Dari ITMG hingga BUMI, Siapa Paling Serius Masuk Tambang Emas?
- Raja batu bara kini berburu emas. Dari ITMG, BUMI, PTRO hingga ANTM, strategi diversifikasi ini jadi mesin cuan baru bagi investor.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – 'Demam emas' tengah melanda para raksasa di Bursa Efek Indonesia. Diterbangkan oleh harga emas dunia yang telah melesat 76% dalam dua tahun terakhir, sejumlah emiten yang selama ini identik dengan batu bara kini ramai-ramai 'ganti baju' dan ikut berburu 'harta karun' emas.
Fenomena ini menjadi sinyal pergeseran strategi yang sangat fundamental. Para 'raja' batu bara tampaknya mulai menyadari bahwa era keemasan 'emas hitam' tidak akan bertahan selamanya, dan kini saatnya untuk mencari 'mesin uang' baru yang lebih berkilau.
Lantas, siapa saja emiten yang sudah terjun ke dalam demam emas ini? Dan seberapa besar potensi yang mereka incar? Untuk menjawabnya, mari kita bedah tuntas manuver para raksasa batu bara ini.
1. Jurus ITMG: Dari Nikel, Kini Lirik Emas
Emiten batu bara PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) menjadi salah satu yang paling agresif. Setelah sukses masuk ke bisnis nikel dengan membeli 9,6% saham PT Adhi Kartiko Pratama Tbk (NICE), Direktur Utama ITMG, Mulianto, kini secara terbuka menyatakan pihaknya membuka kemungkinan untuk masuk ke bisnis emas.
Meskipun masih dalam tahap observasi, langkah ini menunjukkan visi ITMG untuk menjadi perusahaan sumber daya yang lebih terdiversifikasi. Ini adalah strategi cerdas untuk mengurangi ketergantungan pada fluktuasi harga batu bara, di mana pada semester I-2025 pendapatan perusahaan turun 12% menjadi US$919 juta.
2. Manuver BUMI: Caplok Tambang Emas Rp36 Triliun di Australia
Langkah lebih konkret datang dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Emiten Grup Bakrie ini baru saja mengakuisisi Wolfram Limited, sebuah perusahaan tambang emas dan tembaga di Queensland, Australia, yang diperkirakan memiliki cadangan emas senilai Rp36 triliun.
Di bawah kepemimpinan Adika Nuraga Bakrie, BUMI secara tegas menyatakan akan terus berinvestasi di sektor non-batu bara. Akuisisi tambang Wolfram, yang sudah dalam tahap siap operasi, menjadi langkah perdana yang sangat signifikan dan strategis.
Dengan cadangan mineral di Crush Creek mencapai 2,63 metrik ton (kadar emas 2,33 g/t) dan di Mount Carlton sebesar 10,5 metrik ton (kadar emas 1,39 g/t), aset baru ini akan menjadi 'mesin uang' yang sangat penting bagi BUMI di masa depan.
3. Ekspansi PTRO: Jajaki 'Harta Karun' Emas di Papua Nugini
Emiten kontraktor tambang milik Prajogo Pangestu, PT Petrosea Tbk (PTRO), juga tidak mau ketinggalan. Perusahaan ini baru saja mencaplok Grup HBS, pemain kunci di sektor jasa pertambangan emas dan konstruksi di Papua Nugini, dengan nilai transaksi US$25,76 juta.
Langkah ini adalah bagian dari strategi pengembangan usaha PTRO ke luar negeri sekaligus diversifikasi ke sektor mineral emas. Akuisisi ini diharapkan dapat menciptakan sinergi operasional dan memperkuat posisi perusahaan di panggung pertambangan regional.
Grup HBS diketahui telah lama menjalin kemitraan dengan para pemain kunci di sektor tambang emas Papua Nugini. Jaringan dan rekam jejak inilah yang menjadi nilai tambah utama bagi PTRO untuk bisa berekspansi lebih cepat di sana.
4. Rencana ANTM dan Rumor Panas UNTR-PSAB
Raksasa tambang BUMN, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), juga sedang menjajaki akuisisi tambang emas baru. Langkah ini diperlukan untuk meningkatkan utilisasi fasilitas pemurniannya dan mengantisipasi berakhirnya siklus tambang Pongkor pada 2025.
Sementara itu, rumor panas juga menerpa PT United Tractors Tbk (UNTR) yang dikabarkan berencana mengakuisisi PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB). Meskipun kedua belah pihak masih menahan diri, sinyal ketertarikan UNTR pada aset mineral baru sudah sangat jelas.
Emiten kesayangan Lo Kheng Hong, PT ABM Investama Tbk (ABMM), juga ikut 'demam'. Perusahaan ini secara terbuka menyatakan sedang mengincar akuisisi dua tambang emas yang sudah beroperasi, dengan rencana kepemilikan minoritas sekitar 25%-30%.
5. Apa Artinya Ini Bagi Investor?
Bagi investor, 'demam emas' yang melanda para emiten ini adalah sinyal yang sangat positif. Ini menunjukkan bahwa para 'raja' batu bara tidak hanya fokus pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga memiliki visi jangka panjang yang berkelanjutan.
Langkah diversifikasi ini akan membuat model bisnis mereka menjadi lebih tangguh dan tidak terlalu rentan terhadap siklus harga satu komoditas saja. Ini adalah strategi cerdas untuk menciptakan nilai tambah bagi para pemegang saham dalam jangka panjang.
Ke depan, investor akan mencermati seberapa efektif eksekusi dari rencana-rencana akuisisi ini. Keberhasilan mereka dalam mengelola aset-aset emas barunya akan menjadi penentu bagi pergerakan harga saham mereka di masa depan.

Alvin Bagaskara
Editor
