Tren Global

Perlu Upaya Bersama Tangkal Stigma untuk Kelompok Rentan

  • Pemahaman masyarakat terhadap kelompok rentan tertular HIV/AIDS belum sepenuhnya terbentuk di Indonesia. Padahal, penstigmaan berpotensi memunculkan rantai diskriminasi dan kekerasan yang tak putus. Butuh upaya bersama agar kelompok rentan dapat diterima dan berdaya di lingkungan masyarakat.
ilustrasi-peduli-hiv-aids--1--getty-images-istockphoto_ratio-16x9.jpg
Ilustrasi peduli HIV/AIDS. (iStockPhoto)

SOLO, TRENASIA.ID—Pemahaman masyarakat terhadap kelompok rentan tertular HIV/AIDS belum sepenuhnya terbentuk di Indonesia. Padahal, penstigmaan berpotensi memunculkan rantai diskriminasi dan kekerasan yang tak putus. Butuh upaya bersama agar kelompok rentan dapat diterima dan berdaya di lingkungan masyarakat.  

Hal itu mencuat dalam diskusi program Community System Strengthening–Reducing Human Right (CSS-HR) yang digelar Yayasan Mitra Alam di Solo Bistro, Senin, 24 November 2025. Koordinator CSS-HR, Puger Mulyono, mengatakan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan hingga kini masih mengkhawatirkan. 

Menurut Puger, kondisi itu tak lepas dari pandangan masyarakat yang tidak utuh mengenai kelompok tersebut. “Masih ada stigma atau pemahaman yang kurang pas. Akibatnya ketika mereka mendapatkan kekerasan atau perlakuan diskriminatif, mereka malu untuk didampingi, malu untuk lapor,” ujarnya. 

Puger menyebut regulasi yang belum berpihak pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) juga membuat mereka kehilangan hak dasarnya. Dia mencontohkan ada seoarang difabel dengan HIV/AIDS ditolak ketika hendak menempuh jenjang pendidikan. 

Menurut Puger, difabel tersebut tak diterima karena punya penyakit menular. Padahal, HIV/AIDS tidak menular melalui kontak sehari-hari seperti berjabat tangan, berpelukan, berbagi alat makan, atau berada di ruangan yang sama. “Ada regulasi yang perlu ditinjau ulang,” ucap pengampu Yayasan Lentera tersebut. 

Diskusi program Community System Strengthening–Reducing Human Right (CSS-HR) yang digelar Yayasan Mitra Alam di Solo Bistro, Senin, 24 November 2025. (Chrisna Chanis Cara/TrenAsia)

CSS-HR mencatat ada 48 kasus diskriminasi terhadap kelompok rentan selama pendampingan buan Januari-November 2025 di Kota Solo dan sekitarnya. Mayoritas kasus berupa penipuan dengan ancaman (14), kasus kekerasan (12) dan pencemaran (11). Ada pula kasus terkait KDRT (6), HAM (4) dan keluarga (1). 

Dalam penanganan kasus, CSS-HR bekerja sama dengan lembaga terkait seperti Spek-HAM, Yayasan Kakak, LBH Soratice, PASKA hingga UPTD PPA. “Kolaborasi disesuaikan jenis kelompok rentan, misal perempuan, anak atau komunitas,” ujar Paralegal Office CSS-HR, Cahyo S.

Selain non-government organization (NGO), kehadiran pemerintah dan media massa dinilai krusial dalam penanganan HIV/AIDS berikut kelompok rentannya. Yayasan Mitra Alam memandang keterlibatan pemerintah dalam isu tersebut sudah cukup baik, meski masih perlu ditingkatkan. 

Belum lama ini, ada bantuan sembako dan modal usaha kepada 39 ODHA dari Kementerian Sosial. Ada pula bantuan seperti sembako, lemari, dan kasur kepada 16 perempuan pekerja seks dari Sentra Terpadu Prof. Dr. Soeharso Solo. Kontribusi Dr. Soeharso menjadi kabar baik mengingat sebelumnya sangat jarang ada bantuan untuk para pekerja seks.    

Tantangan Dana

Di sisi lain, ada tantangan yang harus dihadapi NGO seperti Mitra Alam dalam pendampingan kasus HIV/AIDS di masa mendatang. Hal ini lantaran belum jelasnya kelanjutan pendanaan dari donor asing seperti Global Fund setelah tahun 2026. Kondisi tersebut membuat Mitra Alam harus menyusun ulang strategi terkait program dan pendanaan.

Salah satu upaya yakni menjajaki kerja sama dalam negeri dengan skema pendanaan swakelola. Direktur Yayasan Mitra Alam, Ligik Triyogo, mengatakan kebijakan efisiensi dari lembaga donor sangat berpengaruh terhadap program HIV/AIDS di Indonesia. 

“Banyak advokasi dan pelayanan yang tergantung dana asing. Oleh karena itu, kami mulai mencari langkah konkret, salah satunya kolaborasi dengan berbagai pihak agar penanggulangan HIV/AIDS bisa berkelanjutan,” ujar Ligik.  

Baca Juga: USAID Tutup, Nasib Sederet Program di Indonesia Ini di Ujung Tanduk

Sejauh ini Mitra Alam telah bersinergi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Solo sebagai kolaborator lokal dari sisi pemerintah. Ke depan, Mitra Alam mencoba memperkuat kerja sama dengan OPD lain seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Solo dan Dinas Sosial (Dinsos) Solo. 

Dalam diskusi CSS-HR, Disbudpar memberikan peluang pemberdayaan bagi kelompok rentan yang memiliki kemampuan di bidang kesenian. Perwakilan Disbudpar Solo, Hendi, mengatakan pihaknya bisa memfasilitasi surat keterangan terdaftar (SKT) sebagai rekomendasi untuk pengembangan kemampuan kelompok rentan. “Kami juga punya program pelatihan seni tari atau musik yang bisa diikuti.”

Sementara itu, perwakilan Dinsos, Ria Damayanti, memaparkan kewenangan mereka relatif terbatas dalam program penanganan HIV/AIDS. Meski demikian, pihaknya siap membantu memperlancar kelompok rentan mendapatkan bantuan dari pusat maupun provinsi. “Dinsos sebagai jembatan untuk memberikan surat rekomendasi,” ujar Ria.