Tren Global

Militer Korea Utara Lakukan Transformasi Besar, Kenapa Seoul Seolah Diam?

  • JAKARTA- Ketika Korea Utara menembakkan beberapa rudal balistik dari pantai timurnya pada bulan Mei 2025, respons Korea Selatan cepat. Dalam beberapa jam, Seou
korsel.jpg

JAKARTA- Ketika Korea Utara menembakkan beberapa rudal balistik dari pantai timurnya pada bulan Mei 2025, respons Korea Selatan cepat. Dalam beberapa jam, Seoul bergabung dengan Washington dan Tokyo dalam mengutuk peluncuran tersebut sebagai ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan regional.

Namun hanya beberapa minggu sebelumnya , ketika rudal KN-23 Korea Utara  yang dirancang untuk menyerang target Korea Selatan menghantam sebuah bangunan perumahan di Kyiv Seoul tidak mengatakan apa pun. Bahkan ketika serangan rudal itu mengakibatkan sedikitnya 12 warga sipil meninggal dunia.

Keheningan itu sesuai dengan pola yang lebih luas. Tidak ada respons ketika Rusia dilaporkan mengerahkan sistem rudal darat-ke-udara untuk melindungi Pyongyang. Atau ketika intelijen Ukraina mengungkapkan bahwa instruktur Rusia melatih pilot pesawat tak berawak Korea Utara di dalam negeri. Bahkan ketika Kim Jong-un menyuarakan dukungan tanpa syarat  untuk perang Moskow.

Hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang secara teknis masih berperang, tetap tegang. Dan tanggapan yang tidak tegas telah menimbulkan pertanyaan dari para analis tentang apakah Seoul sepenuhnya memahami konsekuensi dari apa yang banyak orang lihat sebagai transformasi militer Korea Utara yang paling signifikan dalam beberapa dekade. Transformasi yang dibentuk dalam peperangan nyata di medan perang Ukraina.

Chun In-bum, mantan komandan pasukan khusus Korea Selatan mengakui  mereka memang seharusnya waspada. “Sudah kodrat manusia untuk menghindari bencana atau bersikap acuh tak acuh terhadap kengerian realitas,” katanya dikuktip The Guardian Kamis 24 Juli 2025.

Menurut badan intelijen militer Ukraina, Korea Utara memasok 40% dari semua amunisi yang digunakan Rusia dalam perang melawan Kyiv. Korea Utara juga telah meningkatkan produksi senjata di dalam negeri secara drastis, dengan Moskow membayar langsung kepada Pyongyang.

Pada musim gugur tahun lalu, Pyongyang mengirimkan sekitar 12.000 tentara untuk bertempur di wilayah Kursk, Rusia. Pengerahan tersebut telah meningkat secara signifikan. Sebanyak 6.000 tentara tambahan kini bergabung dengan 1.000 teknisi militer, ratusan insinyur perkeretaapian, spesialis pembangunan jembatan, personel logistik, teknisi listrik, polisi militer, dan bahkan penerjemah. Sebagian besar mereka berfokus pada pembangunan kembali wilayah Kursk yang dilanda pertempuran.

Sangat Berharga

Mayor Jenderal Vadym Skibitskyi, wakil kepala badan intelijen militer Ukraina mengatakan kemitraan militer dengan Moskow ini sangat berharga bagi pemerintahan Kim Jong-un.

Menurutnya Angkatan bersenjata Korea Utara mendapatkan amunisi baru dari Rusia. Para prajuritnya mendapatkan pengalaman dalam konflik modern. “Tidak ada tentara lain di kawasan ini baik itu Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara lain  yang pernah berpartisipasi dalam perang modern antara dua pasukan reguler yang besar,” katanya.

Komitmen ideologis pasukan mereka menjadi jelas ketika Ukraina menangkap dua tahanan Korea Utara yang terluka pada bulan Januari.  Ukraina terkejut dengan mereka. Mereka adalah biorobot. Mereka mencoba bunuh diri dengan menggigit pembuluh darah mereka sendiri. Ketika salah satu dari mereka ditanya apakah ia ingin pulang, ia menjawab Ya. Karena dia akan diperlakukan seperti pahlawan.

Pasukan Korea Utara sedang belajar tentang peperangan senjata gabungan dan pengoperasian pesawat tanpa awak serang dan pengintai. Selain itu sistem peperangan elektronik, dan teknologi lain yang sebelumnya tidak mereka kenal.

Moskow telah mentransfer persenjataan canggih dan telah membantu meningkatkan akurasi rudal balistik KN-23 Korea Utara. Senjata yang sejak itu menargetkan pusat kota Ukraina, termasuk Kharkiv.

