Mengenal Alexandr Wang, Pemuda Jenius di Bidang AI yang Teknologinya Digunakan Pentagon
- Alexandr Wang drop out dari MIT setelah baru satu tahun kuliah demi mengejar sesuatu yang lebih besar: membangun perusahaan rintisan di bidang AI yang nantinya jadi Scale AI.

Idham Nur Indrajaya
Author


JAKARTA - Kalau kamu tertarik sama dunia teknologi, khususnya kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI), nama Alexandr Wang wajib masuk radar kamu. Bukan cuma karena dia pendiri Scale AI, tapi juga karena pencapaiannya yang luar biasa di usia yang masih sangat muda. Dia termasuk dalam jajaran miliarder termuda versi Forbes, dan yang paling keren: semuanya hasil kerja keras dan otaknya sendiri. Gak heran kalau banyak yang menyebut dia sebagai “The Real Genius of AI.”
Alexandr Wang lahir pada tahun 1997 dan dibesarkan di Los Alamos, New Mexico, sebuah kota kecil yang terkenal sebagai pusat penelitian nuklir Amerika Serikat. Kedua orangtuanya adalah fisikawan yang bekerja di Los Alamos National Laboratory, tempat kelahiran proyek bom atom di masa Perang Dunia II. Lingkungan seperti ini jelas jadi ‘bumbu’ penting yang membentuk ketertarikan Alexandr pada sains dan teknologi sejak kecil.
Sejak kecil, Wang sudah menunjukkan tanda-tanda jenius. Ia sering ikut olimpiade matematika dan pemrograman, dan bahkan sempat meraih posisi tinggi dalam kompetisi bergengsi seperti USA Computing Olympiad.
- Kebingungan Pekerja Muda Saat BSU Tak Kunjung Cair
- Startup Inggris Ini Bawa Tempe Indonesia Jadi Superfood yang Dicari-cari di Eropa
- Dari Soeharto ke Prabowo: Era Presiden Mana yang Bikin Rakyat Bernapas Lebih Lega Secara Ekonomi?
Perjalanan Akademik: Lompat Jauh Lebih Cepat dari Teman Sebaya
Alexandr sempat kuliah di Massachusetts Institute of Technology (MIT), salah satu kampus paling top di dunia. Tapi dia nggak menyelesaikan kuliahnya. Yep, kamu nggak salah baca. Alexandr Wang drop out dari MIT setelah baru satu tahun kuliah demi mengejar sesuatu yang lebih besar: membangun perusahaan rintisan di bidang AI yang nantinya jadi Scale AI.
Jangan salah, keputusannya untuk keluar dari MIT bukan karena dia malas kuliah. Justru sebaliknya, dia sudah punya visi yang sangat jelas tentang bagaimana teknologi AI bisa merevolusi berbagai sektor industri.
Lahirnya Scale AI: Dari Startup ke Unicorn
Waktu itu, Alexandr Wang bekerja di Quora dan bertemu dengan Lucy Guo, yang kemudian jadi co-founder Scale AI. Di tahun 2016, mereka mendirikan Scale AI di San Francisco. Misinya sederhana tapi ambisius: membantu perusahaan membangun model AI yang lebih akurat dan efisien dengan menyediakan data yang telah diberi anotasi (data labeling) berkualitas tinggi.
Kenapa data labeling penting? Karena AI cuma secerdas data yang diajarkan padanya. Kalau datanya berantakan, hasilnya pun kacau. Scale AI melihat celah ini dan langsung tancap gas menyediakan data labeling untuk perusahaan-perusahaan besar, termasuk dalam bidang mobil otonom, pertahanan, hingga layanan kesehatan.
Beberapa klien awal mereka termasuk OpenAI, Waymo, Toyota, Brex, dan bahkan Departemen Pertahanan Amerika Serikat (DoD). Gak heran kalau valuasi perusahaan ini melonjak jadi miliaran dolar hanya dalam beberapa tahun.
Pencapaian Mencengangkan: Miliarder Termuda Dunia
Di usia 25 tahun, Alexandr Wang dinobatkan sebagai miliarder termuda yang meraih status tersebut melalui usahanya sendiri (self-made) versi Forbes. Kekayaannya ditaksir mencapai lebih dari US$1 miliar berkat kepemilikan saham di Scale AI.
Tapi yang menarik, meski udah jadi miliarder, Wang tetap tampil sederhana. Gaya bicaranya kalem, low-profile, dan jauh dari kesan pamer. Bahkan dia dikenal sebagai orang yang lebih senang bekerja daripada tampil di depan kamera.
Baca Juga: Startup Inggris Ini Bawa Tempe Indonesia Jadi Superfood yang Dicari-cari di Eropa
Filosofi dan Visi Wang dalam Membangun AI
Alexandr Wang percaya bahwa masa depan akan sangat bergantung pada AI. Tapi menurutnya, AI hanya akan benar-benar bermanfaat kalau dilatih dengan data yang bersih dan akurat. Di sinilah Scale AI ambil peran besar.
Ia juga memiliki pandangan bahwa AI bukan untuk menggantikan manusia, tapi untuk memperkuat kemampuan manusia. Dalam beberapa wawancara, Wang sering menyampaikan bahwa tujuan utamanya adalah menciptakan teknologi yang berdampak luas dan positif bagi umat manusia.
Kontribusi ke Dunia Pertahanan dan Nasionalisme Teknologi
Uniknya, Scale AI juga terlibat dalam proyek-proyek nasionalisme teknologi, salah satunya dengan Departemen Pertahanan AS. Mereka membantu menyediakan data penting untuk proyek keamanan nasional, termasuk pengembangan teknologi AI militer.
Wang percaya bahwa Amerika (dan negara mana pun) harus punya kendali atas teknologi penting seperti AI, bukan hanya menyerahkannya ke tangan perusahaan asing atau entitas yang tidak bertanggung jawab. Perspektif ini membuatnya juga disegani di kalangan pembuat kebijakan dan militer.
- Anjing Robot Polisi Rp3 M, Uang Segitu Bisa Buat Nikah, Kuliah, dan Beli Rumah!
- RIP Diogo Jota, Ini Daftar Pemain Bola Terkenal yang Meninggal karena Kecelakaan
- Info Saham Hari Ini: IHSG Wait and See, Cermati AMRT, ICBP, dan PGEO
Inspirasi untuk Anak Muda: Mimpi Itu Harus Dikejar
Buat kamu yang masih muda dan sedang mencari arah, kisah Alexandr Wang adalah contoh nyata bahwa usia bukan penghalang untuk bikin sesuatu yang berdampak besar. Mulai dari anak SMA yang jago olimpiade komputer, jadi mahasiswa MIT, lalu keluar untuk membangun perusahaan sendiri dan akhirnya jadi miliarder di usia 20-an.
Kuncinya? Berani ambil risiko, kerja keras, dan terus belajar. Alexandr juga bukan anak yang datang dari keluarga kaya raya—tapi dari keluarga biasa yang cinta ilmu pengetahuan. Jadi, siapa pun bisa jadi seperti dia, selama mau terus bertumbuh.
Fun Fact Tentang Alexandr Wang
- Alexandr adalah pecinta coding sejati. Bahkan di waktu senggang, dia masih sering ngoding sendiri.
- Dia sangat tertarik dengan sains roket dan teknologi pertahanan.
- Meski sudah miliarder, Wang tetap menggunakan laptop sederhana dan tidak gila pamer kekayaan.
- Di Twitter dan wawancara, dia terkenal dengan gaya bicara yang to the point dan rendah hati.

Amirudin Zuhri
Editor
