Tren Global

75 Tahun Perang Korea, Satu Bangsa, Dua Negara

  • Dalam 75 tahun terakhir, dua Korea berkembang sangat berbeda. Korea Selatan menjadi negara demokratis dan ekonomi ke-13. Sementara itu, Korea Utara tetap menjadi negara tertutup dan terisolasi.
Perang Korea.jpg

PYONGYANG - Tepat 75 tahun sejak pecahnya Perang Korea pada 25 Juni 1950, dunia kembali mengingat konflik brutal yang membelah satu bangsa menjadi dua negara yang saling berseberangan secara ideologis dan politik hingga hari ini.

Dimulai dari invasi Korea Utara ke Korea Selatan, perang ini melibatkan kekuatan internasional besar, pasukan PBB di bawah komando Amerika Serikat mendukung Selatan, sementara China dan Uni Soviet mendukung Utara. Perang berakhir pada 27 Juli 1953 hanya dengan penandatanganan gencatan senjata, bukan perjanjian damai, sehingga secara teknis perang ini belum pernah resmi berakhir.

Menurut data dari The Korean War Veterans Memorial Foundation, sekitar 1,2 juta tentara Korea Selatan dan 400.000 tentara Korea Utara gugur, sementara lebih dari 2 juta warga sipil menjadi korban, banyak di antaranya tewas, terluka, atau terpaksa mengungsi.

Setelah perang, Semenanjung Korea dibelah di sepanjang garis paralel ke-38, yang kemudian diperkuat menjadi zona demiliterisasi (DMZ), salah satu perbatasan paling ketat dan bersenjata di dunia hingga saat ini.

Perbedaan yang Makin Jauh

Dalam 75 tahun terakhir, dua Korea berkembang sangat berbeda. Korea Selatan menjadi negara demokratis dan ekonomi ke-13 terbesar di dunia (berdasarkan PDB), dengan kekuatan global dalam bidang teknologi, budaya pop (K-pop, K-drama), dan diplomasi.

Sementara itu, Korea Utara tetap menjadi negara tertutup dan terisolasi. Dipimpin dinasti Kim sejak 1948, saat ini di bawah Kim Jong-un, Korea Utara terus dikritik atas pelanggaran hak asasi manusia, program nuklirnya, dan represi domestik. Negara ini menghadapi sanksi ekonomi internasional yang berat, dengan rakyatnya hidup dalam kekurangan dan kontrol informasi yang ekstrem.

Harapan sempat muncul di tahun 2000-an dan 2018, ketika KTT antar-Korea dan pertemuan bersejarah antara Kim Jong-un dan Donald Trump membuka peluang diplomatik baru. Namun, perundingan damai itu gagal membawa perubahan konkret. Hubungan memburuk sejak 2020, dengan Korea Utara menutup perbatasan secara total sejak pandemi dan menghancurkan kantor penghubung antar-Korea di Kaesong.

Tahun ini, Pyongyang bahkan mengubah konstitusinya, menyatakan secara resmi bahwa reunifikasi bukan lagi tujuan nasional, menandai perubahan besar dalam sikap historis negara itu.

Generasi yang Terjebak di Antara

Ratusan ribu keluarga yang terpisah sejak 1950-an terus menua. Reuni keluarga yang sebelumnya dijembatani oleh Palang Merah dan pemerintah dua negara kini praktis berhenti sejak 2018.

Sementara itu, generasi muda Korea Selatan cenderung memiliki pandangan pragmatis. Survei Gallup Korea tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya 36% generasi muda menganggap reunifikasi sebagai prioritas utama, turun dari 64% dua dekade lalu. Isu ekonomi, kesejahteraan, dan stabilitas dianggap lebih mendesak.

DMZ tetap menjadi garis luka dan simbol kebuntuan. Tapi di tengah segala perbedaan dan konflik, suara-suara untuk damai dan kemanusiaan belum hilang.

Perang Korea mungkin telah berakhir di medan tempur pada 1953, tetapi di hati jutaan orang Korea, konflik itu masih nyata. 75 tahun telah berlalu, namun pertanyaan mendasar tetap menggema, apakah suatu hari satu bangsa ini bisa kembali bersatu?