Pada bulan Juni, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, mengeluarkan peringatan keras yang secara langsung mengidentifikasi Korea Selatan.  Menurutnya hal ini ini harus ditangani sekarang. Bukan ketika ribuan pesawat tanpa awak Shahed dan rudal balistik yang ditingkatkan mulai mengancam Seoul dan Tokyo.

Campuran Banyak Faktor

Namun campuran faktor strategis, ekonomi, dan politik menghambat tindakan nyata dari Korea Selatan. Hal itu disampaikan Dr Yang Uk. Pakar pertahanan di Asan Institute for Policy Studies di Seoul.

Mengakui pengalaman militer Korea Utara sebagai ancaman langsung terhadap Seoul akan menciptakan tekanan untuk respons domestik yang lebih kuat. “Ini termasuk potensi transfer senjata ke Ukraina yang masih sangat tidak populer di Korea Selatan,” ujarnya .

Menurut Yang, para pejabat pertahanan sangat waspada setelah peristiwa Desember.Ini merujuk pada kegagalan penerapan darurat militer oleh Presiden Korea Selatan saat itu, Yoon Suk Yeol.  Militer sangat takut akan serangan politik dan lebih suka tidak terlihat oleh publik serta pers.

Dr Yang memperingatkan bahwa Rusia sedang berupaya mengintegrasikan Korea Utara ke dalam rantai pasokan pertahanan jangka panjangnya. Sebuah kemitraan yang dapat membentuk kembali keseimbangan militer Asia lama setelah perang berakhir.

Beberapa analis melihat kebisuan Seoul sebagai perpanjangan dari ambiguitas strategis yang sudah berlangsung lama. Yakni keengganan untuk terlibat dalam konflik asing atau mengasingkan kekuatan-kekuatan utama secara tidak perlu. khususnya mereka yang mungkin masih memiliki pengaruh terhadap Pyongyang.

Faktor ekonomi juga sangat berpengaruh. Sebelum perang, Rusia adalah salah satu mitra dagang utama Korea Selatan . Di tengah ancaman tarif Donald Trump, fokus pemerintahan Lee Jae Myung yang baru pada pemulihan ekonomi dan diplomasi pragmatis membuat mereka enggan berkonfrontasi.

Politik dalam negeri juga berperan. Partai Demokrat Lee mendukung kerja sama dengan Korea Utara. Sesuatu  yang mencerminkan bagaimana perpecahan kiri-kanan Korea Selatan lebih berpusat pada kebijakan Korea Utara daripada pada nilai-nilai progresif Barat. Suara-suara dari kubu kiri berpendapat bahwa Korea Selatan tidak berutang apa pun kepada Ukraina.

Sebagian dari inersia Seoul mungkin terletak pada birokrasinya. Chun menunjukkan proses pengadaan dan perencanaan yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan ketika ancaman berkembang dalam hitungan bulan. Koera Selatan diibaratkan berhadapan dengan Godzilla super level 10. Tetapi birokrasi hanya melihat seekor harimau.

Dr Yang memperingatkan bahwa Korea Utara sudah menerapkan apa yang telah mereka pelajari dalam pertempuran.  Dan Ini seharusnya menjadi peringatan yang nyata. 

Vadym Skibitskyi, Wakil Kepala Badan Intelijen Militer Ukraina menyuarakan kekhawatiran itu. Dia menyatakan doktrin militer Korea Selatan sudah ketinggalan zaman dan dibentuk berdasarkan era pra-drone.

Ketika ditanya oleh Guardian apakah mereka memandang penempatan dan pengalaman tempur Korea Utara di Ukraina sebagai masalah keamanan, Kementerian Pertahanan Korea Selatan menghindari membahas implikasinya secara langsung. Mereka hanya mengatakan partisipasi personel militer Korea Utara dalam perang di Ukraina merupakan pelanggaran berat terhadap Piagam PBB dan resolusi Dewan Keamanan PBB yang relevan. Republik Korea mengutuk keras tindakan tidak manusiawi dan melanggar hukum tersebut, bersama dengan komunitas internasional.

Apakah pendekatan hati-hati Seoul mencerminkan strategi jangka panjang yang diperhitungkan atau kelumpuhan kelembagaan masih belum jelas. Namun bagi Chun In-bum, mantan komandan pasukan khusus Korea Selatan, tanda-tanda peringatan itu tidak mungkin diabaikan. “Ini seperti kereta api yang melaju kencang ke arahmu. Sebaiknya kau minggir atau mulai bersiap-siap selagi masih ada waktu.”