala-402 tersebut ada 53 orang. Diagendakan, kapal selam itu seharusnya melakukan latihan penembakan torpedo.

KRI Nanggala adalah kapal selam yang sudah cukup tua. Kapal in diterima Indonesia pada 1981. Kapal tipe U-209/1300 ini dibangun Howaldtswerke, Kiel, Jerman. Kapal memiliki berat 1.395 ton, panjang 59,5 meter dan lebar 6,3. Indonesia memiliki dua type 209/1300 dengan yang satu adalah KRI Cakra-401.

Type 209 pertama kali dibangun secara produktif oleh Jerman dan kemudian diproduksi lisensi di Korea Selatan sebagai kelas Chang Bogo. Kapal selam kelas Nagapasa milik Indonesia adalah Kapal Selam Type 209-1400 yang ditingkatkan dengan sonar, radar, dan sistem navigasi baru dari Jerman. Artinya Nagapasa masih memiliki garis keturunan yang jelas dari KR Nanggala.

Kecelakaan kapal selam terakhir di dunia terjadi pada 2017 ketika kapal selam Angkatan Laut Argentina ARA San Juan yang membawa 44 kru hilang setelah melakukan kontak terakhir pada Rabu 15 November 2017. Pencarian besar-besaran oleh banyak negara yang langsung digelar saat itu gagal menemukan kapal tersebut. ARA San Juan baru ditemukan satu tahun kemudian yakni pada November 2018.

Penyelamatan Kru

Tetapi pertanyaannya ketika kapal cepat ditemukan, bagaimana cara menyelamatkan kru mereka? Ini pekerjaan yang sangat menantang dan rumit.

Ketika kemampuan kapal selam secara bertahap diperkenalkan di berbagai angkatan laut di seluruh dunia pertanyaan umum juga muncul: apa yang dapat dilakukan jika terjadi kecelakaan yang menonaktifkan kapal selam dan mencegahnya kembali ke permukaan?

Ada dua opsi yang tersedia untuk awak kapal selam yang tenggelam atau disabled submarine (DISSUB);. Yang pertama melarikan diri atau escape. Escape adalah proses di mana kru meninggalkan kapal dan mencapai permukaan tanpa bantuan eksternal. Sedangkan opsi kedua yakni penyelamatan dilakukan oleh pihak luar yang mengeluarkan awak yang terperangkap di kapal selam.

Pada awal era kapal selam modern fokus diberikan untuk escape. Muncul sekitar tahun 1910, sistem escape pertama berasal dari alat bantu pernapasan yang digunakan oleh penambang batu bara. Ini menggunakan kartrid soda-kapur yang mengikat karbon dioksida dalam jumlah besar hingga membersihkan udara yang dihirup. Sistem yang digunakan dalam sistem pelarian kapal selam pertama adalah alat pernapasan Dräger Jerman, yang digunakan saat kapal selam U3 yang tenggelam pada tahun 1911.

Sejumlah sistem serupa mengikuti seperti Davis Submarine Escape Apparatus (DSEA) diadopsi oleh Royal Navy pada tahun 1929 dan Momsen Lung yang digunakan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat sampai tahun 1957.

Peralatan escape awal/Drager

Sistem escape ini tetap lazim sampai 1946 ketika Angkatan Laut Inggris melakukan penyelidikan untuk escape dari kapal selam yang tenggelam. Penyelidikan tidak menemukan perbedaan dalam tingkat kelangsungan hidup antara mereka yang menggunakan DSEA untuk melarikan diri dan mereka yang melakukannya tanpa bantuan sistem itu.

Akibatnya DSEA diganti dengan teknik ‘free ascent’ atau ‘blow and go’. Free ascent melibatkan kru yang memulai pendakian dengan udara terkompresi di paru-paru mereka. Selama pendakian, kru menghembuskan napas dengan kecepatan yang terkendali, memungkinkan udara keluar. Ini adalah proses yang berkelanjutan, karena udara mengembang di paru-paru akibat penurunan tekanan yang dialami dalam perjalanan ke permukaan. Untuk membatasi kemungkinan terkena penyakit dekompresi, escape akan menggunakan kantung udara.

Untuk membantu pelarian anggota kru juga dapat menggunakan jaket pelampung atau cincin apung. Dalam hal ini laju pendakian kru melesat lebih cepat selama perjalanan ke permukaan.  Sementara Angkatan Laut Amerika menerapkan Steinke Hood pada tahun 1962. Secara harfiah, ini adalah tudung dengan masker plastik yang terpasang pada jaket pelampung. Steinke Hood memungkinkan anggota kru menghirup udara yang terperangkap di setelan saat pendakian mereka setelah melarikan diri. 

