Melacak Sejarah Panjang Racun

  • JAKARTA-Saat pemburu prasejarah pertama kali mencelupkan anak panah mereka ke dalam bisa ular, maka itulah pertama kalinya manusia mengubah hadiah alam berupa racun untuk digunakan kepada makhluk lain, dan itu bukan yang terakhir. Selama berabad-abad, ramuan maut yang berbeda telah menjadi mode dan pilihan yang populer entah oleh dukun atau ahli obat. “Racun dalam dosis […]

<p>Ilustrasi/Popular Mechanics</p>

Ilustrasi/Popular Mechanics

(Istimewa)

JAKARTA-Saat pemburu prasejarah pertama kali mencelupkan anak panah mereka ke dalam bisa ular, maka itulah pertama kalinya manusia mengubah hadiah alam berupa racun untuk digunakan kepada makhluk lain, dan itu bukan yang terakhir.

Selama berabad-abad, ramuan maut yang berbeda telah menjadi mode dan pilihan yang populer entah oleh dukun atau ahli obat. “Racun dalam dosis kecil adalah obat,” kata Alfred Swaine Taylor, ahli toksikologi abad ke-19, “dan obat dalam dosis besar adalah racun.”

Racun klasik seperti hemlock, nightshade, aconite, foxglove, opium, dan strychnine digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, mulai dari sakit kepala hingga gangguan jantung, dan bahkan dipakai sebagai riasan. Logam beracun seperti merkuri, timbal, dan arsen merupakan bahan dalam obat-obatan yang melapisi rak apotek hingga abad ke-20. Selama kita perlu menyembuhkan, kita juga tergoda untuk membunuh — dan racun menyediakan caranya.

Raja Racun dan Racun Raja

Sejak awal, racun telah menjadi alat pembunuh kaisar, firaun, dan raja. Sekitar 1550 SM, orang Mesir menulis banyak resep racun dalam hieroglif di Papirus Ebers, salah satu dokumen medis paling awal. Diyakini firaun Mesir pertama yang diketahui, Menes, bereksperimen dengan racun mematikan dan yang terakhir diketahui Cleopatra yang diduga bunuh diri dengan racun asp.

Bereksperimen dengan racun membunuh bapak pengobatan herbal Tiongkok, Shen Nung — dia mencicipi 365 herba sebelum meninggal karena overdosis — serta kaisar Tiongkok pertama, Qin Shi Huang.

Peradaban kuno India, Persia, dan Yunani menggunakan racun untuk membunuh saingan demi keuntungan politik. Penguasa Mughal akan “menghadiahkan” musuh mereka jubah berlapis racun. Racun juga digunakan untuk mengeksekusi orang yang dianggap sebagai penjahat seperti  Socrates yang dihukum minum racun Hemlock. Bahkan racun juga jadi persembahkan bagi orang sakit dan lanjut usia agar mendapat kematian dengan cepat.

Pada zaman Romawi, keracunan telah merajalela sehingga “Lex Cornelia,” sebuah hukum Romawi kuno, langsung dikeluarkan untuk melarang tincture beracun. Tetapi masalahnya justru bertambah. Enam kaisar Romawi menemui ajalnya karena racun, termasuk Claudius, yang dibunuh oleh istrinya sendiri, Agrippina, untuk bisa memajukan posisi putranya, Nero, yang kemudian berbalik dan meracuni saudara tirinya untuk naik takhta.

Tetapi tidak ada raja yang lebih perhatian dengan racun selain Raja Mithridates VI, yang memerintah Pontos (sekarang Turki modern) lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Takut dibunuh dengan racun (fobia karena ibunya meracuni ayahnya), Mithridates terobsesi menemukan penawar universal, sejarah kemudian mengingatnya sebagai “Raja Racun.”

Raja mencoba membangun toleransi dengan mengonsumsi sejumlah kecil racun yang berbeda bersama dengan berbagai penawar eksperimental. Dia akhirnya menemukan resep rahasia yang dikenal sebagai “mithridatum”, yang sangat didambakan selama bertahun-tahun selanjutnya. Obat mujarab tetap menjadi misteri sampai jenderal Romawi Pompey menyerbu Pontos dan membawa obat berharga itu kembali ke Roma.

Dalam ironi yang kejam, Mithridates mencoba menggunakan racun untuk bunuh diri selama invasi Pompey — tetapi racun gagal membunuhnya. Salah satu tentaranya dipaksa untuk menyelesaikan aksi bunuh dirinya.

