Tren Pasar

Pakar NUS: Lonjakan Emas dan Kripto Hanya Ilusi Kekuatan Ekonomi

  • Pakar NUS Danny Quah menegaskan lonjakan harga emas dan kripto hanyalah ilusi kekuatan ekonomi di tengah pelemahan produktivitas dunia.
tempImage5JFLoP.jpg
Pakar ekonomi NUS Danny Quah menilai lonjakan harga emas dan kripto bukan tanda kekuatan ekonomi, melainkan sinyal melemahnya produktivitas global. Pandangan itu ia sampaikan dalam OCBC Business Forum 2025 di St. Regis Jakarta, Jumat, 24 Oktober 2025. (Dok/Alvin Pasza;TrenAsia)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Ketidakpastian global kembali membayangi pasar keuangan dunia. Di tengah perang dagang Amerika Serikat (AS)–Tiongkok, pelemahan rupiah, dan ancaman shutdown pemerintahan di Washington, investor mulai beralih ke aset-aset alternatif seperti emas dan kripto.

Namun menurut Danny Quah, Professor of Economics di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore (NUS), fenomena ini bukan tanda pemulihan ekonomi, melainkan sinyal pelemahan produktivitas global.

“Kita sedang memasuki masa di mana harga aset naik, tapi produktivitas dan pendapatan masyarakat tidak ikut meningkat. Emas dan kripto mungkin menguat, tapi dunia tidak menjadi lebih kaya,” ujarnya dalam OCBC Business Forum 2025 di St. Regis Jakarta, Jumat, 24 Oktober 2025.

Info saja, sejak awal tahun itu, harga emas global telah melonjak sekitar 56,69% hingga pertengahan Oktober 2025, bahkan sempat menyentuh rekor tertinggi di kisaran US$4.378 per troy ounce. Sementara itu, harga Bitcoin juga mencatatkan kenaikan sekitar 21,76% sepanjang tahun berjalan.

Kenaikan ini, kata Quah, menunjukkan arus modal yang berpindah dari sektor produktif menuju aset safe haven. “Perang dagang dan ketegangan geopolitik membuat investor kehilangan arah. Mereka mencari perlindungan, tapi bukan solusi,” ujarnya.

Bukan Zero Sum-Game, Tapi?

Ia menambahkan, situasi ini bukan lagi permainan zero-sum, di mana satu pihak menang dan yang lain kalah, melainkan negative-sum game. Semua pihak mengalami kerugian, dan kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menjadi wilayah paling terdampak oleh ketegangan dua ekonomi terbesar dunia itu.

“Kita akan terpukul cukup keras di Asia Tenggara. Saya memperkirakan mata uang di kawasan ini akan melemah,” tambahnya.

Dampak tersebut terlihat dari melemahnya kepercayaan terhadap mata uang lokal dan meningkatnya minat pada aset nontradisional seperti emas dan kripto. Namun, Quah mengingatkan bahwa tren ini bukan tanda kekuatan pasar, melainkan gejala hilangnya keyakinan terhadap ekonomi produktif.

“Emas dan kripto memang naik, tapi mereka tidak menambah produktivitas dan output. Tidak menambah pendapatan masyarakat. Ini hanya ilusi keamanan,” tegasnya.

Menurutnya, masyarakat merasa lebih kaya karena nilai aset meningkat, padahal kapasitas ekonomi sesungguhnya stagnan. “Kita sedang melihat pertumbuhan nominal, bukan pertumbuhan nyata,” ujarnya, menyoroti paradoks pertumbuhan semu tersebut.

Pasar Global Berisiko Koreksi

Quah juga memperingatkan risiko koreksi di pasar saham AS yang dapat memperburuk tekanan di pasar berkembang. Ia mengutip peringatan IMF bahwa valuasi saham AS kini sudah jauh dari fundamental ekonominya, sehingga potensi arus keluar modal semakin besar.

“Jika koreksi besar terjadi di Wall Street, dampaknya pasti menular ke Asia Tenggara. Modal akan keluar, dan rupiah berpotensi tertekan,” katanya.

Menanggapi rencana pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 50 basis poin, Quah menilai efeknya bersifat ganda. Suku bunga rendah dapat mendorong aliran dana ke luar AS, namun jika kepercayaan terhadap ekonomi Amerika pulih, arus tersebut bisa cepat berbalik arah.

“Ekonomi Amerika saat ini tidak kuat. Jadi kemungkinan dana global justru akan mengalir ke luar negeri dalam jangka pendek,” ujarnya.

Meski situasi global penuh tekanan, Quah menilai Indonesia memiliki peluang memperkuat ketahanan kawasan melalui kerja sama ekonomi ASEAN. Ia menekankan pentingnya fokus pada sektor produktif, bukan mengejar keuntungan spekulatif jangka pendek.

“Indonesia punya ukuran ekonomi besar dan sumber daya mineral penting. Dengan memperkuat peran di ASEAN, Indonesia bisa menjadi jangkar stabilitas di kawasan,” tutur Quah.

Bagi investor, pesan Quah sederhana namun tegas: berhati-hatilah terhadap kenaikan harga aset yang tampak “aman”. Dalam ekonomi global yang melambat, keamanan bukan berarti kekayaan—dan tidak semua yang naik menandakan kekuatan sejati.