Tren Pasar

Tenggat Permodalan 2026: Stabilitas Industri Asuransi di Ujung Tanduk?

  • Kelemahan modal asuransi berisiko klaim macet. Apa yang harus diperhatikan nasabah sebelum membeli polis di tengah tekanan industri?
Kinerja BCA Life - Panji 4.jpg
PT Asuransi Jiwa BCA (BCA Life), mencatatkan tren kinerja keuangan yang positif sepanjang tahun 2024. Kinerja ini didukung oleh kontribusi pertumbuhan penjualan dari berbagai kanal. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Industri asuransi Indonesia tengah menghadapi tantangan struktural yang signifikan menjelang tenggat waktu pemenuhan modal minimum baru pada akhir 2026. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, puluhan perusahaan masih belum mampu memenuhi ketentuan tersebut, memicu kekhawatiran mengenai stabilitas industri dan keamanan dana nasabah.

Regulator telah menetapkan aturan permodalan yang lebih ketat melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023, yang menaikkan batas minimum ekuitas secara substansial. Namun, data per Juni 2025 menunjukkan 36 dari 144 perusahaan asuransi dan reasuransi belum memenuhi syarat ini.

Kondisi ini, yang oleh Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, disebut membuat industri "ngos-ngosan", terjadi di tengah kinerja sektor yang kontradiktif. Lantas, bagaimana dampak dari isu permodalan ini terhadap nasabah dan prospek industri ke depan?

1. Aturan Baru OJK dan Realita di Lapangan

Regulator mewajibkan perusahaan asuransi konvensional untuk memiliki ekuitas minimal Rp250 miliar pada akhir 2026, yang akan kembali dinaikkan menjadi Rp1 triliun pada 2028. Untuk perusahaan reasuransi, batas minimum ditetapkan sebesar Rp500 miliar pada 2026 dan Rp2 triliun pada 2028.

Masalahnya, realita di lapangan menunjukkan tantangan yang berat. Hingga Juni 2025, sebanyak 36 perusahaan tercatat masih belum memenuhi ketentuan tersebut. Kondisi ini menunjukkan adanya potensi kerapuhan finansial pada sebagian pelaku industri yang harus segera diatasi.

Menurut OJK, perusahaan yang belum memenuhi syarat didorong untuk segera melakukan aksi korporasi. Opsi yang tersedia antara lain adalah melakukan merger, mencari investor strategis baru, atau membentuk Kelompok Usaha Perasuransian (KUPA).

2. Rapor Kinerja Asuransi Jiwa Kuartal I-2025

Di tengah tantangan permodalan, laporan dari IFG Progress menunjukkan kinerja yang kontradiktif di sektor Asuransi Jiwa. Sektor ini mencatatkan kenaikan laba bersih 132% menjadi Rp5,3 triliun, namun hal ini lebih didorong oleh penurunan klaim produk investasi (PAYDI).

Pendapatan investasi di sektor asuransi jiwa justru anjlok 95%, sementara combined ratio yang mencapai 106% mengindikasikan adanya kerugian dari aktivitas underwriting. Ini menunjukkan bahwa profitabilitas sektor ini masih sangat rentan terhadap gejolak pasar keuangan.

3. Rapor Kinerja Asuransi Umum Kuartal I-2025

Sebaliknya, sektor Asuransi Umum menunjukkan kinerja yang lebih sehat dan stabil. Meskipun premi bruto stagnan, efisiensi operasional yang solid berhasil mendorong laba bersih naik 36,8% menjadi Rp3,1 triliun pada kuartal pertama 2025.

Kunci keberhasilan ini terletak pada combined ratio yang sangat efisien di level 63%. Angka ini menunjukkan bahwa pendapatan premi yang diterima jauh lebih besar daripada total biaya klaim dan operasional yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.

4. Dampak Langsung bagi Konsumen

Bagi nasabah, isu permodalan ini memiliki dampak yang sangat krusial. Kekuatan modal adalah jaminan utama bagi kemampuan perusahaan asuransi untuk membayar klaim di masa depan. Perusahaan dengan modal yang tidak memadai memiliki risiko gagal bayar yang lebih tinggi.

Selain itu, tekanan permodalan dan kenaikan beban klaim di beberapa lini bisnis berpotensi mendorong perusahaan untuk menaikkan premi. Hal ini dapat secara langsung membebani kantong masyarakat, terutama generasi muda yang baru memulai perencanaan keuangannya.

Namun, ada perkembangan positif dari sisi perlindungan konsumen. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru telah melarang perusahaan asuransi untuk membatalkan polis atau menolak klaim secara sepihak, memberikan kekuatan hukum yang lebih besar bagi para pemegang polis.

5. Titik Balik 2026 dan Prospek Industri

Tahun 2026 akan menjadi titik balik yang sangat menentukan bagi lanskap industri asuransi di Indonesia. Penegakan aturan ekuitas minimum secara ketat diharapkan akan menghasilkan industri yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih tepercaya dalam jangka panjang.

Jika berhasil, konsolidasi ini akan menciptakan pemain-pemain asuransi dengan skala yang lebih besar dan fondasi permodalan yang lebih kokoh. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan publik dan memperkuat stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Tags: asuransi