Waktu terus berjalan dan 800 tahun kemudian kisah racun akan berubah selamanya. Salah satu pemikir besar Zaman Keemasan Islam, alkemis Jabir ibn Hayyan, menghasilkan bubuk putih mematikan yang tidak berbau, tidak berasa, dan sama sekali tidak terdeteksi dalam tubuh manusia. Itu adalah senyawa arsenik yang mematikan, unsur yang terjadi secara alami dan ada di mana-mana. Bahan ini menjadi beracun ketika diubah menjadi arsenik trioksida, atau arsen putih.

Arsenik membunuh dengan mengganggu transfer energi ke sel, yang mulai mati dan menyebabkan fungsi dasar tubuh rusak. Dengan dosis yang cukup tinggi, atau jika dikonsumsi bertahap dari waktu ke waktu, organ vital akan mulai rusak. Penyakit menjalar mirip dengan penyakit alami, terutama karena gejala yang biasa terjadi, seperti muntah dan diare, mudah disalahartikan sebagai kolera, disentri, dan penyakit umum lainnya pada saat itu.

Selama ribuan tahun berikutnya, arsenik memungkinkan, bahkan dengan mudah, untuk melakukan kejahatan yang sempurna. Tidak hanya dapat dicampur ke dalam segelas anggur atau makanan tanpa disadari, bubuk tersebut jika diberi dosis dengan hati-hati, bisa memakan waktu berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan berbulan-bulan tanpa menunjukkan gejala apa pun, sehingga sangat sulit dilacak. Sekalipun dicurigai ada racun, hingga abad ke-19 tidak ada cara untuk mendeteksi arsenik dalam tubuh setelah kematian.

Tapi apa yang membuat arsenik begitu mematikan adalah karena sangat mudah untuk mendapatkannya. Selama berabad-abad, peradaban menggunakan senyawanya untuk pengobatan. Bahan ini digunakan dalam pengobatan Tiongkok, oleh dokter Yunani Hippocrates, oleh ahli alkimia abad pertengahan untuk mencari ramuan kehidupan, dan oleh dokter abad ke-18 yang beralih ke solusi berbasis arsenik untuk mengobati segala sesuatu mulai dari asma hingga sifilis.

Arsen adalah cara umum untuk merusak garis suksesi alami, dan itu sangat efektif, wabah racun melanda negara-negara kaya di dunia selama berabad-abad.

Sihir Medieval

Eropa pada Abad Pertengahan ditandai dengan takhayul. Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi, pengetahuan berkembang sangat sedikit selama beberapa abad berikutnya, dan cerita rakyat, mitos, dan sihir menggantikan tempatnya. Tidak demikian halnya di dunia Arab, tempat sains dan matematika berkembang pesat.

Berdasarkan teks para filsuf Yunani, banyak ilmuwan dan dokter Islam bereksperimen dengan racun dan penangkal, menulis teks-teks berpengaruh yang sangat memajukan bidang toksikologi.

Kekayaan pengetahuan ini tidak mencapai Barat sampai abad ke-13. Jadi, Eropa abad pertengahan tidak memiliki petunjuk lebih dari Mithridates tentang bagaimana melindungi dari racun — tetapi mereka sangat takut pada racun itu lebih dari sebelumnya. Tanpa solusi ilmiah untuk digunakan, para petani, pedagang, dan raja beralih ke solusi yang lebih ajaib.

Salah satunya disebut Batu Bezoar. Ini adalah bahan padat dari makanan atau serat tidak tercerna yang ditemukan di dalam perut hewan. Bahan itu dimasukkan ke dalam minuman untuk menetralkan efek racun apa pun. Bezoar populer di Persia dan bagian lain Asia dan akhirnya diperdagangkan ke Eropa.

“Obat” lainnya termasuk jimat, jimat, atau piala “anti-racun” yang dilapisi dengan mineral untuk memicu muntah. Di dinasti Tiongkok dan kerajaan Korea, orang menggunakan sumpit perak untuk menguji racun dalam makanan dan minuman mereka.

Tapi puncak dari semua penawar yang tidak mungkin itu adalah tanduk “unicorn” yang berharga. Tanduk gading yang panjang dari binatang mitos ini dianggap dapat mendeteksi dan melindungi dari racun. Tanduk unicorn (yang sebenarnya adalah gading narwhal) sangat didambakan dan harganya sedikit mahal, nilainya 10 kali lebih banyak daripada emas. Gading berharga ini ditemukan di istana kerajaan di seluruh Eropa. Di Denmark, penguasa bahkan dimahkotai di atas kursi takhta yang terbuat dari tanduk mitos.

