Bitcoin Runtuh di 2025: Mitos Kutukan Piala Dunia atau Siklus 4 Tahunan?
- Bitcoin (BTC) anjlok ke US$93.714 pada November 2025, memicu kembali mitos "Kutukan Piala Dunia" 2026. Sejumlah studi menunjukkan ini bukanlah kutukan, melainkan realitas siklus 4 tahunan aset kripto yang tak terhindarkan.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Harga Bitcoin (BTC) anjlok pada November 2025, menembus level psikologis US$94.000. Penurunan ini secara efektif menghapus seluruh kenaikan yang dicapai sejak awal tahun 2025, memicu kekhawatiran baru di pasar aset digital.
Melansir Bloomberg, pada Minggu, 16 November 2025, harga Bitcoin merosot ke level US$93.714. Penurunan tajam ini terjadi setelah Bitcoin sempat menorehkan rekor all-time high (ATH) baru di US$126.251 pada 6 Oktober 2025, seiring meredupnya euforia pasar.
Waktu kehancuran ini, sekitar setahun menjelang Piala Dunia FIFA 2026, segera menyalakan kembali perdebatan. Apakah ini "Kutukan Piala Dunia" atau realitas dari siklus empat tahunan yang fundamental?
1. Pemicu Jangka Pendek: Mode 'Risk-Off'
Analis pasar menunjuk pada kombinasi faktor makro dan sentimen internal sebagai pemicu langsung. Pasar secara umum berada dalam mode risk-off global, dan kripto menjadi yang pertama bereaksi terhadap perubahan sentimen ini.
Sentimen ritel yang negatif membuat mereka "keluar lebih cepat" untuk menghindari kerugian besar. “Pasar secara umum berada dalam mode risk-off. Kripto menjadi indikator awal," ujar Matthew Hougan, CIO Bitwise Asset Management.
Pandangan ini didukung oleh Jake Kennis dari Nansen. Ia melihatnya sebagai kombinasi "aksi ambil untung... keluarnya dana institusi, ketidakpastian makro, hingga likuidasi posisi long ber-leverage," ujarnya menganalisis data pasar terkini.
Chris Newhouse dari Ergonia juga menyoroti "skeptisisme terkait penempatan modal dan ketiadaan katalis bullish alami" sebagai masalah yang lebih dalam. Hal inilah yang dinilai memicu aksi jual di pasar aset digital.
2. Mitos Kutukan Piala Dunia
Di luar pemicu jangka pendek, waktu kehancuran ini menghidupkan kembali "cerita rakyat" di pasar kripto. Tiga Piala Dunia terakhir sejak Bitcoin mainstream secara konsisten bertepatan dengan koreksi pasar yang brutal.
Pada Piala Dunia 2014 (Brasil), harga Bitcoin jatuh dari sekitar US$620 (Mei) menjadi US$450 (Agustus), atau turun 27,4%. Pola berlanjut pada Piala Dunia 2018 (Rusia), di mana harga ambles 33,3% dari US$9.000 (Mei) menjadi US$6.000 (Agustus).
Terakhir, Piala Dunia 2022 (Qatar). Bitcoin anjlok 23,8% dari US$21.000 (Oktober) menjadi US$16.000 (Desember), dipicu oleh runtuhnya bursa FTX. Kini, crash besar di akhir 2025 kembali menghantui investor. Namun, benarkah turnamen ini penyebabnya?
3. Realitas Akademis: Bukan Kutukan
Analisis akademis menunjukkan korelasi ini kemungkinan besar hanyalah kebetulan. Penyebab sebenarnya dinilai jauh lebih fundamental dan dapat diprediksi: siklus internal Bitcoin itu sendiri.
Penjelasan paling kuat adalah siklus empat tahunan Bitcoin. Studi berjudul "Bitcoin-Bubbles As Innovation Accelerators" (2020) oleh Tobias Huber dan Didier Sornette mengidentifikasi bahwa Bitcoin bergerak dalam siklus boom-bust (gelembung dan kehancuran) yang berulang.
Menurut mereka, gelembung ini adalah "akselerator" adopsi teknologi yang terkait erat dengan halving Bitcoin. Crashpada 2014, 2018, dan 2022 (yang kebetulan dekat Piala Dunia) adalah fase "bust" yang alami dari siklus tersebut.
4. Jangkar Fundamental Siklus
Lalu, mengapa siklus "bust" itu harus terjadi? Studi oleh Adam Hayes (2018) bertajuk "Bitcoin price and its marginal cost of production" memberikan "jangkar" fundamentalnya. Studi ini berargumen bahwa Bitcoin memiliki nilai fundamental yang dapat diukur: biaya produksi marginal.
Ini adalah biaya listrik dan perangkat keras yang dikeluarkan oleh para penambang (mining). Meskipun harga dapat membentuk gelembung spekulatif, seperti reli ke US$126.000 pada 2025, harga pada akhirnya akan selalu cenderung kembali ke model biaya produksi ini.
5. Pemicu Pecahnya Gelembung
Jika siklus adalah mesinnya dan biaya produksi adalah jangkarnya, pemicunya adalah sentimen sosial. Studi oleh David Garcia, et al. (2014) berjudul "The digital traces of bubbles" mengidentifikasi "bahan bakar" sosial, di mana harga Bitcoin sangat dipengaruhi oleh "siklus umpan balik sosial" (hype).
Kenaikan harga memicu lebih banyak word-of-mouth, yang mendorong harga naik lagi. Namun, studi Garcia, et al. juga menemukan temuan krusial: lonjakan besar dalam pencarian informasi (hype) sering kali mendahului penurunan harga yang drastis.
Mode risk-off global (yang disebut Hougan di Poin 1) berfungsi mematikan hype sosial tersebut. Dengan demikian, crash Bitcoin pada akhir 2025 bukanlah "Kutukan Piala Dunia", melainkan koreksi alami siklus 4 tahunan yang tak terhindarkan.

Alvin Bagaskara
Editor
