Tren Global

75 Tahun Perang Korea, Bagaimana Dinasti Kim Bisa Bertahan?

  • Bagaimana sebuah keluarga bisa mempertahankan kekuasaan absolut selama lebih dari tujuh dekade di era modern? Jawabannya terletak pada kombinasi represi brutal, manipulasi ideologi, kultus individu, dan pengendalian penuh terhadap informasi serta militerisasi negara.
kim anak.jpg

PYONGYANG - Perang Korea yang tepat dimulai bulan juni 1950 atau sekitar 75 tahun lalu membuka jalan bagi terbentuknya dua negara dengan sistem politik yang sangat kontras. Korea Selatan berkembang menjadi demokrasi maju dan terbuka, sementara di utara, rezim Kim yang dimulai oleh Kim Il-sung telah membentuk dinasti totaliter yang bertahan kokoh hingga generasi ketiga di bawah Kim Jong-un. 

Bagaimana sebuah keluarga bisa mempertahankan kekuasaan absolut selama lebih dari tujuh dekade di era modern? Jawabannya terletak pada kombinasi represi brutal, manipulasi ideologi, kultus individu, dan pengendalian penuh terhadap informasi serta militerisasi negara.

Dilansir TrenAsia dari Ensiklopedia Britanica, Minggu, 29 Juni 2025, setelah Perang Korea (1950–1953) berakhir tanpa perjanjian damai, Kim Il-sung memanfaatkan kekacauan pascaperang untuk mengonsolidasikan kekuasaan. 

Melalui pembersihan politik brutal seperti Peristiwa Fraksi Agustus 1956, ia menyingkirkan rival-rival pro-Soviet dan pro-China, memastikan hanya kelompok loyalis yang tersisa di Partai Buruh Korea. Kim kemudian memperkenalkan ideologi Juche, "kemandirian nasional", untuk menjustifikasi isolasi dan otoritarianisme serta mengurangi ketergantungan pada Uni Soviet dan China. 

Perlahan, sistem kekuasaan pribadinya berubah menjadi monarki keturunan. Pada tahun 1974, Kim menunjuk putranya, Kim Jong-il, sebagai penerus, melanggar norma komunis internasional. Namun keputusan ini dibenarkan lewat propaganda tentang "Garis Keturunan Gunung Paektu", simbol revolusi Korea dan mitologi nasionalis.

Kultus Individu dan Isolasi Informasi

Dalam sistem kepemimpinan di Korea Utara, pemimpin bukan hanya kepala negara, tetapi dipuja bak sosok setengah dewa. Kim Il-sung dijuluki "Presiden Abadi" bahkan setelah wafat tahun 1994. 

Kim Jong-il dipuja sebagai "Pemimpin Terkasih" dengan narasi supernatural, seperti mampu mengontrol cuaca. Kim Jong-un menggunakan media dan sinematografi modern untuk membentuk citra pemimpin muda, kuat, dan progresif. 

Dengan rakyat yang diputus dari informasi luar dan pendidikan dikendalikan negara, narasi ini menjadi satu-satunya kebenaran yang diketahui masyarakat Korea Utara.

Fondasi terpenting kekuasaan Dinasti Kim adalah rasa takut. Sistem sosial Korea Utara dibagi dalam kasta Songbun, ditentukan berdasarkan loyalitas keluarga terhadap rezim. 

Mereka yang berasal dari keluarga “musuh negara” dibatasi hak hidupnya dan banyak dikirim ke kamp kerja paksa. Kim Jong-un memperkuat reputasi brutalnya dengan mengeksekusi pamannya, Jang Song-thaek, pada 2013. Lebih dari 140 pejabat tinggi lainnya dilaporkan dibunuh, termasuk dengan senjata antipesawat dan anjing lapar, meski banyak versi resmi sulit diverifikasi.

Narasi “dikepung musuh” menjadi salah satu pilar penting dinasti ini. Amerika Serikat dan Korea Selatan digambarkan sebagai ancaman eksistensial. Media negara rutin menayangkan film dokumenter anti-imperialis dan mempromosikan militerisasi sebagai kewajiban nasional. 

Pada tahun 2024, Kim Jong-un secara simbolik menghapus cita-cita reunifikasi dari konstitusi Korea Utara, menyebut Selatan sebagai "musuh utama". Bahkan Monumen Reunifikasi Nasional di Pyongyang dihancurkan, menunjukkan arah politik rezim kini condong pada konfrontasi abadi daripada rekonsiliasi.

Nuklir dan Kemewahan: Paradoks Rezim

Di tengah kelaparan dan kemiskinan rakyat, keluarga Kim hidup dalam kemewahan. Kim Jong-il dikenal mengoleksi ribuan botol anggur Prancis. Kim Jong-un membangun resor ski, taman hiburan, dan memiliki koleksi mobil mewah serta kapal pesiar. 

Sementara itu, pengembangan senjata nuklir dijadikan simbol prestise nasional sekaligus alat tawar dengan dunia luar. Rezim menampilkan uji coba nuklir sebagai bukti bahwa Korea Utara tidak tunduk pada tekanan Barat.

Selama 75 tahun sejak perang, Korea Utara berubah dari negara komunis revolusioner menjadi dinasti totaliter paling bertahan lama di dunia. Sistem ini bertahan bukan karena legitimasi rakyat, tetapi karena represi ekstrem dan pengawasan total, propaganda dan penulisan ulang sejarah, militerisasi dan isolasi informasi, serta pewarisan kekuasaan lewat kultus dan garis darah.