Tren Global

Lip-Bu Tan, Anak Malaysia yang Jadi CEO Intel, Dipuji Donald Trump

  • Lip-Bu Tan, CEO Intel asal Malaysia, kini dipuji Donald Trump setelah sebelumnya diminta mundur karena isu konflik dengan China.
download (4).jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID – Nama Lip-Bu Tan kembali ramai dibicarakan dalam panggung politik dan bisnis Amerika Serikat. Setelah sebelumnya sempat didesak mundur dari kursi CEO Intel oleh Presiden Donald Trump karena dugaan konflik kepentingan dengan China, situasi berbalik arah. Pasca pertemuan di Gedung Putih pada tanggal 18 Agustus 2025, Trump justru memuji perjalanan karier dan kisah sukses pria berusia 66 tahun itu.

Perubahan sikap Trump ini semakin menegaskan betapa pentingnya sosok Lip-Bu Tan bagi masa depan industri semikonduktor, sebuah sektor yang kini menjadi arena persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China.

Menurut Bloomberg Billionaires Index, kekayaan pribadi Tan saat ini mencapai US$ 1,1 miliar atau setara dengan Rp 17,8 triliun. Sebagian besar harta kekayaannya berasal dari saham di Cadence Design Systems, perusahaan desain chip global yang pernah ia pimpin selama lebih dari satu dekade.

Kesuksesan finansial tersebut bukan datang secara instan. Tan membangun reputasi bisnisnya dengan konsistensi panjang di Silicon Valley, baik sebagai eksekutif maupun investor melalui perusahaannya Walden International.

"Keberhasilan dan kebangkitannya adalah kisah yang luar biasa,” tulis Trump dalam sebuah postingan dilaman media sosial Truth Social, yang diunggah pada hari Senin, 18 Agustus 2025.

Lip-Bu Tan lahir pada tahun 1959 di Malaysia dari keluarga sederhana. Pada usia muda, ia merantau ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan. Ia diterima di Massachusetts Institute of Technology (MIT), salah satu universitas teknik paling bergengsi di dunia.

Tak berhenti di situ, Tan kemudian melanjutkan studi MBA di University of San Francisco, memperkuat fondasi pengetahuan bisnisnya. Perpaduan antara keahlian teknis dan kemampuan manajerial inilah yang kemudian menjadi modal utama dalam perjalanan kariernya.

Karier di Silicon Valley

Di Silicon Valley, Tan mendirikan Walden International, perusahaan modal ventura dengan fokus utama pada industri semikonduktor dan teknologi tinggi. Melalui Walden, ia berperan mendukung ratusan perusahaan rintisan di berbagai belahan dunia, termasuk Asia.

Reputasinya makin menanjak setelah ia dipercaya memimpin Cadence Design Systems, perusahaan perangkat lunak desain chip. Selama 12 tahun menjabat sebagai CEO, Tan berhasil mengantarkan Cadence ke posisi kuat di industri EDA (Electronic Design Automation).

Pada Maret 2025, Tan resmi ditunjuk kembali sebagai CEO Intel. Penunjukan ini datang pada saat Intel tengah berjuang mengembalikan kejayaannya yang sempat meredup akibat persaingan ketat dengan TSMC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company), Samsung, dan Nvidia.

Sejak kehadirannya, saham Intel naik 15%, bahkan sempat melonjak 7,4% setelah pemerintah AS dikabarkan tengah bernegosiasi untuk membeli sebagian saham Intel sebagai strategi menjaga ketahanan nasional di bidang teknologi.

Kini, Tan menguasai 1,2 juta saham Intel dengan total paket kompensasi mencapai US$ 66 juta. Misinya jelas, membawa Intel kembali menjadi pionir di era kecerdasan buatan (AI), pusat data, dan komputasi masa depan.

Bayang-Bayang Kontroversi dengan China

Meski sukses, langkah Tan tidak lepas dari kontroversi. Pemerintah Washington menyoroti latar belakang Tan di Cadence dan Walden International, khususnya kaitannya dengan sejumlah perusahaan teknologi asal China.

Kasus paling menonjol adalah ketika Cadence dikenai denda ekspor sebesar US$ 140,6 juta karena melanggar aturan perdagangan Amerika Serikat. Hal inilah yang kemudian memicu sebagian kalangan politik AS meragukan loyalitas Tan, hingga muncul desakan agar ia mundur dari jabatan CEO Intel. Namun, Tan dengan tegas membantah tudingan konflik kepentingan itu. Dalam surat terbuka kepada para karyawan Intel, Tan menegaskan posisinya.

“Amerika Serikat telah menjadi rumah saya selama lebih dari 40 tahun. Saya mencintai negara ini dan sangat bersyukur,” tulis Tan dalam surat tersebut.

Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Tan memang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Amerika, membangun karier, keluarga, dan reputasi di jantung inovasi teknologi dunia.

Kehadiran Lip-Bu Tan di kursi CEO Intel tidak hanya berimplikasi pada bisnis semata, melainkan juga geopolitik. Industri semikonduktor kini dianggap sebagai “minyak baru” abad ke-21, yang menentukan kekuatan ekonomi, militer, hingga kecerdasan buatan.

Dengan latar belakang multikultural, jaringan luas di Asia, dan pengalaman panjang di Silicon Valley, Tan dipandang sebagai sosok yang unik. Ia mampu menjembatani kepentingan bisnis global, sekaligus membawa Intel kembali ke garis depan dalam inovasi teknologi.