Tren Global

Polemik Pembangunan Tempat Hiburan di Pulau Padar, Ancam Warisan Dunia dan Mata Pencaharian

  • Pulau Padar merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo dan tercatat sebagai warisan dunia UNESCO dengan status Outstanding Universal Value (OUV). Status ini menuntut komitmen Indonesia untuk menjaga kelestarian lingkungan dan nilai luar biasa yang diakui secara internasional.
santa-barbara-1msvfQQ6Noc-unsplash.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Rencana pembangunan ratusan vila, restoran, dan tempat hiburan di Pulau Padar, Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) menimbulkan kekhawatiran luas. 

Proyek tersebut dinilai berpotensi merusak keindahan, ekosistem, dan nilai warisan dunia yang melekat pada pulau tersebut, sekaligus mengancam keberlangsungan sosial-budaya masyarakat setempat.

“Pemerintah perlu bertindak tegas terhadap PT KWE atau pihak lain yang kegiatannya merusak lingkungan dan mengancam hak masyarakat lokal,” tulis Koalisi Indonesia Lestari (KAWALI), dalam keterangan persnya, dikutip Selasa, 12 Agustus 2025.

Pulau Padar merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo dan tercatat sebagai warisan dunia UNESCO dengan status Outstanding Universal Value (OUV). Status ini menuntut komitmen Indonesia untuk menjaga kelestarian lingkungan dan nilai luar biasa yang diakui secara internasional. 

Pembangunan berskala besar di kawasan ini dikhawatirkan akan mengganggu bahkan merusak OUV, yang pada akhirnya dapat meruntuhkan citra Indonesia di mata dunia.

“Pulau Padar merupakan salah satu warisan dunia UNESCO. Artinya, Indonesia berkewajiban menjaga Outstanding Universal Value (OUV) pulau tersebut. Konsesi pembangunan ini dikhawatirkan mengganggu atau bahkan merusak OUV, sehingga komitmen Indonesia dalam pelestarian warisan dunia dapat dipertanyakan,” ungkap Pernyataan Kawali.

Baca juga : Saham Insta360 Melejit Saat IPO, Kekayaan Liu Jingkang Sang Pendiri Langsung Meroket

Berpotensi Rusak Mata Pencaharian Masyarakat

Dari sisi sosial-budaya, masyarakat di sekitar Taman Nasional Komodo menggantungkan mata pencaharian dan identitas budaya mereka pada kelestarian alam. Pembangunan masif di Pulau Padar berisiko menggeser mata pencaharian tradisional seperti nelayan dan pemandu wisata lokal yang menjadi tenaga kerja sektor pariwisata.

Selain itu, proyek ini berpotensi memicu marginalisasi sosial melalui alih fungsi lahan dan monopoli akses wisata oleh korporasi besar, serta mengikis nilai budaya yang selama ini terpelihara melalui hubungan harmonis antara masyarakat dan lingkungan.

Pembangunan masif tersebut juga dapat berisiko, menggeser mata pencaharian tradisional (nelayan, pemandu wisata lokal) menjadi tenaga kerja sektor pariwisata yang belum tentu berkelanjutan, memicu marginalisasi sosial akibat alih fungsi lahan dan monopoli akses wisata oleh korporasi besar, dan mengikis nilai-nilai budaya lokal, ungkap KAWALI menambahkan.

Polemik ini juga muncul di tengah komitmen global terhadap pengendalian krisis iklim dan target Indonesia dalam program iklim nasional. Pembangunan yang berpotensi merusak ekosistem penting di Pulau Padar dinilai bertentangan dengan arah kebijakan tersebut.

KAWALI menilai pemerintah perlu mengambil langkah tegas terhadap berbagai kegiatan yang terbukti merusak lingkungan dan mengancam hak-hak masyarakat lokal, termasuk hak atas tanah, air, dan udara bersih. 

Salah satu usulan yang disampakan adalah melakukan kajian ulang terhadap seluruh konsesi pembangunan, baik di sektor perkebunan, pertambangan, maupun infrastruktur yang berpotensi atau telah terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem. 

Baca juga : Saham Insta360 Melejit Saat IPO, Kekayaan Liu Jingkang Sang Pendiri Langsung Meroket

Kajian ulang ini harus dilaksanakan dengan mengacu secara ketat pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai instrumen penting dalam pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan. 

Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 15 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang secara jelas mengatur kewajiban dan proses penilaian dampak lingkungan sebelum suatu kegiatan dapat dilaksanakan.

Pasal 15 UU No. 32 Tahun 2009 mengatur kewajiban setiap rencana usaha atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki AMDAL atau UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan). 

Ketentuan ini bermakna bahwa tidak ada proyek besar yang boleh berjalan tanpa terlebih dahulu dilakukan studi mendalam mengenai dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat, termasuk terhadap udara, air, tanah, flora-fauna, serta aspek sosial budaya. 

Sementara itu, Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2009 menjelaskan kriteria penentuan suatu rencana usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL, antara lain apabila berpotensi menimbulkan dampak penting bagi lingkungan, berskala besar atau memiliki cakupan wilayah luas, mengubah bentuk lahan dan bentang alam secara signifikan, berpotensi mengganggu pelestarian kawasan lindung, memanfaatkan sumber daya alam secara besar-besaran, berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat, serta memengaruhi wilayah lintas batas negara atau lintas wilayah administratif.