Tantangan Bursa Karbon RI di Tengah Kinerja Positif Agustus 2025
- Bursa karbon Indonesia catat lonjakan transaksi 247% hingga Agustus 2025, namun ekspor dan integrasi sektor kehutanan masih jadi tantangan.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Bursa karbon Indonesia mencatat kinerja positif hingga Agustus 2025. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), volume perdagangan mencapai 1,6 juta ton CO₂e dengan nilai Rp77,95 miliar per 8 Agustus 2025.
Angka ini melonjak 247,8% untuk volume dan 166,9% untuk nilai dibanding periode awal peluncuran pada September 2023. Frekuensi transaksi pun naik 1.136,4% menjadi 272 kali, dengan partisipasi 117 Pengguna Jasa Bursa Karbon, meningkat 631,3% dari tahun lalu.
Meski perdagangan internasional resmi dibuka Januari 2025, pembeli luar negeri baru mencakup 10% dari total. Sebanyak 1,78 juta ton CO₂e telah diotorisasi untuk ekspor, namun realisasi masih rendah.
Pemerintah telah menandatangani Mutual Recognition Agreement dengan Jepang melalui skema Article 6.2 Paris Agreement, serta kerja sama dengan Gold Standard untuk harmonisasi sertifikat karbon.
Tantangan Bursa Karbon
Kendati kinerja membaik, sejumlah tantangan membayangi. Salah satunya volatilitas pasar, yang terlihat dari penurunan transaksi hingga 98,5% pada Juni 2025 hanya 8 ton CO₂e terjual akibat siklus pelaporan emiten. Harga karbon rata-rata masih rendah, yakni US$2,90/ton CO₂e pada 2024, jauh di bawah kebutuhan investasi dekarbonisasi.
Dari sisi regulasi, sektor kehutanan yang berpotensi besar menekan deforestasi belum terintegrasi ke bursa. Proyek REDD+ yang sebelumnya menyumbang 78% kredit karbon nasional belum bisa terdaftar. Sistem registri nasional (SRN-PPI) pun belum sepenuhnya kompatibel dengan standar global seperti Verra, sehingga menghambat ekspor.
Partisipasi pasar juga timpang, dengan 90% pembeli berasal dari pelaku domestik, terutama PLN dan BUMN. Saat ini baru delapan proyek tercatat di IDXCarbon, meliputi energi terbarukan, biogas limbah sawit, dan pengolahan sampah, dengan total 3,05 juta ton CO₂e tersertifikasi.
Pemerintah menyiapkan sejumlah strategi untuk memperkuat pasar. Integrasi sektor kehutanan ditargetkan pada 2026 melalui pendanaan US$90 juta dari Green Climate Fund. Teknologi blockchain dan digital twinning ekosistem hutan akan digunakan untuk menggantikan metode MRV manual.
Untuk memperkuat daya saing global, metodologi proyek akan diselaraskan dengan Core Carbon Principles dan persyaratan CORSIA, serta mengadopsi sertifikasi Gold Standard dan Verra.
BEI dan OJK juga melakukan roadshow internasional untuk mengedukasi calon pembeli. Dari sisi insentif, pemerintah menyiapkan skema benefit-sharing sebesar 20% pendapatan karbon bagi masyarakat lokal, serta merevisi aturan ekspor kredit karbon dan kepastian pajak transaksi.
Berdasarkan peta jalan 2025-2027, target tahun ini adalah integrasi lima proyek energi baru dengan kenaikan volume transaksi 300%. Tahun 2026 diharapkan sektor kehutanan berkontribusi 40% pasokan kredit, dan pada 2027 Indonesia mencapai kelayakan Core Carbon Principles dengan ekspor ke 20 negara.
OJK menegaskan pemahaman pelaku pasar menjadi kunci transformasi. Panduan “Mengenal dan Memahami Perdagangan Karbon bagi Sektor Jasa Keuangan” telah diluncurkan untuk edukasi massal.
Dengan potensi 500 juta ton kredit karbon per tahun, Indonesia memiliki peluang besar. Namun, tanpa pembenahan regulasi dan teknologi, potensi kehilangan pendapatan hingga US$4,1 miliar pada 2030 masih membayangi.

Muhammad Imam Hatami
Editor
