Tren Global

Raja Solo PB XIII Mangkat, Ini Profil dan Sejarah Keraton yang Dipimpin

  • Raja Keraton Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono XIII (PB XIII) mangkat pada Minggu pagi, 2 November 2025, pukul 07.29 WIB di Rumah Sakit Indriati, Solo Baru, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Keraton Solo.
Keraton Solo. (indonesiakaya.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Raja Keraton Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono XIII (PB XIII) mangkat pada Minggu pagi, 2 November 2025, pukul 07.29 WIB di Rumah Sakit Indriati, Solo Baru, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Kabar duka ini dikonfirmasi Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Eddy Wirabhumi, salah satu kerabat dari Keraton Kasunanan Surakarta.

“Nggih, memang hari ini kita berduka. Beliau sudah dinyatakan meninggal dunia pagi tadi di Rumah Sakit Indriati. Saat ini sedang dipersiapkan proses pemulangan dari rumah sakit ke Keraton,” ungkapnya kepada wartawan.

Menurutnya, PB XIII telah menjalani perawatan dalam jangka waktu yang cukup lama akibat kondisi kesehatannya yang terus menurun.

“Memang sudah lama sakit. Terakhir komplikasi, termasuk gula darah tinggi dan penyakit lainnya. Usia beliau juga sudah sepuh,” katanya.

Profil Paku Buwono XIII (PB XIII)

Sri Susuhunan Paku Buwono XIII adalah putra tertua dari Paku Buwono XII. Ia lahir pada 28 Juni 1948 dengan nama GRM Suryadi. Karena saat kecil sering sakit, namanya diganti menjadi GRM Surya Partana.

Ia naik takhta menggantikan Sri Susuhunan Paku Buwono XII, yang menjadi raja di Keraton Solo sejak tahun 1945 hingga 2004, atau selama 59 tahun.

Sri Susuhunan Paku Buwono XIII, putra dari Sri Susuhunan Pakubuwana XII, naik takhta pada tahun 2004. Dalam masa pemerintahannya, ia didampingi oleh Permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Paku Buwono.

Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai seorang putra bernama GRM Suryo Aryo Mustiko atau KGPH Purbaya.

Sebelum meninggal, PB XIII menunjuk KGPH Purbaya sebagai penerus takhta. Penetapan tersebut dilakukan pada acara Tingalan Dalem Jumenengan, peringatan kenaikan takhta PB XIII yang ke-18 tahun, pada Minggu, 27 Februari 2022.

KGPH Purbaya, putra tunggal PB XIII Hangabehi dengan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu PB XIII Hangabehi, kemudian menerima gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Sudibyo Rojoputro Nalendra ing Mataram.

Sebelum pernikahan tersebut, PB XIII diketahui pernah menikah dua kali. Pernikahan pertamanya dilakukan dengan Nuk Kusumaningdyah atau Kanjeng Raden Ayu Endang Kusumaningdyah, namun keduanya berpisah sebelum beliau naik takhta.

Dari pernikahan pertamanya, PB XIII dikaruniai tiga orang putri, yaitu Gusti Raden Ayu Rumbai Kusuma Dewayani atau GKR Timoer, Gusti Raden Ayu Devi Lelyana Dewi, dan Gusti Raden Ayu Dewi Ratih Widyasari.

Sementara, pernikahannya dengan istri kedua, Winari Sri Haryani atau Kanjeng Raden Ayu Winari, juga berakhir dengan perpisahan sebelum beliau naik takhta.

Dari pernikahan keduanya, lahir seorang putra sulung bernama Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi, yang kini dikenal dengan nama KGPH Hangabehi. KGPH Mangkubumi memiliki dua saudara, yaitu Gusti Raden Ayu Sugih dan Gusti Raden Ayu Putri Purnaningrum.

Sejarah Keraton Solo

Keraton Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo mulai dibangun pada tahun 1743 dan diresmikan pada 17 Februari 1745 atau bertepatan dengan 17 Suro 1670. Pembangunan keraton ini merupakan hasil pemindahan dari Keraton Kartasura yang sebelumnya hancur akibat Geger Pecinan.

Surakarta merupakan nama resmi dari Keraton Solo sekaligus nama administratif dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Nama Surakarta muncul ketika penguasa Mataram saat itu, Susuhunan Pakubuwana II, memindahkan pusat keraton dari Kartasura, Sukoharjo, ke Desa Solo.

Pembangunan keraton ini dirancang oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bertakhta sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Kesamaan gaya arsitektur antara Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta tampak jelas, karena keduanya dibuat oleh perancang yang sama.

Keraton Solo menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta Hadiningrat selama berabad-abad. Tempat ini menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah, salah satunya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang menandai terbentuknya dua kerajaan besar, yakni Yogyakarta dan Surakarta.

Terselip sebuah doa dari nama Surakarta, dalam bahasa Jawa, “Sura” berarti berani, sedangkan “Karta” artinya makmur. Nama ini mengandung harapan agar Surakarta menjadi tempat bagi orang-orang yang berani memperjuangkan kebaikan dan kemakmuran sesama.

Pembangunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga berkaitan erat dengan konsep filosofi Jawa “Kiblat Papat, Kalima Pancer,” yang menggambarkan manusia sebagai makhluk akan pernah lepas dari alam semesta sebagai pemiliknya, yang hadir di empat penjuru mata angin.

Megahnya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sejalan dengan kuatnya ruh kesenian serta budaya yang ada di dalamnya. Tak hanya dikenal melalui batik dan wayangnya, keraton ini juga menjadi pusat berbagai kesenian Jawa bergaya Surakarta, terutama dalam bentuk tarian tradisional.

Pada tahun 1893, di bawah kepemimpinan Sri Susuhunan Pakubuwana X, Surakarta mengalami kemajuan pesat yang membawa perubahan besar dalam bidang seni, budaya, dan perekonomian.

Keraton ini menjadi simbol kebesaran budaya Jawa. Sampai saat ini, Keraton Solo masih menjadi kediaman resmi keluarga kerajaan dan pusat kegiatan adat tradisional.

Bangunan kompleks keraton menampilkan arsitektur khas Jawa yang dipadukan dengan gaya kolonial, dihiasi ukiran kayu yang indah serta ornamen tradisional.

Selain itu, keraton juga berperan sebagai museum yang menyimpan beragam koleksi bersejarah seperti keris, gamelan, dan berbagai pusaka kerajaan, yang memberikan gambaran mendalam tentang budaya serta kehidupan di lingkungan kerajaan Jawa.