Tren Inspirasi

Sosok Ibu Inspiratif: Farwiza Farhan, Aktivis Lingkungan dari Aceh Pendiri HAkA

  • Farwiza Farhan merupakan seorang aktivis lingkungan. Ia menjabat sebagai Ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA), sebuah organisasi akar rumput yang berbasis di Aceh.
Farwiza Farhan.
Farwiza Farhan. (futurefornature.org)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Hari Ibu adalah momen peringatan sekaligus perayaan atas peran seorang ibu dalam keluarga, baik bagi pasangan, anak-anak, maupun lingkungan sosial di sekitarnya.

Hari Ibu di Indonesia diperingati secara nasional setiap 22 Desember. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 tertanggal 16 Desember 1959, bertepatan dengan peringatan 25 tahun Kongres Perempuan Indonesia 1928.

Tanggal tersebut dipilih sebagai simbol penghormatan terhadap semangat perjuangan perempuan Indonesia sekaligus untuk menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Bicara soal hari ibu, di Indonesia terdapat sosok wanita inspiraif yang patut menjadi panutan, namanya yaitu Farwiza Farhan.

Farwiza Farhan merupakan seorang aktivis lingkungan. Ia menjabat sebagai Ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA), sebuah organisasi akar rumput yang berbasis di Aceh.

Melalui organisasi tersebut, ia aktif menjalankan konservasi, perlindungan, dan restorasi Ekosistem Leuser. Selain itu, ia melibatkan masyarakat setempat dalam mengembangkan kebijakan lingkungan dan mata pencaharian mereka.

Farwizah Farhan lahir di ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tahun 1986. Sejak kecil, Wiza tumbuh berdampingan dengan alam Aceh yang masih asri. Kecintaannya dengan lingkungan berawal dari pengalaman masa kecilnya yang banyak dihabiskan di alam terbuka.

Dia tumbuh dengan latar belakang pendidikan yang sejalan dengan ketertarikannya pada isu konservasi. Ia meraih gelar sarjana sains dari Universiti Sains Malaysia, gelar magister dalam program Environmental Management and Sustainable Development di University of Queensland, Australia.

Farwiza Farhan. (futurefornature.org)

Farwiza selalu bersyukur karena tumbuh dalam keluarga liberal di Aceh. Orang tuanya berprofesi sebagai akademisi yang mendorongnya, bersama saudara-saudaranya, untuk mengutamakan pendidikan agar kelak mampu menentukan pilihan hidup secara mandiri.

Saat sang ayah menyelesaikan gelar PhD di Malaysia, ayahnya sempat mendapat tawaran pekerjaan di sana. Namun, ayah Farwiza memilih kembali ke Aceh untuk mengajar. Keputusan tersebut menjadi sumber inspirasi bagi Farwiza untuk senantiasa berkontribusi dan mengabdi kepada masyarakat.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Wiza sempat bekerja di lingkungan pemerintahan dan organisasi yang mengelola kawasan. Melalui peran tersebut, ia memutuskan untuk berada di garis terdepan dalam upaya memperjuangkan perlindungan hutan.

Keputusan itu diambil bukan secara spontan. Wiza menyadari adanya kesenjangan yang cukup besar antara kebijakan yang ada dan pelaksanaannya di lapangan. Kondisi tersebut menimbulkan berbagai risiko serius bagi satwa langka seperti gajah, harimau, badak, dan orang utan yang hidup berdampingan di Leuser.

Ekosistem Leuser dikenal sebagai salah satu kawasan hutan hujan dataran rendah dan pegunungan yang terlbesar sekaligus terakhir tersisa di Asia Tenggara.

Kawasan ini masih menjadi habitat penting bagi beragam satwa, seperti gajah Sumatra, harimau Sumatra, orang utan Sumatra, dan badak Sumatra. Kawasannya membentang hingga jutaan hektare, diperkirakan sekitar 2,6 hingga 6,5 juta hektare dan mencakup wilayah Aceh dan Sumatra Utara.

