Tren Ekbis

Tarik-Ulur Rencana Moratorium Kenaikan Cukai Rokok

  • Wacana moratorium kenaikan cukai rokok selama tiga tahun kembali mengemuka dan memicu perdebatan. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyatakan keputusan soal tarif cukai bukan hanya ranah institusi tunggal, melainkan hasil koordinasi lintas direktorat.
Ilustrasi rokok.
Ilustrasi rokok. (imperial)

JAKARTA - Wacana moratorium kenaikan cukai rokok selama tiga tahun kembali mengemuka dan memicu perdebatan. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyatakan keputusan soal tarif cukai bukan hanya ranah institusi tunggal, melainkan hasil koordinasi lintas direktorat.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Djaka Budhi Utama menegaskan bahwa dalam perumusan kebijakan cukai hasil tembakau, pihaknya tidak berjalan sendiri.

"Dalam rumusan kebijakan cukai, Bea Cukai tidak berdiri sendiri, tapi berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal. Sehingga keputusan itu bukan hanya dari Dirjen Bea Cukai," katanya dalam APBN Kita Edisi Mei dilansir pada Rabu, 18 Juni 2025.

Adapun, usulan penghentian sementara kenaikan tarif cukai ini disebut-sebut sebagai langkah untuk memberikan napas bagi industri hasil tembakau yang saat ini menghadapi tekanan dari sisi produksi dan konsumsi. Namun, pemerintah menegaskan bahwa evaluasi atas usulan tersebut akan dilakukan secara menyeluruh.

“Usulan tersebut akan dilihat dari berbagai sisi: pengendalian konsumsi hasil tembakau, keberlangsungan industri dan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, serta pengawasan atas peredaran rokok ilegal yang setiap saat terus kami cegah,” tegas Djaka.

Di Persimpangan Dilema

Sebagai instrumen fiskal sekaligus pengendalian konsumsi, kebijakan tarif cukai rokok berada di titik tarik-menarik antara kepentingan penerimaan negara dan kesehatan masyarakat. Di satu sisi, cukai hasil tembakau menjadi salah satu kontributor besar APBN.

Berdasarkan data APBN Kita Edisi Mei 2025, penerimaan cukai   mengalami lonjakan signifikan. Realisasi cukai meningkat signifikan Rp90,3 Triliun atau 37% dari APBN. Salah satunya disebabkan oleh peningkatan konsumsi secara organik serta dampak dari penyesuaian kebijakan pelunasan pita cukai.

Pada tahun 2024, pelunasan dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan, sementara pada 2025 dipercepat menjadi dua bulan. Percepatan ini turut mendorong penerimaan cukai bulan Mei yang tercatat sebesar Rp17,1 triliun, tumbuh 146,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Jika dilihat dari Maret hingga Mei 2025, total penerimaan mencapai Rp50,6 triliun atau tumbuh 25,4% secara tahunan (year-on-year).

Kementerian Keuangan mencatat bahwa pertumbuhan penerimaan pada periode tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kebijakan penundaan pelunasan pita cukai yang lebih singkat. Bahkan jika dilakukan normalisasi, penerimaan di bulan Mei diperkirakan tetap menunjukkan tren kenaikan.

Namun sayangnya hingga kini Pemerintah belum memberikan kepastian soal keputusan akhir terkait wacana tersebut. Namun, sinyal dari Bea Cukai menunjukkan bahwa arah kebijakan akan mempertimbangkan keseimbangan antara penerimaan fiskal, perlindungan kesehatan masyarakat, dan dinamika industri nasional.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, Sahminudin, menyampaikan bahwa para petani berharap besar pada kebijakan Dirjen Bea Cukai yang baru. Menurutnya, kenaikan tarif CHT di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil dapat memicu efek domino yang merugikan, terutama bagi sektor padat karya seperti IHT.

Menurut Sahminudin, kebijakan tersebut dapat menunda potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan menjaga serapan hasil panen petani. Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap rokok ilegal yang memperparah kondisi petani.

“Otomatis mengurangi kebutuhan tembakaunya, jadi nanti langsung petani terdampak juga itu. Apalagi sekarang ini kan pemerintah kita bilang belum mampu menjaga rokok ilegal,” tambahnya.