Kekurangan Mencolok

Free Ascent dan Steinke Hood disukai karena kemudahan penggunaannya, tetapi kedua sistem memiliki satu kekurangan yang mencolok. Mereka gagal memberikan perlindungan setelah kru mencapai permukaan. Ini terlihat jelas pada tahun 1950, ketika HMS Truculent Inggris tenggelam setelah tabrakan dengan kapal dagang. Semua dari 72 awak berhasil mencapai permukaan tetapi hanya 15 yang selamat dengan sisanya tersapu ke laut oleh air pasang dan hilang.

Kekurangan ini kembali terbukti dengan bencana Kosmsomlets pada tahun 1989. Dari 69 awak kapal selam Soviet itu, 34 di antaranya yang berhasil naik ke permukaan kemudian meninggal karena hipotermia, gagal jantung, atau tenggelam.

Suit escape masa kini/Navy Recognition

Pada 1990-an, sebagian besar angkatan laut dunia yang mengoperasikan kapal selam mengganti sistem pelarian yang ada dengan Submarine Escape Immersion Ensemble (SEIE) yang dikembangkan Inggris. Menggunakan udara yang terperangkap, mirip dengan Steinke Hood, SEIE menutupi pengguna sepenuhnya dan yang terpenting memberikan perlindungan termal. Selanjutnya, setelan itu memiliki rakit pelampung yang begitu berada di permukaan dapat dikaitkan dengan rakit pelampung lainnya. Alat itu memungkinkan untuk melarikan diri dari kedalaman 185 meter.

Sebelum tahun 1939 secara umum dianggap bahwa jika kru tidak dapat melarikan diri dari kapal selam yang karam, maka hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan mereka. Selama tahun 1920-an beberapa angkatan laut, khususnya Amerika, menggunakan operasi jenis penyelamatan dengan beberapa keberhasilan. Namun, operasi penyelamatan awal ini dilakukan dalam kondisi ideal yang jarang terjadi dalam praktiknya.

Seringkali jumlah kerusakan yang dialami kapal selam tidak diketahui, yang berarti kapal selam tidak dapat dipindahkan karena dapat pecah dalam prosesnya. Waktu juga merupakan faktor karena kru hanya akan mengudara paling lama tiga hari.  Kondisi yang tidak menguntungkan di permukaan akan mencegah operasi penyelamatan dilakukan. Ini seperti yang terjadi pada tahun 1927 ketika ketika angin kencang mencegah penyelamatan kapal selam S-4 Amerika dimulai tepat waktu.  Akibatnya tidak ada kru yang selamat.

Berubah Dramatis

Upaya penyelamatan kapal selam berubah secara dramatis pada tahun 1939 dengan tenggelamnya USS Squalus milik Amerika. Selama berlayar di laut, kegagalan peralatan mengakibatkan banjir di ruang torpedo, ruang mesin, dan tempat tinggal awak yang langsung menewaskan 26 dari 59 awak kapal. 

Upaya cepat oleh kru kapal selam yang tersisa mencegah banjir lebih lanjut tetapi kapal  berhenti 74 meter di bawah permukaan. Karena Squalus melakukan latihan bersama dengan kapal selam lain, USS Sculpin, dia dengan cepat ditemukan dan alarm dibunyikan. Kapal penyelamat kapal selam Falcon tiba di lokasi dengan timnya dan langsung bekerja.

Momsen, orang yang menemukan Momsen Lung, menggunakan McCann Rescue Chamber yang baru dikembangkan dan menghasilkan efek yang luar biasa. Ruangan itu seperti gentong baja besar yang diturunkan dari permukaan kapal untuk menutupi pintu keluar kapal selam. Setelah terpasang maka bisa untuk mengurangi tekanan udara dan membuka palka untuk memungkinkan kru yang terperangkap naik ke atas kapal.

McCann Rescue Chamber/Navy Recognition

Menggunakan ruang tersebut 33 anggota awak yang selamat diselamatkan dalam empat perjalanan.  Sampai saat ini, hanya penyelamatan kapal selam inilah yang bisa dikatakan benar-benar berhasil.

Sistem kamar penyelamatan McCann tetap beroperasi di beberapa angkatan laut kontemporer, termasuk Angkatan Laut Amerika.

Filosofi penyelamatan kapal selam berkembang lebih jauh pada 1960-an setelah hilangnya dua kapal selam nuklir Amerika US Thresher dan USS Scorpion.  USS Thresher tenggelam pada 10 April 1963 saat melakukan manuver di tenggara Massachusetts mengakibatkan 129 orang di kapal meninggal dunia. Kecelakaan ini tetap menjadi bencana kapal selam yang paling mematikan di sejarah Amerika.