Tanduk unicorn akhirnya tidak lagi populer saat Renaisans membawa kebangkitan studi ilmiah ke Eropa. Tetapi peningkatan pengetahuan tentang racun itu juga membuatnya lebih mematikan karena beberapa orang menjadi lebih baik dalam menggunakannya. Ketika Eropa akhirnya keluar dari Abad Kegelapan, meramu ramuan yang semakin kuat menjadi seni, dan seperti bentuk seni Renaisans lainnya, kemampuan itu dikuasai di Italia.

Renaisance Racun

Di jalan-jalan Florence, Roma, dan Venesia , Italia racun berkembang pesat. Alkemis sibuk membuat tonik untuk mencari kehidupan abadi dan “sekolah” bermunculan untuk menyempurnakan seni racun. Di Venesia, pembunuh bayaran dalam organisasi “Council of Ten” meracuni orang dengan bayaran tertentu.

Dan di Roma, sebuah keluarga sangat ambisius menguasai seninya. Keluarga Borgia tidak segan-segan membunuh untuk mempertahankan posisinya yang kuat dalam gereja Katolik. Rodrigo Borgia (Paus Alexander VI), putranya Duke Cesare, dan putrinya Lucrecia terkenal karena meracuni puluhan kardinal, uskup, dan bangsawan (meskipun sejarawan sekarang berpikir Lucrecia mungkin telah salah dituduh).

Menyaksikan keadaan ini, duta besar Venesia melaporkan “setiap malam empat atau lima pria ditemukan terbunuh termasuk uskup sehingga seluruh Roma gemetar karena takut dibunuh oleh Duke. ”

Keluarga itu bereksperimen dengan strychnine, aconite, dan racun lainnya pada hewan dan orang miskin, dan menyimpan botol mereka di ruang bawah tanah bersama dengan anggur mereka. Mereka akhirnya sampai pada formula mematikan yang dikenal sebagai cantarella. Isinya masih menjadi misteri hingga hari ini, meskipun dianggap sebagai campuran arsenik dan kumbang lepuh.

Modus operandi Borgias adalah mencampurkan cantarella ke dalam anggur tamu makan malam yang malang, yang kemudian akan mati berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian. Ini dilakukan dengan sangat terampil sehingga “mencicipi cangkir Borgias” menjadi eufemisme untuk kematian mendadak atau misterius.

Tapi Borgias bukanlah satu-satunya klan kuat yang menggunakan racun untuk kepentingan politik. Catherine de Medici, “Black of Queen” Prancis, menguji berbagai racun pada hewan dan tahanan, dan menyimpan botol mautnya di ratusan lemari rahasia di tempat tinggalnya di kediaman kerajaan.

Pada akhir abad ke-16, sebuah “sekolah” racun Prancis menyebarkan pengetahuan jahat ini ke seluruh kota Paris, di mana ribuan praktisi racun menguasai silent killer. Senyawa arsenik sangat umum digunakan untuk membasmi anggota borjuasi Prancis yang kaya atau bangsawan sehingga racun itu dikenal sebagai poudre de succession, atau “bubuk warisan”.

Di Versailles, pembunuhan tersebut mencapai tingkat yang sangat berbahaya sehingga Raja Louis XIV membentuk pengadilan khusus untuk menyelidiki pembunuhan beracun. Ratusan kasus diadili, mengungkap cincin racun bawah tanah yang menjangkau langsung ke lingkaran dalam raja.

Di tengah-tengah skandal itu adalah seorang peramal bernama Catherine Deshayes, yang lebih dikenal sebagai “La Voisin”.  Dia mencampur arsenik, belladonna, aconite, dan opium. Dia menjual racun kepada banyak wanita bangsawan yang ingin melepaskan diri dari anak atau pasangan yang tidak diinginkan, termasuk gundik raja.

Pada akhir inkuisisi, 36 orang dijatuhi hukuman mati dan dibakar di tiang pancang.  Louis XIV akhirnya mengeluarkan keputusan yang melarang arsenik dan racun lainnya dijual di apotek dengan ancaman hukuman mati.

Urusan Keluarga

Pada abad ke-17, beberapa wanita menghiasi wajah mereka dengan arsenik untuk mendapatkan kulit yang lebih pucat. Yang lain menggunakannya untuk menjadi janda.

