Tren Global

Gejolak Politik Jepang: Ishiba Lengser, Pasar Keuangan Bergerak

  • Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba resmi mundur hanya 11 bulan menjabat akibat kekalahan pemilu dan tekanan internal LDP. Nikkei 225 melonjak, yen melemah, dan nama calon pengganti mulai bermunculan.
colton-jones-_p8URGduyEg-unsplash.jpg
Jepang (unsplash)

TOKYO, TRENASIA.ID – Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba resmi mengumumkan pengunduran dirinya pada Minggu, 7 September 2025, hanya 11 bulan setelah menjabat. Keputusan tersebut dipicu oleh kekalahan beruntun dalam pemilu, tekanan internal Partai Demokratik Liberal (LDP), serta dinamika negosiasi perdagangan dengan Amerika Serikat (AS).

Ishiba mulai menjabat pada Oktober 2024. Namun, koalisi LDP bersama Komeito langsung kehilangan mayoritas di pemilu Dewan Perwakilan. Situasi kian memburuk pada Juli 2025, ketika koalisi juga gagal mempertahankan kursi mayoritas di Dewan Penasihat. Kekalahan ini diperparah oleh melonjaknya biaya hidup, terutama harga beras yang naik dua kali lipat, serta kekecewaan publik terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.

Kekalahan demi kekalahan memicu gejolak di tubuh LDP. Faksi sayap kanan, termasuk mantan Wakil Perdana Menteri Taro Aso, mendesak Ishiba mundur. Tekanan semakin kuat ketika dua tokoh senior, Shinjiro Koizumi (Menteri Pertanian) dan Yoshihide Suga (mantan perdana menteri), menemui Ishiba pada 6 September untuk mendesaknya segera mundur demi menghindari mosi tidak percaya internal.

Awalnya, Ishiba masih berusaha bertahan dengan alasan harus menyelesaikan negosiasi tarif mobil dengan AS. Namun, setelah Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk menurunkan tarif impor mobil Jepang dari 27,5% menjadi 15%, Ishiba menyatakan tugas utamanya sudah selesai dan memilih lengser.

Dampak ke Pasar Keuangan

Pengunduran diri Ishiba memicu respons positif di pasar keuangan Jepang. Indeks Nikkei 225 melonjak 1,7% ke 43.740,15, sementara Topix naik 1% dan mencatat rekor tertinggi baru. Kenaikan ini didorong ekspektasi adanya stimulus fiskal yang lebih besar dari pemerintahan baru.

Di sisi lain, yen melemah 0,7% ke ¥148,46 per dolar AS, mencerminkan sentimen bahwa kepemimpinan baru berpotensi meningkatkan belanja pemerintah. Pasar obligasi mencatat pergerakan beragam: yield JGB 10 tahun naik tipis ke 1,575%, yield lima tahun turun ke 1,1%, sementara obligasi jangka super panjang bertahan dekat rekor tertinggi akibat kekhawatiran defisit fiskal.

LDP akan menggelar pemilihan ketua darurat pada awal Oktober untuk menentukan perdana menteri baru. Sejumlah nama mulai mencuat, di antaranya Sanae Takaichi, politisi konservatif pro-“Abenomics” dengan agenda fiskal ekspansif. Shinjiro Koizumi, reformis muda dengan dukungan publik yang cukup kuat dan Yoshimasa Hayashi, juru bicara kabinet dari faksi moderat.

Dari ketiganya, banyak analis menilai Takaichi sebagai kandidat terdepan. Lembaga keuangan Morgan Stanley dan MUFG menilai kepemimpinannya akan positif bagi pasar saham berkat kebijakan pro-stimulus, meski berpotensi memberi tekanan pada pasar obligasi.

“Jika Takaichi terpilih, hal itu bisa dipersepsikan positif untuk ekuitas Jepang karena bias fiskalnya yang ekspansif,” ujar analis Morgan Stanley dan MUFG Securities, Takeshi Yamaguchi, dikutip Reuters, Senin, 8 September 2025.

Meski begitu, siapa pun yang terpilih sebagai perdana menteri berikutnya akan menghadapi tantangan berat. Koalisi pemerintah kehilangan mayoritas di kedua majelis, sehingga rentan terhadap mosi tidak percaya. Di sisi lain, kondisi fiskal Jepang semakin rapuh dengan utang publik yang kini mencapai hampir 250% dari PDB tertinggi di antara negara maju.

Sementara itu, kubu oposisi yang dipimpin Yoshihiko Noda dari Partai Demokratik Konstitusional berusaha memanfaatkan momentum ini untuk mendorong terbentuknya pemerintahan koalisi. Namun, perpecahan internal di oposisi masih menjadi hambatan besar.

Masa jabatan singkat Ishiba menjadi cerminan ketidakstabilan politik Jepang yang kian mendalam. Investor kini menanti arah kepemimpinan baru untuk melihat apakah Jepang mampu menjaga stabilitas ekonomi sekaligus meredam gejolak politik yang terus membayangi.