Jangan Kredit Motor Sembarangan, Bisa-Bisa Rugi Besar
- Sekitar 70% motor di Indonesia dibeli secara kredit, namun di balik cicilan ringan tersembunyi bunga tinggi, depresiasi nilai, dan jebakan finansial jangka panjang. Waspadai risiko kredit motor sebelum terjebak utang.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA - Sepeda motor sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Selain praktis dan ekonomis, motor dianggap solusi ideal untuk menembus kemacetan dan menjangkau wilayah sempit yang tidak bisa dilalui mobil. Namun di balik kepopulerannya, ada fenomena yang perlu diwaspadai, budaya kredit motor yang justru bisa merugikan finansial, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Berdasarkan data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) terbaru, sekitar 70% motor di Indonesia dibeli melalui skema kredit. Hal ini menunjukkan bahwa membeli motor secara cicilan telah menjadi norma sosial, bahkan dianggap sebagai langkah wajar bagi siapa pun yang butuh kendaraan pribadi.
Di balik iming-iming "DP 0%, cicilan ringan, cukup bawa KTP", terdapat sejumlah jebakan finansial yang bisa menyulitkan keuangan pribadi dalam jangka panjang. Dilansir TrenAsia dari berbagai sumber, Senin, 14 Januari 2025, berikut sejumlah resiko bila mengambil keputusan kredit motor.
Bunga Tinggi dan Biaya Tersembunyi
Lembaga pembiayaan motor atau leasing bukanlah bank, sehingga pengawasan bunga dan transparansi sering kali kurang ketat. Dalam banyak kasus, bunga kredit motor bisa mencapai 25%–30% per tahun. Ini jauh lebih tinggi dibanding bunga pinjaman perbankan.
Contoh riil, sebuah motor seharga Rp22 juta jika dikredit selama tiga tahun bisa menjadi Rp34,4 juta, selisih 56%. Selisih tersebut berasal dari kombinasi bunga tinggi, biaya administrasi, asuransi wajib, dan penalti jika telat membayar.
Yang lebih mengkhawatirkan, pada masa-masa awal cicilan, konsumen lebih banyak membayar bunga ketimbang pokok pinjaman. Artinya, meskipun sudah setahun mencicil, nilai utang pokok masih besar.
Kredit Motor Menggerus Keuangan Bulanan
Cicilan motor bisa menyita sekitar 30% penghasilan bulanan seseorang. Misalnya, seseorang bergaji Rp3 juta, lalu mencicil motor Rp900 ribu per bulan. Belum termasuk bensin, servis, pajak tahunan, dan biaya operasional lainnya. Akibatnya, ruang untuk menabung atau berinvestasi menjadi sangat terbatas.
Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan tekanan ekonomi, beban seperti ini bisa menjadi penghambat kemajuan finansial anak muda.
Depresiasi Nilai Motor
Motor bukanlah aset investasi. Setelah lunas dalam 3-4 tahun, nilai motor bisa anjlok hingga separuh atau lebih. Motor yang awalnya seharga Rp22 juta bisa turun menjadi Rp10-12 juta. Artinya, ketika dijual kembali, nilainya jauh dari harga belinya meskipun sudah lunas dan terawat.
Merek apapun dan jenis apapun tetap mengalami depresiasi tinggi. Maka, jika membeli motor dengan kredit jangka panjang dan bunga tinggi, konsumen justru bisa rugi dua kali yaitu membayar lebih mahal dan memiliki barang yang nilainya anjlok.
Ojol dan Kredit Motor
Banyak pengemudi ojek online membeli motor secara kredit dengan harapan motor tersebut bisa menjadi alat penghasil uang. Namun realitas di lapangan tak semanis harapan.
Pendapatan driver yang fluktuatif, biaya operasional harian, serta kebijakan potongan dari aplikasi sering kali membuat penghasilan bersih tak seberapa. Akibatnya, tidak sedikit ojol yang justru terjebak dalam utang motor, bahkan kehilangan kendaraannya karena gagal bayar.
Budaya konsumsi kredit, terutama untuk kendaraan roda dua, memang menggiurkan. Tapi tanpa perhitungan cermat, kredit motor justru bisa menjadi jebakan finansial. Banyak masyarakat tergoda DP 0% dan cicilan ringan, tanpa memahami dampak jangka panjangnya. Motor bukanlah aset investasi, melainkan barang konsumsi yang nilainya terus menurun.
Sebelum memutuskan membeli motor secara kredit, pertimbangkan kondisi keuangan secara jujur. Bila perlu, pilih motor bekas berkualitas dengan harga lebih terjangkau atau menabung terlebih dahulu untuk menghindari beban bunga dan cicilan berkepanjangan.

Muhammad Imam Hatami
Editor
