<p>JAKARTA&nbsp;– Fenomena 'dunia terbalik' sedang terjadi di pasar keuangan global. Aset yang selama puluhan tahun dianggap paling aman di dunia, yaitu surat utang atau obligasi pemerintah Amerika Serikat (US Treasury), kini justru mulai dipertanyakan oleh investor.</p><p>Sebaliknya, para manajer investasi raksasa global kini berbondong-bondong memarkirkan dananya di aset yang dulu dianggap lebih berisiko. Surat utang dari negara-negara berkembang, termasuk Surat Berharga Negara (SBN) milik Indonesia, kini menjadi primadona baru di pasar.</p><p>Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: mengapa investor asing tiba-tiba lebih percaya pada obligasi Indonesia daripada obligasi AS? Mari kita bedah lima alasan utama di balik pergeseran besar yang sedang terjadi di pasar global ini.</p><ul><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.id/read/kontroversi-wilmar-group-dari-korupsi-sawit-hingga-beras-oplosan">Kontroversi Wilmar Group: dari Korupsi Sawit hingga Beras Oplosan</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.id/read/dpr-soroti-dugaan-intervensi-asing-dalam-pp-28-2024">DPR Soroti Dugaan Intervensi Asing dalam PP 28/2024</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.id/read/efek-sihir-msci-bikin-saham-prajogo-terbang-tapi-ada-risikonya-loh">Efek Sihir MSCI Bikin Saham Prajogo Terbang, Tapi Ada Risikonya Loh!</a></li></ul><h2>1. Kekhawatiran di Negara Maju: Utang Jumbo dan Dolar yang Melemah</h2><p>Pemicu utama dari tren ini adalah rasa cemas terhadap kondisi fiskal di negara maju, terutama Amerika Serikat. Investor global kini khawatir dengan defisit anggaran dan tumpukan utang pemerintah AS yang terus membengkak secara signifikan.</p><p>Kekhawatiran ini bahkan diutarakan oleh mantan Menteri Keuangan AS, Lawrence Summers. Ia memberikan komentar pedas bahwa obligasi AS kini diperdagangkan layaknya surat utang dari negara berkembang, yang secara implisit menunjukkan adanya peningkatan risiko.</p><p>Faktor lainnya adalah pelemahan nilai tukar dolar AS yang telah turun sekitar 8,3% sepanjang tahun ini. Pelemahan&nbsp;<i>greenback</i>&nbsp;ini secara alami membuat investor global mencari alternatif investasi dalam mata uang lain yang dinilai lebih menarik.</p><h2>2. Negara Berkembang Dianggap Lebih 'Sehat' dan Bertanggung Jawab</h2><p>Di saat negara maju terlihat boros, negara-negara berkembang di Asia justru dinilai lebih disiplin dalam mengelola keuangannya. Hal ini menjadi daya tarik utama bagi investor global yang mencari stabilitas di tengah ketidakpastian saat ini.</p><p>Manajer Portofolio Invesco, Yifei Ding, menyoroti bahwa banyak dari negara-negara ini tidak ikut-ikutan melakukan stimulus fiskal yang berlebihan, sehingga obligasi mereka menjadi sangat menarik. “Sebagian besar tetap mempertahankan target defisit anggaran yang rendah,” kata Ding, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin, 14 Juli 2025.</p><p>Analis dari Goldman Sachs, Kenneth Ho, juga menambahkan bahwa negara-negara besar di Asia tampak tangguh. Hal ini didukung oleh fundamental yang kuat seperti cadangan devisa yang besar serta ketergantungan yang rendah pada utang luar negeri.</p><h2>3. Bukti Nyata: Asing 'Serbu' Lelang Obligasi RI, Thailand, dan Malaysia</h2><p>Pergeseran minat ini bukan sekadar wacana, tetapi sudah tercermin dari data transaksi yang nyata. Pada awal Juli, lelang Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia mencatatkan minat tertinggi dari investor asing atau nonresiden sejak tahun 2020.</p><p>Fenomena serupa juga terjadi di negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang lelang obligasinya diserbu oleh permintaan. Secara total, dana global sekitar US$34 miliar telah mengalir masuk ke pasar obligasi lima negara Asia, termasuk Indonesia.</p><h2>4. Indikator Risiko Berbalik: Asia Lebih Aman dari Negara Maju?</h2><p>Ada satu indikator teknis yang sangat menarik, yaitu&nbsp;<i>Credit Default Swaps</i>&nbsp;(CDS). Sederhananya, CDS adalah premi asuransi terhadap risiko gagal bayar sebuah negara. Semakin rendah angkanya, semakin aman negara itu dianggap oleh pasar profesional.</p><p>Data dari Bloomberg menunjukkan bahwa tingkat CDS di negara-negara Asia berkembang turun jauh lebih dalam dibandingkan CDS di negara-negara maju. Hal ini terjadi sejak Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarifnya pada bulan April lalu.</p><p>Ini adalah sinyal kuat dari pasar bahwa para profesional kini memandang risiko investasi di negara-negara seperti Indonesia dan Thailand justru lebih rendah dibandingkan berinvestasi di beberapa negara maju yang sedang menghadapi masalah fiskal.</p><h2>5. Apa Artinya Ini Buat Investor Ritel Indonesia?</h2><p>Tren global ini membawa beberapa kabar baik bagi kita sebagai investor ritel di dalam negeri. Bagi Anda yang berinvestasi di instrumen berbasis obligasi seperti SBN Ritel atau Reksa Dana Pendapatan Tetap, derasnya aliran dana asing ini menjadi sentimen positif.</p><p>Permintaan yang tinggi dari investor asing ini berpotensi menjaga stabilitas dan bahkan menaikkan harga obligasi di portofolio Anda. Selain itu, tren ini juga berpotensi menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.</p><p>Secara keseluruhan, fenomena ini menunjukkan bahwa di tengah ketidakpastian global, fundamental ekonomi Indonesia kini semakin diakui. Negara kita kini dipandang sebagai salah satu 'pelabuhan aman' yang menarik bagi para investor di panggung dunia.</p>

Ilustrasi penerbitan surat utang korporasi atau obligasi di pasar saham. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia

OBLIGASI.jpg

Di saat negara maju terlihat boros, negara-negara berkembang di Asia justru dinilai lebih disiplin dalam mengelola keuangannya. 

Harga Emas Hari Ini

Obligasi AS Dianggap Berisiko, Kenapa SBN Indonesia Dianggap Aset Safe Haven Baru?