Tren Global

Di Balik Kemenangan Zohran Mamdani, Kota Miliarder New York Siap Uji Pajak Progresif

  • Kemenangan Zohran Mamdani sebagai Wali Kota New York menandai kebangkitan politik progresif. Ia menantang dominasi miliarder dengan agenda pajak orang kaya dan redistribusi ekonomi.
Mamdani.jpg
Zohran Mamdani. (Reuters)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Gelombang politik progresif di New York mencapai puncaknya pada tanggal 4 November 2025. Zohran Kwame Mamdani, anggota New York State Assembly sekaligus figur democratic socialist yang dikenal vokal soal isu ketimpangan, resmi memenangkan pemilihan Wali Kota New York City. Ia dijadwalkan dilantik pada 1 Januari 2026.

Kemenangan Mamdani dipandang sebagai tonggak sejarah sayap progresif Amerika, agenda kampanyenya terang-terangan menyodorkan kenaikan pajak bagi kelompok “super-rich”, perbaikan layanan publik, hingga program bus gratis, child care universal, dan paket kebijakan pro-affordability lainnya untuk menekan biaya hidup warga kota.

“Ini bukan kemenangan individu, ini mandat rakyat untuk menata ulang ekonomi kota,” ujar Mamdani dalam pidato kemenangannya.

Jika ada kota yang menjadi medan pertarungan ide soal pajak orang kaya, New York mungkin adalah panggung yang paling simbolis. Forbes 2025 mencatat, New York adalah kota dengan miliarder terbanyak di dunia: 123 miliarder tinggal di sana, lebih banyak dibanding Hong Kong maupun London.

Konsentrasi kekayaan ekstrem inilah yang membuat isu pajak progresif begitu sensitif. Narasi “ambil sedikit dari puncak piramida demi membiayai layanan publik” mendapat dukungan luas dari kelas pekerja dan pemilih muda yang telah lama menghadapi beban biaya hidup tak kunjung turun.

Laporan resmi “State of the NYC Economy 2024” yang dirilis NYC Economic Development Corporation menggambarkan potret ketimpangan tajam: indeks Gini tinggi, segregasi ekonomi terus mengeras, dan jurang akses terhadap perumahan, layanan vital, serta kesempatan ekonomi melebar.

Fakta-fakta tersebut menjadi bahan bakar emosional dan empiris bagi kampanye Mamdani, bahwa redistribusi bukan sekadar idealisme aktivis, melainkan kebutuhan mendesak untuk keberlanjutan sosial kota.

Baca juga : Zulhas Bilang Harga Pupuk Lebih Murah, Bisa Jadi Peluang Agro Start Up

Rencana Pajak Progresif

Dalam kampanyenya, Mamdani membawa paket kebijakan pajak progresif, mengincar kelompok kaya raya dan korporasi. Analisis pihak luar menyebut, skenario tertentu bisa menghasilkan sekitar US$9 miliar per tahun atau setara Rp145 triliun untuk mendanai layanan publik.

Di level negara bagian, sejumlah inisiatif legislatif sudah mengemuka pada 2025, antara lain, RUU “mark-to-market” untuk miliarder (S165), menerapkan pajak atas kenaikan nilai aset yang belum direalisasi. Kedua, penambahan tarif Personal Income Tax (PIT) untuk penghasilan sangat tinggi (S4437)

Namun, implementasi kebijakan kota seperti New York tak bisa berdiri sendiri, koordinasi dengan pemerintah negara bagian New York akan menjadi syarat mutlak.

Meski euforia pendukung progresif menguat, perlawanan terhadap kebijakan pajak kaya juga mengkristal. Sebagian kubu moderat Demokrat khawatir kota akan menghadapi eksodus kapital, pelarian modal, relokasi wajib pajak tinggi, hingga ancaman penurunan investasi jangka panjang.

Kelompok lobi yang didanai filantropi dan para mega-donor juga mulai menguatkan barisan. Narasi yang didorong: “kebijakan pajak agresif akan menggerus daya saing New York.”

Baca juga : Naik 0,69 Persen IHSG Ditutup di 8.394,59 Poin

Bayang-bayang Oligarki Politik

Dalam politik New York, sulit mengabaikan nama Michael Bloomberg, mantan wali kota, miliarder, dan salah satu donor politik paling berpengaruh. Jejak donasinya tercatat luas di OpenSecrets, baik untuk kampanye maupun organisasi independen (super PAC) yang dapat mengubah lanskap opini publik.

Figur seperti Bloomberg melambangkan kekuatan oligarki kota yang dapat memengaruhi wacana, regulasi, hingga jalur kebijakan fiskal. Jika Mamdani hendak “menaikkan tarif” bagi kaum super-rich, tarung politik melawan jaringan kekuatan inilah yang menjadi pertempuran berikutnya.

Think-tank seperti Empire Center for Public Policy sudah merilis analisis untung-rugi kebijakan pajak progresif di New York. Di satu sisi, pendapatan besar dapat memperluas layanan publik. Di sisi lain, risiko migrasi pajak, penurunan investasi, dan konsekuensi fiskal jangka panjang tak bisa diabaikan.

Kunci keberhasilan Mamdani kemungkinan terletak pada desain kebijakan yang cermat memastikan kota tetap ramah bagi investasi dan talenta, sembari menekan ketimpangan.

Kemenangan Zohran Mamdani mengirim sinyal kuat, warga New York, setidaknya sebagian besar pemilih, ingin kota yang lebih adil, lebih inklusif, dan lebih terjangkau bagi kelas pekerja.

Namun jalan menuju realisasi janji kampanye penuh tantangan. New York memasuki babak baru pertarungan ideologi: progresif vs oligarki, redistribusi vs kapital mobilitas tinggi.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah agenda perubahan diajukan, tetapi mampukah Mamdani mempertahankannya di hadapan tekanan politik kelas miliarder?