Sederat Alasan Harga Emas Dunia Melesat, Pamor Amerika Turun?
- Harga emas dunia menembus US$4.000 per ons, naik 54% sepanjang tahun ini. Analis menyebut lonjakan ini sebagai fenomena langka akibat ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi global.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Harga emas dunia kembali mencatat sejarah setelah menembus level US$4.000 per ons, melesat sekitar 54% sepanjang tahun ini. Kenaikan spektakuler harga emas menjadi rekor tertinggi sepanjang masa, melampaui puncak harga sebelumnya di kisaran US$2.400 per ons pada tahun 2024.
Kenaikan tajam tersebut mencerminkan meningkatnya kecemasan geopolitik dan ekonomi global, di tengah ketegangan perdagangan internasional serta ketidakpastian arah kebijakan moneter Amerika Serikat (AS).
Para analis menyebut lonjakan harga ini sebagai “fenomena langka satu generasi,” yang menandakan investor tengah mencari perlindungan di tengah memburuknya stabilitas global.
Beberapa analis pasar komoditas menilai kenaikan emas kali ini bukan sekadar reaksi sesaat, tetapi bagian dari perubahan struktural di pasar global.
analis dari SP Angel, John Meyer, menggambarkan pergerakan ini sebagai “peristiwa langka dalam satu generasi.”
"Pasar emas tampaknya sedang mengalami 'pergerakan yang jarang terjadi dalam satu generasi'," kata John Meyer, dikutip laman Reuters, Kamis, 9 Oktober 2025.
Ia menilai, lonjakan tersebut mencerminkan perubahan persepsi investor terhadap risiko global, terutama setelah satu dekade ketidakstabilan politik dan ekonomi pasca-pandemi.
Sementara itu, Dan Smith dari Commodity Market Analytics berpendapat, kenaikan dratis harga emas, menjadi pertana buruk bagi ekonomi global. Menurutnya, investor kini menilai emas bukan sekadar aset investasi, tetapi juga benteng terakhir di tengah ketidakpastian global.
“Reli ini bukan tanda kekuatan ekonomi, melainkan cerminan bahwa ada sesuatu yang buruk sedang terjadi dan pasar seharusnya gelisah.” Ujar Dan.
Faktor Pendorong Lonjakan Harga
Kenaikan harga emas kali ini didorong oleh kombinasi berbagai faktor risiko global yang muncul bersamaan. Banyak investor beralih ke emas sebagai aset safe haven, menghindari volatilitas di pasar saham dan obligasi.
Baca juga : CBRE Bikin Heboh Bursa, Cuan Triliunan Mengalir ke Para Sultan
Kebijakan tarif perdagangan yang digalakkan kembali di era Presiden Donald Trump menciptakan kekhawatiran akan meningkatnya biaya impor serta tekanan terhadap pertumbuhan global.
Selain itu, kekhawatiran mengenai kekuatan dolar AS dan independensi Federal Reserve menambah ketidakpastian pasar. Inflasi yang masih sulit dikendalikan di banyak negara maju juga membuat emas kembali dipandang sebagai penyimpan nilai yang stabil.
Faktor geopolitik turut memperkuat tren ini. Konflik Rusia-Ukraina yang belum berakhir, ketegangan antara China dan Taiwan, serta lambannya pertumbuhan ekonomi Eropa memperburuk sentimen global. Semua hal ini mendorong investor untuk kembali menumpuk emas sebagai bentuk lindung nilai terhadap risiko jangka panjang.
Kenaikan emas turut mendorong kenaikan harga logam mulia lain seperti perak, platinum, dan paladium. Harga perak meningkat hampir 40% sejak awal tahun, sementara platinum dan paladium naik masing-masing sekitar 25% dan 18%.
Dan menyebut pergerakan ini sebagai “efek domino” dari naiknya minat investor terhadap komoditas langka yang memiliki nilai intrinsik tinggi.
Pertumbuhan harga emas tahun ini bahkan disebut sebagai yang terbesar sejak krisis minyak 1979, ketika ketidakpastian geopolitik dan lonjakan inflasi juga mendorong investor mencari perlindungan serupa.
Fenomena ini memperkuat pandangan bahwa pasar sedang memasuki siklus super (supercycle) baru untuk logam mulia.
Bank Sentral Jadi Pembeli Utama
Lonjakan harga emas juga didukung oleh permintaan besar dari bank sentral di berbagai negara. Sejak 2022, pembelian emas oleh bank sentral telah melampaui 1.000 ton per tahun, dua kali lipat dari rata-rata pembelian pada periode 2016–2021. Untuk tahun 2025, permintaan diperkirakan mencapai 900 ton, tetap berada di level tinggi meski harga terus naik.
Banyak negara, terutama di Asia dan Timur Tengah, memperkuat cadangan emas mereka sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Kebijakan suku bunga rendah yang diterapkan di sejumlah negara juga turut memperkuat minat terhadap emas sebagai alat penyimpan nilai jangka panjang.
Fenomena ini menunjukkan pergeseran strategis di tingkat global: emas kini bukan hanya instrumen investasi, tetapi juga alat geopolitik dan stabilisasi moneter.
Meskipun sejumlah indikator teknikal menunjukkan pasar mulai jenuh beli (overbought), prospek harga emas masih dianggap positif. Analis memperkirakan reli ini bisa berlanjut hingga tahun 2026, seiring berlanjutnya tekanan ekonomi dan geopolitik.
Menurunnya Pamor Amerika
Kenaikan harga emas global turut mengubah arah strategi investasi. Investor kini menghindari obligasi pemerintah AS karena imbal hasil yang rendah dan kekhawatiran meningkatnya beban utang negara itu. Sebaliknya, arus dana mengalir deras ke ETF emas fisik, batangan, dan koin emas, baik di pasar ritel maupun institusional.
Dan juga mencatat meningkatnya permintaan dari kalangan milenial dan investor muda, yang sebelumnya lebih tertarik pada saham teknologi dan kripto. Kini, banyak di antara mereka mulai melihat emas sebagai bentuk investasi defensif yang lebih stabil di tengah ketidakpastian pasar.
Lembaga keuangan global optimistis terhadap prospek harga emas. Goldman Sachs menaikkan target harga untuk Desember 2026 menjadi US$4.900 per ons, sementara BNP Paribas menilai tidak ada tanda-tanda penurunan signifikan dalam waktu dekat.
Keduanya sepakat bahwa kombinasi faktor geopolitik, inflasi, dan lemahnya kepercayaan terhadap dolar AS akan terus menopang harga emas di level tinggi.
Selain itu, permintaan kuat dari Asia, terutama China dan India, dua konsumen emas terbesar dunia, diperkirakan tetap menjadi pendorong utama pasar hingga beberapa tahun mendatang.

Chrisna Chanis Cara
Editor
