Ketika Bumi jadi Pemegang Saham Utama Perusahaan
- Patagonia dan The North Face menawarkan dua jalan berbeda menuju keberlanjutan, dari aksi advokasi hingga perlindungan jutaan hektare lahan liar.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Dua merek perlengkapan outdoor paling berpengaruh di dunia, Patagonia dan The North Face, kini menjadi contoh menonjol tentang bagaimana perusahaan besar merespons krisis iklim dan tantangan konservasi global.
Meski bermain dalam industri yang sama, kedua brand tersebut menunjukkan pendekatan yang sangat berbeda dalam menjalankan tanggung jawab lingkungan. Patagonia memelopori reformasi kapitalisme dari dalam perusahaan dengan menjadikan planet sebagai prioritas struktural
Sementara The North Face dikenal berkat warisan filantropi besar-besaran dari pendirinya, Doug Tompkins, yang secara langsung membeli dan melindungi ratusan ribu hektar lahan liar di Amerika Selatan.
Perbedaan ini menjadikan keduanya model penting dalam diskursus global mengenai keberlanjutan dan peran sektor swasta dalam konservasi.
Patagonia, Bumi jadi Pemagang Saham
Dikutip dari laman resmi perusahaan, Kamis, 4 Desember 2025, Patagonia mengambil langkah radikal pada 2022 ketika pendirinya, Yvon Chouinard, menyerahkan seluruh kepemilikan perusahaan kepada dua entitas.
Mereka adalah Patagonia Purpose Trust, yang mengawasi integritas misi perusahaan, dan Holdfast Collective, sebuah organisasi nirlaba yang menerima seluruh keuntungan perusahaan untuk disalurkan kepada upaya perlindungan lingkungan.
Struktur ini menjadikan Patagonia sebagai salah satu perusahaan besar pertama yang secara eksplisit memosisikan bumi sebagai “pemegang saham utama”.
Dalam laporan keberlanjutan tahun fiskal 2025, Patagonia menyampaikan bahwa perusahaan telah menyalurkan lebih dari US$240 juta dalam bentuk hibah lingkungan sejak berdirinya.
Selain itu, perusahaan berhasil mendorong penggunaan bahan yang lebih ramah lingkungan, di mana 86% dari seluruh produknya kini dibuat dengan bahan ‘preferred’ seperti serat daur ulang dan kapas organik.
Komitmen terhadap ekonomi sirkular juga diperkuat melalui program perbaikan global, yang pada FY25 telah memperbaiki 174.799 produk, sehingga memperpanjang umur pakaian dan mengurangi limbah tekstil.

Patagonia mengakui bahwa tantangan terbesar terletak pada rantai pasoknya. Dalam laporan emisi terbaru, tercatat bahwa 92% dari total emisi karbon, setara dengan 182.646 ton CO₂e, berasal dari produksi bahan baku dan manufaktur.
Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan menetapkan target ambisius mencapai Net Zero pada 2040, termasuk memperluas penggunaan energi terbarukan pada pemasok tingkat awal.
Selain kegiatan internal, Patagonia juga aktif dalam advokasi lingkungan. Melalui platform Patagonia Action Works, perusahaan mengklaim telah memobilisasi lebih dari 1 juta aksi publik seperti donasi, petisi, dan kampanye digital yang mendukung kelompok-kelompok lingkungan akar rumput.
Salah satu komitmen terbaru adalah pendanaan US$1 juta bersama mitra untuk membantu Conservation Lands Foundation dalam melindungi jutaan hektar lahan publik di Amerika Serikat.
Langkah Konservasi The North Face
Tidak seperti Patagonia, pendekatan konservasi The North Face lebih banyak dibentuk oleh tindakan pribadi pendirinya ketimbang kebijakan perusahaan.
Doug Tompkins, yang mendirikan brand tersebut pada 1960-an sebelum kemudian menjualnya dan terjun ke dunia konservasi, bersama istrinya Kristine McDivitt Tompkins, mantan CEO Patagonia menghabiskan sebagian besar kekayaannya untuk membeli, memulihkan, dan melindungi kawasan alam liar di Chili dan Argentina.
Mereka membangun salah satu gerakan konservasi swasta terbesar dalam sejarah modern. Dikutip dari laman resmi The North Face, pasangan Tompkins membeli lebih dari 809.000 hektare lahan, yang mencakup hutan purba, padang rumput, dan kawasan pegunungan Andes yang kaya biodiversitas.
Mereka memprakarsai berbagai proyek restorasi ekosistem, termasuk penanaman kembali spesies asli, rehabilitasi lahan yang rusak, hingga reintroduksi satwa liar seperti puma dan rusa huemul.

Pada akhirnya, mereka menyerahkan 404.000 hektar lahan kepada pemerintah Chili, yang kemudian diperluas oleh pemerintah menjadi jaringan taman nasional baru seluas 3,6 juta hektar, setara dengan luas negara Swiss.
Upaya monumental tersebut menciptakan preseden global dalam konservasi swasta dan menjadi contoh bagaimana kekayaan pribadi dapat diubah menjadi warisan ekologis yang bersifat permanen.
Meskipun visi Tompkins tidak secara langsung tercermin dalam kebijakan korporat The North Face saat ini, karena perusahaan telah lama berada di bawah kepemilikan VF Corporation, dampaknya tetap membayangi reputasi brand tersebut.
Di tingkat perusahaan, The North Face tetap menjalankan berbagai inisiatif keberlanjutan operasional. Perusahaan menargetkan 100% bahan daur ulang, terbarukan, atau regeneratif untuk semua pakaian pada 2025.
Program The North Face Renewed memungkinkan konsumen mengembalikan produk bekas untuk diperbaiki dan dijual kembali, sementara pendekatan Circular Design memastikan setiap produk dapat didaur ulang di akhir masa pakainya.
Langkah-langkah ini menjadi bagian dari strategi perusahaan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku fosil dan menurunkan dampak lingkungan dari produksi tekstil.
Meski berbeda pendekatan, Patagonia dan The North Face menunjukkan bahwa kontribusi perusahaan terhadap lingkungan dapat hadir dalam banyak bentuk. Patagonia menekankan transformasi sistem bisnis melalui struktur kepemilikan yang unik, transparansi operasional, dan advokasi publik.
Sementara itu, warisan Tompkins menunjukkan bahwa tindakan filantropis yang berani dan terencana dapat melindungi bentang alam dalam skala yang hampir tidak mungkin dicapai oleh perusahaan biasa.
Kedua model ini memperkaya wacana global mengenai keberlanjutan korporat, sekaligus memperlihatkan bahwa sektor swasta memiliki peran penting dalam melindungi planet.
Di tengah meningkatnya tekanan terhadap industri mode dan outdoor terkait emisi karbon, penggunaan air, dan limbah tekstil, Patagonia dan The North Face menawarkan dua peta jalan yang berbeda namun saling melengkapi bagi masa depan konservasi dunia.

Chrisna Chanis Cara
Editor