Di Roma pada 1659, seorang penyihir peramal bernama Hieronyma Spara menjalankan sebuah perkumpulan rahasia yang akan membagikan racun kepada wanita yang ingin membunuh suami mereka. Kemudian, ada Guilia Toffana, penjual racun terkenal di balik kematian sekitar 600 orang, termasuk dua paus dan suami yang tak terhitung jumlahnya. Dia menjual arsen dan belladonna, yang dikenal sebagai “Aqua Toffana,” dalam botol kosmetik yang disamarkan sebagai makeup. Beberapa tetes saja sudah cukup untuk menyebabkan kematian yang lambat dan tidak bisa dilacak.

Di Paris, tren yang merepotkan ini terkait dengan dunia gelap sihir dan ilmu hitam. Di pengadilan, wanita mencari ramuan ampuh untuk menarik kekasih, menyingkirkan musuh, dan bahkan menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan.

Di Inggris zaman Victoria, arsenik secara mengejutkan mudah didapat. Seorang wanita hanya perlu berjalan ke toko kimia atau pasar dan menyerahkan beberapa pence untuk mendapatkan beberapa racun tikus atau bubuk arsenik guna menghaluskan kulitnya.

Arsen jauh lebih mudah diperoleh daripada perceraian, dan pembunuhan suami lebih lazim daripada sebelumnya karena bisnis asuransi jiwa yang berkembang pesat. Segera, era Victoria dikenal sebagai “zaman keemasan” keracunan arsenik. Banyak kasus pembunuhan arsenik menjadi terkenal, seperti pembunuh Mary Ann Cotton, yang membunuh tiga suami — serta satu tunangan dan banyak anak serta anak tirinya — dan kemudian menguangkan asuransi.

Untuk menghentikan kegilaan kriminal ini, Parlemen Inggris mencoba mengeluarkan undang-undang yang melarang wanita membeli arsenik. Tapi pada akhirnya sains, bukan hukum, yang mengakhiri kekuasaan bubuk putih.

Berabad-abad setelah penemuan arsenik trioksida, para dokter masih tidak tahu bagaimana menangani — atau bahkan mendeteksi — keracunan arsenik.  Akhirnya, pada tahun 1836, seorang ahli kimia Inggris bernama James Marsh menemukan metode kimiawi untuk mendeteksi jejak kecil arsenik dalam jaringan manusia. Itu diuji dalam pengadilan pembunuhan seorang wanita Prancis yang dituduh memberi makan kue arsenik suaminya. Dia terbukti bersalah.

Keracunan arsenik menurun secara signifikan dengan perkembangan Marsh Test, yang ditingkatkan oleh para ilmuwan dan digunakan sebagai bukti forensik dari keracunan untuk abad berikutnya, mengantarkan era toksikologi modern.

Racun Perang

Manusia pertama kali mulai menggunakan racun dalam peperangan ribuan tahun yang lalu. Penduduk asli Amerika Selatan menggunakan ekstrak tumbuhan dan katak berbisa untuk membuat panah beracun. Orang Skit, suku nomaden di stepa Asia Tengah, terkenal dengan mata panah beracun mereka, begitu pula orang India yang menggunakannya untuk melawan pasukan Alexander the Great.

Orang Cina kuno, Yunani, Romawi, Persia, dan Mongol juga menggunakan gas beracun (biasanya belerang yang terbakar). Pada abad ke-7, Bizantium memperkenalkan “Api Yunani”, cairan terbakar yang menakutkan yang sering disebut sebagai “napalm kuno”.  Bahan kimia itu bisa mengapung di atas air dan akan membakar orang hidup-hidup di kapal kayunya. Tak pelak, racun juga ditambahkan ke senjata baru yang ditemukan di China pada abad ke-9: mesiu.

Tetapi kebangkitan industri memungkinkan negara-negara untuk memproduksi dan menimbun senjata kimia dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahaya gas mematikan begitu dipahami sehingga senjata-senjata ini dilarang sebelum digunakan. Tapi kotak Pandora terbuka, dan melepaskan awan beracun ke seluruh Bumi.

Saat matahari terbenam pada 22 April 1915, tentara Jerman membuka 168 ton gas klorin di atas medan perang yang dipenuhi bom di Ypres, Belgia. Seorang perwira Kanada kemudian mendeskripsikannya sebagai “dinding gas mematikan” yang “berguling perlahan di atas tanah mengubah daun-daun pepohonan, bunga musim semi, dan rumput menjadi putih pucat.” Angin membawa uap kuning kehijauan menuju parit Sekutu, tempat pasukan berdiri menunggu serangan dimulai.

Sebaliknya, mereka merasakan sensasi terbakar panas di mata dan tenggorokan. Gas beracun menyebabkan rasa sakit yang hebat, kebutaan, dan perasaan dicekik. Lebih dari 5.000 tentara tewas karena sesak napas.

