Pesta IPO Rasa PHP: Euforia Oversubscribed, tapi Jatah Cuma Dapet Dikit?
- Euforia IPO besar-besaran tapi jatah dapat sedikit? Pahami mengapa ini terjadi dan strategi cerdas untuk mengelola sisa dana Anda agar tetap produktif.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA – Bursa Efek Indonesia (BEI) baru saja menggelar pesta IPO seminggu penuh. Delapan emiten baru resmi melantai pada tengah pekan 8-11 Juli 2025, menciptakan euforia di kalangan investor ritel. Saham seperti CDIA milik Prajogo Pangestu bahkan mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga 563 kali lipat.
Namun, di balik pesta ini, ada sebuah paradoks. Antusiasme terhadap saham-saham baru ini tidak sepenuhnya tercermin pada pergerakan pasar secara keseluruhan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak cenderung datar, dan investor asing bahkan masih mencatatkan penjualan bersih.
Fenomena ini memunculkan masalah klasik bagi para pemburu IPO: setelah berjuang memesan, jatah yang didapat seringkali sangat sedikit, menyisakan banyak dana 'nganggur' di rekening. Lantas, bagaimana menyikapi situasi ini? Mari kita bedah lima poin pentingnya.
- BRICS Berencana Tumbangkan Dolar AS? Begini Strategi dan Tantangannya
- BRI Borong 11 Penghargaan di Ajang Banking Service Excellence 2025
- COIN Resmi Melantai di BEI, Cetak Sejarah Bursa Kripto Dunia
1. Euforia IPO vs. Realita IHSG: Kenapa Bisa Beda Arah?
Pertama, kita perlu memahami mengapa pasar IPO bisa 'panas' sendiri di saat secara umum masih lesu. Bahkan, pada penutupan perdagangan pekan lalu likuiditas IHSG tersedot, lantaran emiten IPO memasukan masa penawaran umum. Salah satu pemicu utamanya adalah meningkatnya kualitas para calon emiten yang akan melantai di bursa efek.
Chief Investment Officer Makmur, Stefanus Dennis Winarto, langkah BEI yang memperketat proses seleksi IPO dinilai berhasil. Hal ini secara langsung meningkatkan kepercayaan pasar terhadap perusahaan-perusahaan yang baru melantai di bursa, karena dianggap telah melewati filter yang ketat.
Bukti dari pengetatan ini terlihat dari data pipeline IPO itu sendiri. Dari 20 perusahaan yang berada dalam antrean pada akhir Juni 2025, diperkirakan hanya 12 emiten yang akan berhasil melantai hingga akhir tahun, menunjukkan proses seleksi yang lebih serius.
Ketatnya seleksi ini menjadi semacam jaminan kualitas awal bagi investor. “Langkah ini dinilai meningkatkan kualitas perusahaan yang tercatat di bursa dan memperkuat kepercayaan pasar,” kata Stefanus dalam keterangannya, Kamis, 10 Juli 2025.
2. Gak Semua Emas: Beda Valuasi Para Calon Juara
Meskipun minat investor tinggi, Stefanus mengingatkan bahwa tidak semua saham IPO menawarkan valuasi yang menarik. Investor harus jeli melihat harga yang ditawarkan dibandingkan dengan fundamental dan rata-rata industrinya sebelum memutuskan untuk berinvestasi.
Sebagai contoh, ia menyoroti valuasi COIN yang bergerak di sektor finansial. Dengan rasio PER sekitar 35,31x, COIN tergolong murah dibandingkan rata-rata sektor teknologi keuangan yang PER-nya bisa mencapai 92,16x. Hal serupa juga terjadi pada CDIA.
Sebaliknya, saham seperti ASPR dinilai memiliki valuasi yang relatif mahal atau premium dibandingkan rata-rata industrinya. Ini membuktikan bahwa di tengah 'pesta' IPO, investor tetap harus melakukan 'PR' dan tidak asal ikut-ikutan tren.
3. Risiko Tersembunyi Setelah Pesta
Ada satu risiko lain yang sering dilupakan oleh para trader jangka pendek yang mengincar keuntungan cepat. Saham-saham yang naik terlalu liar dan mengalami Auto Reject Atas (ARA) secara beruntun justru berisiko menarik perhatian dari regulator bursa.
Stefanus mengingatkan bahwa jika tren kenaikan harga yang tidak wajar ini terus berlanjut, ada konsekuensi yang bisa merugikan investor. “Saham tersebut berpotensi dikenakan suspensi atau masuk dalam papan pemantauan khusus oleh BEI,” tambahnya.
4. Masalah Klasik Investor Ritel
Inilah masalah yang paling sering dirasakan oleh investor ritel saat ada IPO yang 'panas': sudah ikut berebut, tapi jatah saham yang didapat sangat sedikit atau 'se-iprit'. Hal ini terjadi karena tingginya tingkat kelebihan permintaan atau oversubscription.
Situasi ini menciptakan masalah baru, yaitu adanya sisa dana dalam jumlah besar yang tidak terpakai dan hanya mengendap di Rekening Dana Nasabah (RDN). Stefanus memberikan contoh nyata mengenai kecilnya penjatahan yang umum diterima oleh investor.
Ia menggambarkan sebuah skenario yang sangat sering terjadi di pasar IPO yang ramai. “Misalnya, dari pengajuan sebesar Rp200 juta, bisa jadi hanya Rp1 juta yang terealisasi [mendapat penjatahan],” jelasnya.
5. Puterin Lagi Duit Sisa IPO
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan dengan dana sisa yang jumlahnya besar ini? Membiarkannya mengendap di RDN tanpa imbal hasil tentu bukan pilihan yang bijak, terutama sambil menunggu momentum atau kesempatan investasi potensial berikutnya di pasar modal.
Salah satu langkah strategis yang bisa diambil adalah menempatkan sementara dana 'nganggur' tersebut ke instrumen investasi yang risikonya lebih terkendali. Instrumen seperti Reksa Dana Pendapatan Tetap (RDPT), yang portofolionya berisi obligasi, bisa menjadi salah satu pilihan.
Tujuannya adalah agar uang Anda tetap bekerja dan tidak diam begitu saja, menjaga potensi imbal hasil portofolio secara keseluruhan. “Dalam konteks ini, penting untuk menempatkan dana tersebut ke instrumen investasi yang tetap produktif,” jelas Stefanus.

Alvin Bagaskara
Editor
