Tiga Faktor Makro Ini Bikin Bitcoin Anjlok: Puncak 2025 Sudah Terlewat?
- Bitcoin (BTC) menembus support psikologis penting di US$98.000, memicu kekhawatiran analis. Beberapa memprediksi puncak harga 2025 mungkin telah terlewati, sementara yang lain menunggu pulihnya likuiditas.

Alvin Bagaskara
Author


Bitcoin
(Istimewa)JAKARTA, TRENASIA.ID – Harga Bitcoin (BTC) anjlok tajam menjelang akhir pekan, anjlok 5,14% ke level US$97.239 (Rp1,62 miliar) pada Jumat siang, 14 November 2025. Pelemahan ini terjadi di tengah kejatuhan pasar aset berisiko global, menyusul meredupnya ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed.
Koreksi tajam ini dipicu oleh "badai sempurna" dari tiga faktor. Pertama, data ekonomi Tiongkok yang melemah. Kedua, memudarnya harapan pelonggaran moneter AS. Ketiga, adanya gelombang likuidasi besar-besaran di pasar derivatif kripto.
Kapitalisasi pasar kripto global anjlok 2,48% menjadi US$3,34 triliun. Pelemahan juga terjadi pada Ethereum (ETH) sebesar 5,78% dan Solana (SOL) 5,83%. Saham terkait kripto seperti Bitdeer (BTDR) dan Bitfarms (BITF) juga anjlok dua digit.
1. Data Tiongkok dan Sikap The Fed
Tekanan jual dipicu oleh data terbaru dari Tiongkok. Pertumbuhan produksi industri melambat, dan investasi aset tetap turun 1,7% Year-to-daet (YTD). Kabar ini mengguncang pasar saham Asia dan membebani aset kripto yang sensitif terhadap ekonomi global.
Sentimen diperparah oleh meredupnya ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed pada Desember. Pasar kini menilai peluang pemangkasan suku bunga hanya sekitar 50%. Hal ini membuat Dolar AS (DXY) menguat dan menekan aset berisiko.
Senior Director di Wincent, Paul Howard, menilai sentimen makro sangat mengikat kripto. "Dengan waktu tersisa enam minggu, ada kemungkinan kita sudah melihat puncak harga Bitcoin untuk 2025," ujarnya, memprediksi pasar akan datar hingga akhir tahun.
2. Krisis Likuiditas Efek Shutdown AS
Krisis likuiditas akibat government shutdown AS yang berkepanjangan juga memperparah kondisi. Analis pasar Mel Mattison mencatat pemerintah federal AS justru mencetak surplus fiskal US$198 miliar pada September, karena aktivitas belanja pemerintah terhenti.
Surplus fiskal ini secara efektif menyedot likuiditas dari pasar keuangan. “Kita mengalami periode likuiditas fiskal yang paling kering dalam beberapa bulan, bahkan tahun,” kata Mattison, menjelaskan salah satu pemicu utama tekanan jual.
3. Likuidasi Posisi Long US$1 Miliar
Faktor makro dan teknikal ini memicu likuidasi besar-besaran di pasar derivatif. Data CoinGlass menunjukkan lebih dari US$1 miliar posisi kripto dilikuidasi dalam 24 jam terakhir. Mayoritas (US$268 juta) berasal dari posisi long Bitcoin yang terpaksa ditutup.
Satu likuidasi besar senilai US$44 juta untuk Bitcoin di bursa HTX tercatat mempercepat tekanan jual. Kenaikan open interest 4,7% dan funding rate negatif menegaskan bahwa sentimen bearish dan posisi short baru kini mendominasi pasar.
4. Support Kritis US$98.000 Jebol
Secara teknikal, Bitcoin terpukul setelah jatuh menembus support penting di level US$98.000. Level ini sebelumnya menjadi batas psikologis yang menahan harga. Jebolnya level ini memicu stop-loss dan aksi jual algoritmik yang memperparah kejatuhan.
Analis melihat bahwa Bitcoin perlu ditutup kembali di atas level US$100.563 untuk membantu menstabilkan pergerakan dalam waktu dekat. Kegagalan menembus level resistance tersebut akan membuka potensi koreksi lebih lanjut ke level yang lebih rendah.
5. Prospek ke Depan: Menanti Stimulus Trump
Meskipun prospek jangka pendek terlihat suram, analis melihat potensi pemulihan likuiditas. Mel Mattison menilai tekanan ini akan segera mereda. “Badai likuiditas akan segera dibuka,” ujarnya, memprediksi adanya stimulus besar jelang pemilu paruh waktu.
Selain itu, analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, juga melihat peluang rebound jika The Fed melunak. "Jika The Fed mulai memberi sinyal pelonggaran likuiditas... Bitcoin berpotensi rebound menuju US$120.000 dalam jangka menengah,” ujarnya.

Alvin Bagaskara
Editor
