Tren Inspirasi

3 Ilmuwan Raih Nobel 2025, Menguak Misteri Autoimun, Jadi Solusi Kanker

  • Tiga ilmuwan raih Nobel 2025 berkat penemuan mekanisme sistem imun yang mencegah tubuh menyerang dirinya sendiri, membuka jalan terapi autoimun dan kanker.
download (40).jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Senin, 6 Oktober 2025, aula megah Institut Karolinska di Stockholm dipenuhi tepuk tangan meriah. Tiga nama disebut secara berurutan, Mary E. Brunkow, Fred Ramsdell, dan Shimon Sakaguchi. 

Ketiganya, dua ilmuwan asal Amerika Serikat dan satu dari Jepang, dinobatkan sebagai penerima Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2025. Penghargaan bergengsi itu mereka terima atas temuan mendasar mengenai alasan sistem imun tidak menyerang tubuh sendiri, sebuah misteri yang telah membingungkan dunia kedokteran selama puluhan tahun. 

"Penemuan mereka menjadi dasar bagi penelitian baru dan memicu pengembangan pengobatan baru, misalnya untuk kanker dan penyakit autoimun," ungkap Institut Karolinska, dalam keterangan persnya, dikutip Selasa, 7 Oktober 2025.

Total hadiah sebesar 11 juta krona Swedia atau sekitar Rp 19 miliar serta medali emas dari Raja Swedia menjadi simbol pencapaian mereka. Namun, yang lebih berharga adalah dampak luas penemuan ini terhadap pengobatan masa depan untuk penyakit autoimun, kanker, dan transplantasi organ.

Memahami Misteri Autoimun

Perjalanan ilmiah tersebut bermula pada tahun 1995 di Universitas Osaka, Jepang. Di laboratorium sederhana, Shimon Sakaguchi mengamati fenomena unik pada tikus percobaan yang tidak memiliki timus, organ tempat pematangan sel T. 

Tikus-tikus tersebut menunjukkan gejala penyakit autoimun berat. Namun, ketika disuntikkan sel imun sehat, gejala tersebut mereda secara drastis.

Dari pengamatan itu, Sakaguchi menduga adanya “penjaga tersembunyi” dalam sistem imun yang berfungsi menahan serangan terhadap tubuh sendiri.

Baca juga : TOBA, ENRG, PGEO Jadi Andalan Saat IHSG Melemah

Setelah penelitian mendalam, ia berhasil mengidentifikasi sel T regulator (Treg), sekelompok kecil sel T yang berperan penting dalam menekan reaksi imun berlebihan dan mencegah sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Temuan ini menjadi tonggak pertama dalam memahami toleransi imun perifer, konsep kunci dalam imunologi modern.

Enam tahun kemudian, dua ilmuwan Amerika, Mary Brunkow dan Fred Ramsdell, menemukan potongan penting lain dari teka-teki ini. Berbasis di Seattle dan San Francisco, mereka meneliti penyakit autoimun bawaan pada tikus “scurfy” dan pasien anak dengan sindrom IPEX, sebuah kondisi langka yang merusak sistem imun sejak lahir. 

Dalam penelitian yang memakan waktu bertahun-tahun, mereka berhasil menemukan sebuah gen tunggal, Foxp3, yang mengalami mutasi pada semua kasus tersebut. 

Gen ini ternyata berfungsi mengendalikan pembentukan dan aktivitas sel T regulator. Tanpa Foxp3, sistem imun kehilangan “rem” pengendali, sehingga sel-sel imun menyerang jaringan tubuh sendiri tanpa henti. Penemuan ini diterbitkan pada tahun 2001 dan menjadi terobosan besar yang memperjelas mekanisme dasar toleransi imun.

Titik Temu Pengetahuan

Pada tahun 2003, Sakaguchi kembali muncul dengan temuan yang menghubungkan kedua penemuan tersebut. Ia membuktikan bahwa Foxp3 adalah faktor utama yang mengendalikan perkembangan sel T regulator, sehingga menyatukan pengamatan fisiologis dan genetika dalam satu kerangka besar.

Ketiga ilmuwan ini kini dikenal sebagai tokoh kunci dalam revolusi pemahaman sistem imun. Mary E. Brunkow, 64 tahun, kini menjabat sebagai manajer program senior di Institute for Systems Biology, Seattle. Fred Ramsdell, juga 64 tahun, menjadi penasihat ilmiah di Sonoma Biotherapeutics dan direktur riset di Parker Institute for Cancer Immunotherapy, San Francisco. 

Sementara itu, Shimon Sakaguchi, 74 tahun, tetap aktif meneliti di Immunology Frontier Research Center (IFReC), Universitas Osaka. Kombinasi penemuan mereka memperjelas bagaimana tubuh menjaga keseimbangan antara melawan ancaman luar dan melindungi jaringan sendiri.

Baca juga : Profil Halim Kalla yang Jadi Tersangka Kasus Korupsi PLTU Kalbar

Penemuan mengenai sel T regulator dan gen Foxp3 tidak hanya memperluas wawasan dasar tentang sistem imun, tetapi juga membuka jalan bagi terapi medis inovatif. 

Dalam bidang kanker, pendekatan pengobatan kini berfokus pada menurunkan aktivitas Treg agar sistem imun dapat menyerang sel tumor secara lebih efektif. 

Sebaliknya, dalam pengobatan penyakit autoimun, terapi diarahkan untuk meningkatkan fungsi Treg sehingga sistem imun dapat “ditenangkan” dan berhenti menyerang tubuh sendiri. 

Sementara dalam transplantasi organ, manipulasi Treg berpotensi mengurangi risiko penolakan organ tanpa ketergantungan besar pada obat imunosupresif. 

“Karya ini merupakan contoh mencolok tentang bagaimana penelitian fisiologis fundamental dapat memiliki implikasi luas bagi kesehatan manusia,” ujar Annette Dolphin, Presiden Masyarakat Fisiologi Inggris, menegaskan pentingnya penelitian dasar bagi kemajuan klinis.

Perjalanan ketiga ilmuwan ini menunjukkan betapa penelitian dasar yang tekun dapat menghasilkan perubahan besar dalam dunia kedokteran. Dari tikus tanpa timus, mutasi gen kecil, hingga aplikasi klinis dalam pengobatan modern, penemuan mereka tentang sel T regulator telah mengubah cara kita memahami sistem kekebalan tubuh. 

Hadiah Nobel 2025 bukan sekadar penghargaan atas penemuan ilmiah, tetapi juga pengakuan atas era baru imunologi medis. Di balik semua pencapaian tersebut, ada kisah ketekunan tiga ilmuwan yang bekerja dalam kesunyian laboratorium, mencari jawaban atas pertanyaan mendasar, bagaimana tubuh menjaga diri dari dirinya sendiri.