Sementara USS Scorpion hilang sekitar 400 mil barat daya pulau Azores di Atlantik pada 21 Mei 1968 dengan membawa 99 awak kapal. Bangkai kapal selam bertenaga nuklir ditemukan lima bulan kemudian di kedalaman lebih dari 10.000 kaki. Penyebab kecelakaan ini diyakini karena aktivasi baterai atau ledakan torpedo.

Kapal Selam Mini

Amerika kemudian mengembangkan teknologi penyelamatan kru kapal selam secara intensif. Setelah mempertimbangkan berbagai opsi  mereka kemudian mengembangkan Deep Submergence Rescue Vehicle (DSRV). Memasuki layanan selama tahun 1970-an DSRV merupakan  kapal selam mini berawak yang dipasangkan dengan palka kapal selam yang karam. Selanjutnya DSRV dapat membawa 24 orang sekaligus hingga menawarkan fleksibilitas yang tinggi.

Deep Submergence Rescue Vehicle/US Navy

Dua kapal dibangun dan  satu dipertahankan dalam keadaan operasional sehingga dapat diterbangkan dengan pesawat kargo ke pelabuhan terdekat dari kapal selam yang mengalmai kecelakaan. Selanjutnya alat itu bisa dibawa di kapal selam Amerika yang dimodifikasi. Beroperasi dari kapal selam berarti bahwa kondisi permukaan yang kasar dan dingin cenderung tidak mempengaruhi operasi penyelamatan.

Sejumlah negara mengikuti langkah Amerika. Kendaraan Penyelamat Kapal Selam LR5 Angkatan Laut Inggris mirip dengan DSRV dalam banyak aspek. Selain LR5 Angkatan Laut Inggris juga memiliki Submarine Parachute Assistance Group (SPAG) dan Scorpio Remote Operated Vehicle (ROV).

SPAG berfungsi memberikan bantuan kepada kru kapal selam yang berasil melarikan diri. Sedangkan fungsi utama Scorpio adalah untuk memeriksa dan mensurvei kapal selam di dasar laut.  Alat ini juga dapat membersihkan puing-puing dari situs dan mencatat data seperti suhu air, yang kemudian digunakan untuk membantu dalam memutuskan strategi penyelamatan yang sesuai.

LR5/Wikipedia

Ada juga NATO Submarine Rescue Service (NSRS), sebuah sistem yang dikembangkan bersama oleh Inggris, Prancis dan Norwegia. Sementara US Navy mengembangkan Submarine Rescue Diving and Recompression System (SRDRS). Kedua sistem serupa dan akan melakukan operasi penyelamatan dalam tiga tahap; pengintaian, penyelamatan dan dekompresi kru.

Tahap pengintaian akan melibatkan ROV untuk menemukan kapal selam dan merekam data sebelum kapal berawak melakukan penyelamatan. Tahap terakhir dekompresi kru, akan melibatkan ruang Transfer Under Pressure (TUP) yang memungkinkan kru yang diselamatkan dipindahkan dari kendaraan penyelamat langsung ke ruang dekompresi. Ini untuk mencegah paparan perubahan atmosfer yang tidak aman.

Kerja Sama Internasional

Kecelakaan kapal selam Kursk Rusia pada tahun 2000 juga memberi pengaruh besar pada misi penyelamatan kapal selam. Pada 12 Agustus 2000 kapal selam nuklir tersebut diguncang oleh dua ledakan dahsyat dan tenggelam saat manuver  di Laut Barents. Sebagian besar dari 118 anggota awak tewas seketika, sementara 23 orang melarikan diri ke kompartemen belakang dan menunggu bantuan.

Setelah kapal selam Rusia gagal membuka pintu darurat selama seminggu, para penyelam Norwegia membukanya dalam hitungan jam, namun 23 orang tersebut telah mati lemas. Kecelakaan itu dikarekan bocornya bahan bakar torpedo.

Kapal selam penyelamat milik China/China Navy

Analisis bencana pasca Kursk akhirnya melahirkan Submarine Escape and Rescue Liaison Organisation (ISMERLO). Tujuan utamanya adalah untuk membantu mengoordinasikan misi penyelamatan kapal selam. Melalui situs webnya, suatu negara yang memiliki kapal selam rusak dapat mencatat aset apa saja yang tersedia, sedangkan negara yang mampu dapat merespons.

Dengan lebih dari 40 negara sekarang mengoperasikan kapal selam, peran ISMERLO sangat penting. Ini tercermin dalam fakta bahwa organisasi tersebut merupakan bagian intrinsik dari latihan penyelamatan kapal selam di seluruh dunia.

Namun kecelakaan dan pengalaman praktis membuktikan bahwa penyelamatan kru kapal selam sangat rumit. Tetapi peluang penyelamatan yang berhasil jauh lebih besar daripada sebelumnya.

Dari berbagai sumber