Gas tersebut dikembangkan oleh ahli kimia Jerman-Yahudi Fritz Haber, seorang ilmuwan brilian. Haber memenangkan Hadiah Nobel Kimia pada tahun 1918 karena menemukan cara mensintesis amonia dari nitrogen di udara, memungkinkan produksi massal pupuk nitrogen yang merevolusi pertanian dan membantu memberi makan miliaran orang di seluruh dunia.

Namun selama Perang Dunia I, Haber dengan antusias menerapkan bakatnya pada apa yang disebutnya “bentuk pembunuhan yang lebih tinggi”. Seorang patriot yang gigih, katanya “dalam masa damai ilmuwan adalah milik umat manusia, dalam masa perang untuk tanah airnya”.

Haber secara pribadi mengawasi penyebaran gas klorin di Ypres, dan dalam perlombaan senjata kimia berikutnya, dia memimpin pengembangan bahan kimia yang bahkan lebih mematikan: gas mustard dan fosgen, zat penyedak yang tidak hanya membakar tubuh tetapi juga dapat menyebabkan teror psikologis.

Pada akhir Perang Dunia I, diperkirakan ada 1,2 juta korban jiwa yang disebabkan oleh senjata kimia. Setelah serangan gas di Ypres, Haber dielu-elukan sebagai pahlawan di Berlin, dan sebuah pesta diadakan untuk menghormatinya sebulan setelah pertempuran.

Tetapi yang lain merasa ngeri dengan masuknya racun ke dalam peperangan — termasuk istri Haber, ahli kimia terkenal Clara Immerwahr. Dia menyebutnya penggunaan racun sebagai “tanda kebiadaban, merusak disiplin yang seharusnya membawa wawasan baru ke dalam hidup.” Di malam pesta, Clara menembak dirinya sendiri di jantung.

Ketika Adolf Hitler naik ke tampuk kekuasaan di Jerman, Haber diserang karena darah Yahudinya. Dia melarikan diri dari Jerman pada tahun 1933 dan meninggal karena serangan jantung saat berada di pengasingan. Tidak lama kemudian, lab dan penelitiannya digunakan oleh Nazi untuk mengembangkan Zyklon B, gas beracun yang digunakan untuk membunuh jutaan orang Yahudi dan warga sipil tak berdosa lainnya di kamar gas di kamp konsentrasi — termasuk anggota keluarga besar Haber.

Pembunuh Perang Dingin

Racun memainkan peran lain yang sama sekali berbeda dalam perang abad ke-20: sebagai pil bunuh diri.

Senyawa kimia yang dapat berupa gas atau bubuk kristal, sianida adalah salah satu racun paling kuat dan bekerja cepat yang pernah ada. Meski sianida telah dikenal sejak jaman dahulu, senyawa hidrogen sianida yang disuling pada abad ke-18 dengan cepat mendapat perhatian karena kemampuannya membunuh dengan efisiensi. Itu menjadi obat pilihan untuk bunuh diri selama Perang Dunia II dan dan Perang Dingin.

Taktik itu digunakan oleh banyak pemimpin Nazi di akhir Perang Dunia II. Adolf Hitler dan istrinya Eva Braun meracuni diri mereka sendiri dengan sianida di sebuah bunker di Berlin. Belakangan, Hermann Göring bunuh diri untuk menghindari eksekusi selama Pengadilan Nuremberg dengan menggigit pil sianida yang disembunyikan di mulutnya.

Sianida juga menjadi hampir identik dengan pil bunuh diri yang dipopulerkan oleh film mata-mata. Dan meskipun kiasan budaya pop tentang gigi sianida hanya sedikit kebenarannya, CIA dan KGB memang memberikan pil L kepada mata-mata  untuk menghindari penyiksaan dan membocorkan rahasia negara jika mereka tertangkap. Obat itu disembunyikan di kompartemen rahasia di batang kacamata atau pulpen, dan mengunyah benda ini akan melepaskan racun.

Dalam beberapa tahun terakhir, agen saraf, “organofosfat” yang sangat beracun seperti gas Sarin, telah menjadi racun pilihan. Awalnya dikembangkan selama Perang Dunia II, ramuan mematikan ini telah digunakan oleh teroris, diktator, dan otoritas di seluruh dunia, yang mengarah ke plot politik jahat yang akan membuat malam tanpa tidur seperti Mithridates sekitar 2.000 tahun yang lalu.

Sumber: Popular Mechanics