Kisah ENI Italia: Reformasi BUMN Migas Sakit, Ubah Sejarah Energi
- ENI milik pemerintah Italia menjadi contoh sukses reformasi BUMN energi. Dari sarang politik menjadi perusahaan global berkelas dunia lewat IPO dan tata kelola profesional.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Pada tahun 1950-an, Italia mendirikan ENI (Ente Nazionale Idrocarburi), perusahaan minyak nasional yang dibentuk untuk menjaga keamanan energi setelah Perang Dunia II.
Tujuan awalnya sangat mulia, menciptakan kemandirian energi nasional dan memperkuat posisi ekonomi Italia. Namun, seiring waktu, idealisme itu memudar.
ENI justru berubah menjadi alat politik, proyek-proyek titipan, dan ladang korupsi terselubung. Akibatnya, kinerja perusahaan terus merosot, utang menumpuk, dan beban subsidi energi membengkak, membuat keuangan negara kian terbebani.
Memasuki awal 1990-an, kondisi ENI benar-benar memprihatinkan. Perusahaan itu ibarat pasien di ruang ICU. Teknologi mereka tertinggal jauh, keputusan investasi ditentukan oleh kepentingan politik, dan budaya kerja diisi oleh privilese serta zona nyaman.
Banyak pengamat menyebut kondisinya saat itu sangat mirip dengan beberapa BUMN migas di negara lain, termasuk Indonesia, yang sering kali tersandera oleh kepentingan politik ketimbang efisiensi bisnis.
Baca juga : Makin Menggila, Harga Emas Entam Hampir Tembus Rp2,3 Juta Segram
Franco Bernabè Bawa Reformasi
Dilansir dari Ensiklopedia Britanica, Rabu, 8 Oktober 2025, titik balik ENI dimulai pada tahun 1992, ketika Franco Bernabè, sosok yang sebelumnya sukses merestrukturisasi FIAT, ditunjuk untuk menyelamatkan perusahaan minyak negara tersebut.
Ia mendapat mandat yang tidak mudah “Selamatkan ENI dari politik, atau ENI akan mati pelan-pelan.” Langkah pertamanya adalah membongkar semua akar masalah di tubuh ENI. Hasil temuannya mengejutkan, dari campur tangan politik hingga budaya organisasi yang korup dan lamban berubah.
Franco Bernabè mengidentifikasi empat penyakit kronis yang membuat ENI lumpuh. Pertama, campur tangan politik, di mana partai, parlemen, dan menteri ikut menentukan proyek dan keputusan bisnis.
Kedua, monopoli yang nyaman, yang membuat ENI malas berinovasi karena merasa tak memiliki pesaing. Ketiga, budaya puas diri, dengan keyakinan bahwa mereka “terlalu besar untuk gagal”.
Dan keempat, investasi demi kepentingan politik, bukan berdasarkan efisiensi atau kebutuhan pasar. Anehnya, penyakit-penyakit ini terasa begitu familiar bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang juga memiliki tantangan serupa dalam mengelola BUMN migasnya.
Pada tahun 1995, Bernabè memutuskan untuk pergi ke Houston, Amerika Serikat, pusat industri minyak dunia. Tujuannya bukan sekadar kunjungan kerja, tetapi untuk mempelajari bagaimana negara lain bisa melakukan privatisasi perusahaan energi tanpa kehilangan kendali negara.
Dari perjalanan itu, ia membawa pulang satu kesimpulan penting, ENI harus menjadi perusahaan publik agar bisa dikelola dengan transparansi, profesionalisme, dan bebas dari tekanan politik.
Baca juga : Pembukaan LQ45 Hari Ini: SCMA dan INCO Ngebut, UNTR Loyo
IPO ENI
Antara tahun 1995 hingga 1998, ENI melepas 70% sahamnya ke publik. Pemerintah Italia tetap memegang “golden share” sebagai bentuk kontrol strategis, tetapi manajemen diberi kebebasan untuk menjalankan bisnis berdasarkan prinsip korporasi modern.
Dampaknya luar biasa, pemerintah memperoleh dana segar sebesar US$ 17,6 miliar, laba ENI melonjak menjadi US$ 3 miliar pada 1996, dan perusahaan itu resmi menjelma menjadi pemain global di sektor energi.
Kisah ENI memberi pelajaran berharga bahwa perusahaan milik negara pun bisa bangkit jika berani melakukan reformasi menyeluruh. Reformasi tidak selalu berarti privatisasi total, tetapi menciptakan tata kelola yang transparan, manajemen profesional, dan pengambilan keputusan yang berorientasi pada efisiensi bukan kepentingan politik.
Keberanian untuk berubah dan membuka diri terhadap mekanisme pasar menjadi kunci kebangkitan ENI dari krisis.
Kondisi seperti yang dialami ENI bukanlah hal baru di banyak negara berkembang. Tantangan utamanya selalu sama, bagaimana menyeimbangkan kepentingan publik, ekonomi, dan politik dalam satu wadah bernama “perusahaan negara.”
ENI membuktikan bahwa reformasi memang menyakitkan di awal, tetapi menyelamatkan di jangka panjang. Dari perusahaan yang nyaris bangkrut, ENI kini menjadi salah satu pemain energi paling berpengaruh di dunia.
Pertanyaannya, apakah Indonesia siap mengambil langkah seberani itu atau kita akan terus nyaman dengan sistem yang berjalan apa adanya?

Amirudin Zuhri
Editor
