Tren Pasar

Jumlah Investor Tembus 19,1 Juta, Berikut Sejarah Bursa Efek Indonesia

  • Jumlah investor pasar modal Indonesia menembus 19,1 juta per Oktober 2025, dengan 8 juta investor saham aktif. Bursa Efek Indonesia (BEI) juga mencatat rekor IHSG di level 8.274,37 dan kapitalisasi pasar Rp15.234 triliun. Simak sejarah panjang BEI
<p>Awak media beraktivitas dengan latar layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 17 Mei 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>

Awak media beraktivitas dengan latar layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 17 Mei 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

(Istimewa)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Dunia pasar modal Indonesia kembali mencetak sejarah. Hingga Oktober 2025, jumlah investor pasar modal nasional menembus 19,1 juta, naik hampir 28% dibandingkan tahun sebelumnya, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI). 

Dari total itu, 8 juta merupakan investor saham aktif, menandai lonjakan besar partisipasi masyarakat dalam investasi jangka panjang. Direktur Utama BEI Iman Rachman menegaskan bahwa capaian ini menjadi bukti peningkatan literasi dan inklusi keuangan nasional.

Sejalan dengan pertumbuhan investor, kinerja pasar modal juga menguat signifikan. Hingga Oktober 2025, nilai kapitalisasi pasar BEI menembus Rp15.234 triliun, naik 23% dibandingkan akhir 2024.

Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menorehkan rekor tertinggi sepanjang sejarah di level 8.274,37 pada 23 Oktober 2025.

Baca juga : CASA BBCA Tertinggi 83,8 Persen, BMRI dan BBRI Susul Ketat di Kuartal III-2025

Dari sisi likuiditas, rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) mencapai Rp16,46 triliun, tumbuh 28% secara tahunan (year-on-year). Aktivitas perdagangan non-saham juga meningkat pesat dengan nilai transaksi right, warrant, dan derivatif mencapai Rp4,48 triliun, sedangkan unit karbon mencatat volume transaksi sebesar Rp27,9 miliar hingga Oktober 2025.

Dari sisi penghimpunan dana, total dana yang diraih di pasar modal mencapai Rp202,6 triliun, dengan 955 saham tercatat dan 23 emiten baru sepanjang tahun.

 Menariknya, lima di antaranya berstatus Lighthouse IPO dengan kapitalisasi pasar di atas Rp3 triliun, mencerminkan minat besar perusahaan besar masuk ke pasar modal.

Sejarah Bursa Efek Indonesia

Perjalanan Bursa Efek Indonesia merupakan kisah panjang tentang transformasi keuangan nasional yang telah berlangsung lebih dari seabad.
Cikal bakalnya adalah Bursa Efek Batavia, yang berdiri pada 14 Desember 1912 di masa Hindia Belanda. 

Kala itu, perdagangan efek masih terbatas pada obligasi dan saham perusahaan kolonial seperti perusahaan perkebunan dan perbankan milik Belanda.

Setelah Perang Dunia II dan masa kemerdekaan, aktivitas bursa sempat vakum total akibat kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil. Baru pada 10 Agustus 1977, Bursa Efek Jakarta (BEJ) resmi diaktifkan kembali oleh Presiden Soeharto, di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).

Momentum penting terjadi ketika PT Semen Cibinong menjadi emiten pertama yang melantai di bursa pasca kebangkitan tersebut.

Baca juga : CDIA Banjir Cuan dari Listrik dan Kapal, Pendapatan Tembus US$104,8 Juta

Masuk era 1990-an, pasar modal Indonesia mengalami reformasi besar-besaran. Pemerintah memperkenalkan sistem perdagangan elektronik (Jakarta Automated Trading System/JATS) pada 1995, menggantikan sistem manual di lantai bursa. Langkah ini mempercepat transaksi dan membuka akses bagi investor individu.

Tahun 1995 juga menandai berdirinya Bursa Efek Surabaya (BES), yang fokus pada perdagangan obligasi dan derivatif. Namun, untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing, BEJ dan BES resmi bergabung pada 1 Desember 2007, melahirkan entitas baru bernama Bursa Efek Indonesia (BEI).

Setelah penggabungan, BEI terus melakukan digitalisasi sistem perdagangan, termasuk pengembangan online trading system oleh perusahaan sekuritas yang menjadi titik awal revolusi investor ritel Indonesia. 

Dukungan pemerintah dan kampanye literasi keuangan masif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Self-Regulatory Organizations (SRO) membuat jumlah investor meningkat pesat sejak 2015.