Perak dan Tembaga Menggila Jelang 2026, Kinerja Emas Mulai Terbalap
- Harga perak dan tembaga mencatatkan kenaikan tajam menjelang 2026 akibat kelangkaan pasokan global. Lonjakan ini didorong oleh permintaan industri dan arus dana masuk ke ETF yang mencapai US$1 miliar sepekan.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Harga perak dan tembaga mencatatkan kenaikan signifikan menjelang tahun 2026, berhasil melampaui kinerja emas yang cenderung mendatar belakangan ini. Lonjakan harga logam industri dan mulia ini terjadi di tengah situasi kelangkaan pasokan fisik yang semakin nyata serta derasnya arus dana masuk dari para investor global.
Kinerja perak hampir berlipat ganda sepanjang tahun ini, dengan akselerasi kenaikan terbesar terjadi dalam dua bulan terakhir. Lonjakan tersebut dipicu oleh kelangkaan pasokan bersejarah di pasar acuan London, yang diperparah oleh meroketnya permintaan industri dari India serta akumulasi aset oleh dana bursa berbasis perak (ETF).
Meskipun tekanan pasokan sempat mereda berkat pasokan baru di London, ketimpangan neraca masih terlihat jelas di pasar lain. Persediaan perak di China dilaporkan jatuh ke level terendah dalam satu dekade terakhir, menandakan bahwa permintaan fisik di Asia masih sangat kuat menyerap ketersediaan logam putih tersebut.
1. Fenomena 'Panic Buying' di ETF Perak
Volatilitas tersirat pada opsi iShares Silver Trust, ETF perak terbesar di dunia, melesat ke level tertinggi sejak awal 2021. Dalam sepekan terakhir saja, dana hampir US$1 miliar mengalir deras ke ETF tersebut, melampaui arus masuk pada ETF emas terbesar dan menjadi penopang utama harga spot.
Investor Barat yang selama ini memiliki alokasi minim pada logam mulia kini mulai berbondong-bondong masuk ke pasar perak. Pergeseran alokasi aset ini menjadi katalisator baru yang mendorong harga perak bergerak lebih agresif dibandingkan emas, menciptakan momentum bullish yang kuat di pasar finansial global.
Di pasar derivatif, opsi kontrak berjangka perak Comex juga diborong investor untuk melindungi portofolio dari potensi lonjakan volatilitas harga. "Masih ada ruang besar untuk tambahan arus dana seiring normalisasi alokasi investasi," ujar analis Global X ETFs, Trevor Yates, menyoroti potensi inflow lanjutan.
2. Spekulasi 'Tiket Lotre' dan Volatilitas Ekstrem
Euforia pasar terlihat jelas dari maraknya perdagangan opsi berisiko tinggi bergaya "tiket lotre" di bursa komoditas. Lebih dari 5.000 lot call spread perak Comex untuk Februari dengan harga strike US$85 telah berpindah tangan, mencerminkan taruhan spekulatif terhadap potensi reli harga yang masif di awal tahun depan.
Pergerakan harga saat ini dinilai jauh lebih tajam dibandingkan reli sebelumnya. Analis mencatat bahwa perak kini diperdagangkan dengan premi 82% dibandingkan rata-rata lima tahun terakhir. "Jika melihat grafiknya, reli kali ini membentuk pergerakan parabola yang lebih curam dibandingkan periode sebelumnya," kata Analis Marex Group Inc., Ed Meir.
Secara teknikal, arah akhir reli perak dinilai masih sulit dipastikan karena grafik harga telah menembus level historis tanpa resistensi yang jelas. "Puncaknya bisa saja di US60," tambah Ed Meir, mengingatkan bahwa pasar kini bergerak di wilayah harga yang belum terjamah.
3. Fundamental Tembaga: AI dan Elektrifikasi
Berbeda dengan perak, reli harga tembaga lebih didorong oleh faktor fundamental yang kuat ketimbang spekulasi keuangan semata. Lonjakan permintaan untuk kebutuhan elektrifikasi global, pembangunan pusat data kecerdasan buatan (AI), serta proyek energi bersih menjadi pendorong utama yang membuat harga tembaga terus merangkak naik secara konsisten.
Pekan lalu, harga tembaga di London Metal Exchange (LME) melambung ke rekor di atas US$11.600 per ton. Bersamaan dengan itu, volatilitas opsi kontrak Comex Maret di New York naik lebih dari 4 poin, dengan minat terbuka terbesar terkonsentrasi pada opsi beli di atas harga pasar.
Kondisi tersebut berpotensi memicu defisit pasokan serius dalam beberapa tahun mendatang. Gangguan pasokan dari tambang utama terjadi di tengah melonjaknya permintaan. "Risiko penurunan harga tembaga relatif terbatas karena fundamental jangka panjang masih sangat bullish," nilai Trader StoneX Financial Inc., Xiaoyu Zhu.
4. Dampak Kebijakan Tarif Donald Trump
Perdagangan tembaga global turut terguncang oleh kebijakan proteksionisme Amerika Serikat. Rencana pengenaan tarif impor tembaga oleh Presiden Donald Trump memicu lonjakan harga kontrak berjangka di New York hingga melampaui harga di LME, mendorong arus impor besar-besaran material tembaga fisik masuk ke pasar Amerika Serikat.
Pedagang besar seperti Mercuria, Trafigura, dan Glencore memanfaatkan peluang arbitrase harga tersebut. Aliran impor sempat melambat pada Juli saat pengecualian tarif diberlakukan, namun kembali cepat setelah Trump menyatakan akan meninjau ulang rencana pengenaan bea masuk untuk tembaga primer pada tahun depan demi mengamankan pasokan domestik.
Perbedaan harga yang tinggi antara pasar AS dan acuan global menciptakan insentif kuat bagi pelaku pasar untuk menahan pasokan. "Neraca pasokan global semakin ketat akibat berpindahnya material ke AS, dipicu kebijakan tarif aktual maupun potensi penerapannya," sebut manajer portofolio PIMCO, Greg Sharenow.
5. Koreksi Jangka Pendek vs Prospek Panjang
Sebagian tekanan pasokan global pada logam mulia maupun tembaga didorong oleh aktivitas perdagangan arbitrase yang masif. Ketidakseimbangan distribusi stok antara gudang-gudang utama dunia menciptakan volatilitas harga jangka pendek yang tinggi, namun hal ini dinilai tidak akan merusak tren kenaikan harga komoditas dalam jangka panjang.
Investor perlu mewaspadai potensi koreksi harga yang wajar setelah reli yang sangat tajam ini. Penurunan harga sementara mungkin terjadi sebagai bentuk konsolidasi pasar sebelum melanjutkan tren kenaikan, terutama jika ada perubahan kebijakan makroekonomi atau meredanya gangguan pada rantai pasok global.
Analis menilai koreksi tersebut justru bisa menjadi peluang masuk bagi investor jangka panjang. "Kita bisa melihat koreksi 10% hingga 15% pada masing-masing komoditas, namun hal itu tidak akan mengubah cerita jangka panjangnya," pungkas Greg Sharenow meyakinkan prospek komoditas.

Alvin Bagaskara
Editor