Kondisi ekologinya membuat kawasan ini berperan sebagai “paru-paru” sekaligus habitat yang sangat penting bagi berbagai spesies terancam punah. Namun, keberadaannya menghadapi beragam ancaman, mulai dari alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit, penebangan liar, kebakaran lahan gambut, hingga pembangunan infrastruktur yang tak mempertimbangkan nilai ekologis kawasan. 

Dengan memahami berbagai ancaman bagi kawasan tersebut, perlindungan Leuser tidak lagi sekadar berfokus pada penyelamatan satwa. Bagi Wiza, isu tersebut juga mencakup keadilan lingkungan, perlindungan hak-hak masyarakat lokal dan adat, serta mitigasi perubahan iklim melalui penjagaan cadangan karbon di lahan gambut dan hutan primer. Dari sinilah peran Farwiza Farhan menjadi krusial.

Tekadnya yang tak kenal takut untuk melindungi wilayah tersebut dari eksploitasi yang tidak terkendali membawanya untuk mendirikan LSM HAkA pada tahun 2012.

HAkA berfokus pada pembuatan kebijakan yang bertujuan menjaga keberlanjutan Provinsi Aceh dalam jangka panjang melalui tiga aspek utama yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pendekatan ini telah mengantarkan Farwiza pada sejumlah capaian penting.

Salah satu pencapaian terbesar bagi Ekosistem Leuser dan masyarakatnya adalah kemenangan hukum melawan perusahaan pemegang konsesi perkebunan kelapa sawit. Bersama tim HAkA, Farwiza berhasil mengamankan ganti rugi sebesar US$26 juta untuk memperbaiki hutan, sebuah pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

HAkA juga terlibat dalam pembatalan proyek bendungan pembangkit listrik tenaga air yang melintasi habitat gajah Sumatra yang terancam punah. Dengan menjadi suara hukum dalam melawan pemusnahan nilai alam dari ekosistem yang unik ini, Farwiza berharap dapat menggeser keseimbangan kekuasaan kembali ke tingkat lokal, yaitu kepada masyarakat Aceh.

Salah satu ciri yang menonjol dari kiprah Wiza adalah perhatiannya pada pemberdayaan perempuan. Berbagai program HAkA melibatkan perempuan desa sebagai penjaga hutan, pelatih pengawasan, dan penggerak kampanye lingkungan. Pendekatan ini didasari keyakinan bahwa perempuan memegang peran penting dalam mewujudkan upaya konservasi yang berkelanjutan.

Karena peran besar perempuan dalam menjaga ketahanan pangan keluarga, mengelola sumber daya air, serta merawat pengetahuan lokal. Oleh karena itu, HAkA membekali ratusan perempuan dengan pelatihan memantau hutan, melaporkan aktivitas ilegal, hingga keterlibatan aktif dalam perencanaan tata ruang di tingkat lokal.

Perjuangan mereka juga tercatat dalam sejarah. Putusan pengadilan yang menjatuhkan denda besar kepada perusahaan pelanggar, lalu dialokasikan untuk pemulihan lingkungan, menjadi preseden berharga bagi penegakan hukum lingkungan di kawasan itu.

Jaringan komunitas HAkA berhasil merekrut dan melatih ratusan penjaga hutan komunitas dengan fokud kuat pada keterlibatan perempuan, yang secara aktif melakukan patroli dan pemantauan. Aktivitas ini berperan sebagai sistem peringatan dini terhadap kebakaran hutan, pembalakan liar, serta alih fungsi lahan.

Diketahui, ia terpilih masuk dalam daftar Time 100 Next 2022, bahkan wajahnya menghiasi sampul majalah tersebut. Kiprah Farwiza juga diulas secara khusus dalam majalah Time edisi Oktober 2022 oleh ilmuwan ternama Jane Goodall.

Sebelumnya, pada tahun 2016, Farwiza menerima Whitley Award dari Princess Anne of England sebagai pemimpin konservasi grassroots di seluruh Global South. Pada tahun yang sama, ia turut mendampingi Leonardo DiCaprio saat aktor Hollywood tersebut berkunjung ke Aceh untuk syuting film konservasi dokumenter. Keterlibatannya kemudian terekam dalam film berjudul Before the Flood.