Tren Global

Efisiensi Anggaran di Prancis Bikin PM Lengser, Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik?

  • Perdana Menteri François Bayrou lengser setelah mosi tidak percaya. Krisis politik Prancis dipicu paket penghematan €44 miliar.
anthony-choren-lYzap0eubDY-unsplash.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Prancis saat ini menghadapi gejolak politik besar setelah Perdana Menteri François Bayrou tumbang akibat mosi tidak percaya di Majelis Nasional pada 8 September 2025. 

Kejatuhan Bayrou dipicu oleh rencana penghematan anggaran ambisius senilai €44 miliar (sekitar Rp848 triliun) untuk menekan utang nasional yang telah mencapai 114% dari PDB. Paket kebijakan tersebut mencakup pemotongan tunjangan sosial, pembekuan pensiun, hingga penghapusan dua hari libur nasional.

Namun, langkah itu ditolak keras oleh mayoritas partai oposisi. Koalisi sayap kanan Marine Le Pen dan sayap kiri radikal Jean-Luc Mélenchon bersatu menolak rancangan tersebut.

Hasilnya, mosi tidak percaya mengantongi 364 suara mendukung dan hanya 194 suara menolak, memaksa Bayrou mundur dari jabatannya. Kejatuhan Bayrou memperdalam krisis politik Prancis dan memaksa Presiden Emmanuel Macron mencari perdana menteri ketujuh dalam masa pemerintahannya. Oposisi bahkan mendorong pembubaran parlemen dan pemilu cepat, meski Macron berusaha menolak opsi itu.

Baca juga : Cengkeraman Luhut di Era Prabowo, Menkeu Purbaya Jadi Bukti Anyar?

Konteks Ekonomi dan Utang Prancis

Secara ekonomi, Prancis dibebani utang nasional sebesar €3,4 triliun (Rp56,6 kuadriliun) dengan defisit anggaran hampir dua kali lipat dari batas Uni Eropa yang hanya 3% dari PDB. 

Paket penghematan dianggap perlu untuk mencegah krisis fiskal yang lebih dalam. Meski pasar keuangan relatif tenang karena sudah mengantisipasi gejolak ini, lembaga pemeringkat internasional seperti Fitch, Moody’s, dan S&P Global sedang meninjau ulang peringkat utang Prancis. Jika peringkat diturunkan, biaya pinjaman pemerintah dikhawatirkan akan meningkat signifikan.

Bagi Macron, opsi yang tersedia juga tidak mudah. Ia bisa menunjuk figur dari kubu tengah-kanan, beralih ke Partai Sosialis moderat, atau memilih teknokrat. 

Tetapi semua opsi itu sulit menjanjikan mayoritas stabil di parlemen. Di sisi lain, desakan oposisi untuk menggelar pemilu dini terus meningkat, meskipun Macron berusaha menghindari risiko kekalahan koalisi pemerintahnya.

Baca juga : Emas Cetak Rekor Baru, Harganya Naik Rp26.000 Per Gram

Negara-Negara Lain dengan Pemotongan Anggaran Besar

Fenomena penghematan anggaran tidak hanya terjadi di Prancis. Beberapa negara lain juga menempuh kebijakan serupa dengan konsekuensi yang berbeda.

Di Argentina, Presiden Javier Milei sejak 2023 memberlakukan pemotongan drastis, termasuk pemecatan 30.000 pegawai pemerintah, pengurangan subsidi energi, dan penghentian proyek pekerjaan umum. Kebijakan ini berhasil menghasilkan surplus anggaran pertama dalam 14 tahun, sebesar 1,8% dari PDB pada 2024, meski memicu gelombang protes sosial.

Di Amerika Serikat, pemerintahan Donald Trump mendukung langkah kontroversial Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) yang dipimpin Elon Musk untuk memangkas anggaran federal sebesar US$1 triliun (Rp16.367 triliun). 

Reformasi ini ditujukan untuk mengurangi defisit US$1,8 triliun, dengan efisiensi birokrasi dan pemangkasan pegawai pemerintah. Namun, langkah tersebut menuai kritik keras, bahkan dianggap ilegal oleh oposisi.

Sementara di Vietnam, pemerintah berencana memangkas belanja hingga 113 triliun dong (Rp72 triliun) dalam lima tahun, mengurangi jumlah kementerian dari 30 menjadi 22, serta memangkas 100.000 pegawai negeri. Reformasi ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang menuju target sebagai negara berpendapatan tinggi pada 2045.

Indonesia menghadapi situasi berbeda. APBN 2025–2026 dikelola dengan prinsip kehati-hatian namun responsif, menekankan belanja sosial, subsidi energi, serta pembangunan infrastruktur produktif. Pemerintah menyebut APBN 2025 sebagai “benteng stabilitas” di tengah ketidakpastian global.

Meski demikian, Rancangan APBN 2026 menyulut perdebatan karena memangkas alokasi Transfer ke Daerah (TKD) hingga 29,34%, turun dari Rp650 triliun menjadi hanya 17% dari total APBN. Kebijakan ini dikritik DPD RI karena dinilai berpotensi melemahkan otonomi daerah dan memperlebar ketimpangan antarwilayah.

Berbeda dengan Prancis dan Argentina yang memilih penghematan drastis, Indonesia lebih mengandalkan strategi countercyclical, yaitu meningkatkan belanja pemerintah saat ekonomi melemah. Meski lebih aman secara sosial, pendekatan ini tetap menyimpan risiko, terutama terkait pengelolaan utang dan keberlanjutan fiskal.

Kejatuhan Perdana Menteri François Bayrou di Prancis memperlihatkan betapa rapuhnya keseimbangan antara disiplin fiskal dan stabilitas politik. Argentina, Amerika Serikat, dan Vietnam juga membuktikan bahwa pemangkasan anggaran besar-besaran membawa konsekuensi sosial dan politik yang tidak ringan. Indonesia, dengan pendekatan berbeda, berupaya menjaga stabilitas melalui APBN sebagai instrumen penyangga.

Namun, pemangkasan transfer ke daerah dalam RAPBN 2026 perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi otonomi daerah maupun kesenjangan ekonomi antarwilayah. Dari Prancis, pelajaran penting yang bisa dipetik adalah pentingnya komunikasi politik yang efektif serta dukungan parlemen dalam setiap langkah kebijakan fiskal. Tanpa itu, bahkan strategi yang dianggap “rasional” bisa berujung pada krisis politik yang mengguncang.