Fenomena Hipogami, Ketika Perempuan Menikahi Pria dengan Status Sosial Lebih Rendah
- Hipogami terjadi ketika perempuan memilih pasangan dengan latar belakang yang lebih rendah dari segi status sosial, pendidikan, atau ekonomi.

Debrinata Rizky
Author


JAKARTA – Dalam dinamika relasi modern, muncul tren baru yang menarik perhatian para sosiolog dan pengamat budaya yaitu hipogami.
Fenomena ini dikenal sebagai hipogami, kebalikan dari hipergami (perempuan menikah naik kelas). Tren ini makin terlihat di negara-negara Barat seiring banyaknya perempuan yang menempuh pendidikan tinggi dan mandiri secara finansial.
- Menteri LHK Bongkar Perusahaan Tambang yang Cemari Raja Ampat
- Harga Sembako di DKI Jakarta Senin, 09 Juni 2025, Jeruk Medan Naik, Kelapa Kupas Turun
- Inilah 5 Perusahaan Tambang Nikel yang Beroperasi di Raja Ampat
Apa Itu Hipogami?
Dikutip dari BBC, Hipogami terjadi ketika perempuan memilih pasangan dengan latar belakang yang lebih rendah dari segi status sosial, pendidikan, atau ekonomi. Fenomena ini mulai banyak terlihat terutama di kalangan perempuan muda, mapan, dan berpendidikan tinggi termasuk dari generasi milenial dan Gen Z.
Pergeseran nilai-nilai tradisional turut mendorong perempuan untuk mengambil peran lebih dominan dalam kehidupan pribadi mereka, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Banyak perempuan kini tidak lagi menjadikan status ekonomi atau jabatan sebagai tolok ukur utama.
Dalam sejumlah studi, para perempuan yang sukses secara karier dan finansial mengaku mencari pasangan yang bisa memberikan dukungan emosional, fleksibilitas peran domestik, hingga kedewasaan berkomunikasi meskipun secara materi atau akademik berada di bawah mereka.
Fenomena ini tidak lepas dari realitas sosial saat ini, di mana jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi dan meraih posisi strategis di dunia kerja terus meningkat. Sementara di sisi lain, ketimpangan pendidikan dan penghasilan di antara kelompok laki-laki kelas menengah ke bawah masih menjadi tantangan.
Pro dan Kontra
Meski mulai banyak terjadi, hipogami masih memunculkan pro-kontra di masyarakat. Beberapa kalangan konservatif menilai hubungan semacam ini berisiko menimbulkan ketidakseimbangan peran, terutama jika laki-laki merasa terintimidasi oleh keberhasilan pasangannya.
Namun bagi pasangan yang mampu membangun komunikasi dan saling pengertian, perbedaan status sosial bukanlah hambatan. Sebaliknya, relasi bisa menjadi lebih sehat dan egaliter, karena didasarkan pada kesetaraan dan rasa saling menghargai.
Fenomena hipogami menjadi penanda zaman bahwa relasi modern terus berkembang seiring dengan transformasi sosial dan ekonomi. Bukan soal siapa yang lebih tinggi atau lebih kuat, tapi siapa yang paling siap tumbuh bersama dalam hubungan yang setara.

Ananda Astridianka
Editor
