Tren Inspirasi

Latte Dad: Inspirasi dari Swedia, Kapan Ayah Indonesia Punya Hak Sama?

  • Swedia sukses melahirkan budaya “latte dad” berkat cuti ayah progresif. Indonesia baru punya UU KIA dengan cuti 2 hari. Mungkinkah kebijakan itu tumbuh di sini?
Ilustrasi orang tua sedang berbicara dengan bayi
Ilustrasi orang tua sedang berbicara dengan bayi (Shutterstock)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Bayangkan suasana di sebuah kafe Stockholm pada pagi hari. Tak hanya para ibu yang sibuk menenangkan bayi mereka, tetapi juga banyak ayah yang dengan santai mendorong stroller sambil menyeruput cappuccino. 

Fenomena ini dikenal dengan istilah “Latte Dad”, simbol keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang lahir dari kebijakan cuti orang tua progresif di Swedia. Swedia dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem cuti orang tua terbaik di dunia. 

Pemerintah memberikan hak 480 hari cuti berbayar yang dapat dibagi antara ayah dan ibu hingga anak berusia delapan tahun. Dari jumlah itu, 90 hari dialokasikan khusus untuk ayah melalui kebijakan daddy quota dengan sistem “gunakan atau hilang”.

Selama 390 hari pertama, orang tua menerima 80% dari gaji, bahkan banyak perusahaan menambahkan hingga 90%. Tak heran jika ayah di Swedia percaya diri memanfaatkan cuti ini, sehingga keberadaan mereka bersama anak di ruang publik menjadi hal yang lumrah.

Hasilnya bukan sekadar gaya hidup. Sebuah studi Universitas Sumatera Utara (USU) dalam jurnal “Perbandingan Kebijakan Cuti Melahirkan antara Indonesia dan Swedia dalam Perspektif Feminisme Liberal” menemukan anak yang tumbuh dengan ayah yang terlibat sejak dini memiliki perkembangan sosial dan emosional lebih sehat. 

Di sisi lain, ibu bisa kembali bekerja lebih cepat, menciptakan rumah tangga yang lebih setara. Di Swedia, menolak cuti ayah bahkan dianggap tabu. Norma sosial mendukung penuh peran ayah sebagai pengasuh, bukan hanya pencari nafkah.

Indonesia, Masih Tertinggal Jauh

Kondisi di Indonesia berbanding terbalik. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, seorang ayah hanya berhak cuti dua hari saat istrinya melahirkan.

Meski ada RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang sempat mengusulkan 40 hari cuti ayah, aturan ini belum disahkan. Beberapa perusahaan multinasional memang memberi kelonggaran lebih besar, tetapi kebijakan tersebut belum merata di seluruh sektor.

Durasi cuti yang sangat singkat membuat banyak ayah hanya berperan sebagai “penyambut” di rumah sakit, sementara beban pengasuhan jatuh sepenuhnya kepada ibu. Tidak sedikit perempuan akhirnya terpaksa berhenti bekerja karena kurangnya dukungan.

Selain regulasi, hambatan budaya juga besar. Dalam masyarakat yang masih kental dengan nilai patriarki, mengasuh anak dianggap sebagai “tugas ibu”. Ayah yang mengambil cuti sering kali dipandang sebelah mata.

UU KIA, Harapan Baru

Harapan muncul dengan hadirnya UU Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA). Regulasi ini menekankan perlindungan ibu dan anak pada 1.000 hari pertama kehidupan.

Beberapa poin penting dalam UU KIA antara lain hak cuti melahirkan minimal 3 bulan, dapat diperpanjang hingga 6 bulan dengan rekomendasi medis. Lalu, pembayaran upah penuh selama 4 bulan pertama, dan 75% untuk 2 bulan berikutnya. 

Hak cuti ayah 2 hari, dengan tambahan 3 hari bila diperlukan, atau 2 hari jika terjadi keguguran, larangan PHK bagi ibu yang sedang cuti, dan kewajiban perusahaan menyediakan fasilitas ramah keluarga seperti ruang laktasi dan penitipan anak.

UU KIA juga menegaskan tanggung jawab bersama antara orang tua, keluarga, serta pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung kesejahteraan ibu dan anak. Perlindungan khusus diberikan bagi ibu dalam kondisi rentan, termasuk penyandang disabilitas, korban bencana, maupun ibu tunggal.

Perusahaan yang melanggar aturan dapat dikenakan sanksi administratif. Dengan demikian, UU KIA diharapkan mendorong kesetaraan, memperkuat kesehatan keluarga, sekaligus menciptakan lingkungan kerja yang lebih ramah.

Namun, regulasi saja tidak cukup. Kesadaran masyarakat perlu berubah, perusahaan harus lebih proaktif mendukung kebijakan ramah keluarga, dan para ayah harus berani melawan stigma bahwa mereka hanya pencari nafkah.

Jika semua berjalan seiring, bukan tidak mungkin suatu hari nanti, di kafe-kafe Jakarta kita juga akan melihat lebih banyak “Latte Dad” yang mendorong stroller sambil menikmati kopi pagi mereka.