Tren Leisure

Pakar Ekonomi: Fenomena Dark Industry Harus Diantisipasi

  • Di balik keunggulan dark industry, terdapat ancaman serius terhadap struktur sosial ekonomi, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang masih sangat bergantung pada sektor padat karya.
DALL·E 2025-03-03 14.26.33 - A futuristic dark factory controlled entirely by robots and AI. The facility is dimly lit, with robotic arms assembling products on a high-tech automa.jpg
Ilustrasi Dark Factories, pabrik yang dikendalikan robot (AI)

JAKARTA - Dunia industri kini tengah memasuki era baru yang semakin jauh dari bayang-bayang intervensi manusia. Fenomena ini dikenal dengan sebutan dark technology atau dark industry, sebuah konsep yang merevolusi cara kerja industri manufaktur melalui otomatisasi penuh. 

Pengamat ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Bhimo Rizky Samudro, menyebut perkembangan ini sebagai disrupsi teknologi yang tak bisa dihindari namun harus diantisipasi secara serius.

Istilah dark industry atau lights-out factory merujuk pada fasilitas produksi yang mampu beroperasi tanpa kehadiran manusia sama sekali. Disebut “dark” karena tidak lagi membutuhkan pencahayaan layaknya pabrik konvensional, karena mesin dan robot tak memerlukan cahaya untuk bekerja. 

Hal ini memungkinkan penghematan energi sekaligus efisiensi operasional yang signifikan. “Dark technology atau dark industry benar-benar memangkas peran manusia. Jadi benar-benar dia melakukan efisiens energi, dia atur agar mesin besarnya bergerak terus tanpa campur tangan manusia,” ujar Bhimo kepada TrenAsia, Kamis, 24 April 2025.

Konsep ini berkembang pesat di China, negara yang selama satu dekade terakhir menunjukkan agresivitas tinggi dalam mengadopsi teknologi seperti robotika, kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), serta jaringan 5G.

Contoh Nyata: Xiaomi, Foxconn, dan Huawei

Salah satu contoh nyata yang disebut Bhimo adalah penerapan dark technology adalah pabrik pintar milik Xiaomi, yang disebut telah mencapai tingkat otomatisasi hingga 91%. “Jadi dark technology atau dark industry itu sekarang mulai berkembang di Tiongkok. Salah satunya adalah di perusahaan Xiaomi,” jelas Bhimo.

Di area Body Workshop, seluruh proses produksi mobil berlangsung tanpa satu pun pekerja manusia, dengan satu unit kendaraan dapat selesai hanya dalam 76 detik. Sebuah loncatan besar dalam dunia manufaktur.

Sementara itu, Foxconn, raksasa manufaktur elektronik yang memproduksi komponen untuk Apple dan perusahaan global lainnya, pada tahun 2016 dilaporkan telah menggantikan 60.000 pekerjanya dengan sistem otomatis. Bahkan, perusahaan ini menargetkan untuk mengotomatisasi seluruh proses produksinya dalam waktu dekat.

Huawei juga tidak ketinggalan. Di Pelabuhan Tianjin, mereka menerapkan teknologi otomasi mutakhir yang memungkinkan derek dan truk bergerak tanpa pengemudi. Semua dikendalikan melalui jaringan data canggih, mengurangi kebutuhan tenaga kerja manual secara drastis.

Efisiensi vs Ancaman Sosial

Bhimo menekankan bahwa dark technology menawarkan efisiensi ekstrem dari sisi waktu, biaya operasional, hingga konsumsi energi.  "Dan dia targetnya adalah dia bisa menghasilkan outputnya itu beberapa kali lipat lebih banyak dan lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan SDM," ungkap Bhimo.

Namun di balik keunggulan tersebut, terdapat ancaman serius terhadap struktur sosial ekonomi, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang masih sangat bergantung pada sektor padat karya. “Bisa dipetakan beberapa profesi itu akan hilang karena ini.  Sumber daya manusia tidak lagi berperan, sebenarnya saya cukup mengkhawatirkan ini,” ujar Bhimo.

Untuk menghadapi era otomatisasi ini, negara harus merancang strategi yang tidak hanya mendorong adopsi teknologi, tetapi juga melindungi keberlangsungan tenaga kerja manusia. 

Reskilling (pelatihan ulang), pendidikan vokasi berbasis teknologi, dan transformasi industri ke sektor-sektor kreatif dan inovatif menjadi agenda penting.

Selain itu, faktor demografis juga menjadi pertimbangan. Negara seperti China mendorong otomatisasi sebagai respons terhadap penurunan populasi usia kerja. Sementara Indonesia, yang tengah menikmati bonus demografi, perlu berhati-hati agar teknologi tidak justru meniadakan keunggulan ini.

Dark factory bukan sekadar simbol kemajuan teknologi, tetapi juga cermin tantangan masa depan. Dunia bergerak menuju efisiensi ekstrem, namun tetap harus menyisakan ruang bagi manusia, setidaknya dalam bentuk pengawasan, pengendalian, dan inovasi. Karena pada akhirnya, teknologi seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti total manusia.