Tren Ekbis

Subsidi Rp37 Triliun ‘Nyasar’ ke Dapur Orang Kaya, Gen Z Bisa Apa?

  • Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap fakta yang membuat alis terangkat. Sepanjang 2024, subsidi LPG 3 kg salah sasaran hingga Rp33,84 triliun. Sementara itu subsidi solar yang salah sasaran diperkirakan mencapai Rp4 triliun.
Skema Baru Subsidi Gas Melon - Panji 3.jpg
Nampak penjual tengah merapikan susunan tabung gas LPG 3Kg di sebuah agen gas kawasan Cipondoh Kota Tangerang.Kamis 5 Januari 2022. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Di dapur banyak rumah tangga perkotaan, tabung LPG 3 kilogram, yang populer disebut gas melon menjadi barang biasa. Ia berdiri di sudut dapur apartemen, rumah menengah, bahkan kos eksklusif. 

Padahal, sejak awal, gas hijau kecil itu dirancang negara sebagai alat perlindungan sosial, subsidi energi untuk rumah tangga miskin dan rentan. Namun audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap fakta yang membuat alis terangkat. Sepanjang 2024, subsidi LPG 3 kg salah sasaran hingga Rp33,84 triliun. 

Lebih dari satu miliar tabung dinikmati oleh kelompok non-penerima manfaat. Angka ini bukan sekadar statistik anggaran, tapi cermin kegagalan tata kelola dan persoalan etika subsidi yang dampaknya akan dirasakan generasi mendatang, terutama Gen Z.

Subsidi energi pada dasarnya adalah kontrak sosial, negara membantu yang lemah agar tetap punya akses pada kebutuhan dasar. Dalam praktiknya, kontrak ini bocor, kriteria penerima LPG 3 kg tak ditegakkan secara tegas, sehingga siapa pun, miskin atau mampu, bisa membeli gas melon melalui jalur resmi.

Di sisi lain, kebocoran juga terjadi pada solar/biosolar bersubsidi. BPK menemukan penjualan melebihi kuota, distribusi ke kendaraan yang tidak berhak, serta indikasi aliran ke sektor industri besar seperti pertambangan dan sawit. 

Potensi subsidi solar yang salah sasaran diperkirakan melebihi Rp4 triliun, belum termasuk indikasi kerugian negara dari aspek penetapan harga dan tata niaga. Dampaknya berlapis, potensi salah sasaran triliunan rupiah dan indikasi kerugian negara.

Masalahnya bukan hanya siapa yang membeli, melainkan mengapa sistem membiarkannya terjadi. Basis data penerima tidak terintegrasi, pengawasan di SPBU dan pangkalan belum konsisten, serta penegakan hukum kerap tertinggal dari kecanggihan praktik penyimpangan.

Baca juga : Panen Cuan Dividen Interim Akhir Tahun: Bedah Peluang BBRI dan ADRO

Mengapa Gen Z Perlu Peduli?

Bagi Gen Z, generasi yang akan menanggung utang ekologis dan fiskal, kebocoran subsidi merupakan biaya peluang yang hilang. Dana publik yang seharusnya dipakai untuk memperkuat fondasi masa depan justru habis menopang konsumsi kelompok yang tidak berhak.

Bayangkan jika Rp33,84 triliun subsidi LPG dan 4 triliun subsidi solar yang meleset sasaran itu dialihkan ke program-program strategis. Dengan asumsi biaya Rp20 juta per mahasiswa per tahun, dana tersebut setara dengan sekitar 2 juta beasiswa pendidikan, yang dapat membuka akses kuliah bagi jutaan anak muda dari keluarga berpenghasilan rendah. 

Di sektor mobilitas, jumlah yang sama dapat membiayai pembangunan ratusan kilometer jalur transportasi umum berkelanjutan seperti LRT atau BRT, mengurangi kemacetan, menekan emisi, dan membuat kota lebih ramah bagi generasi muda. 

Sementara di sektor energi, alokasi tersebut berpotensi menghadirkan ribuan megawatt pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), mempercepat transisi energi sekaligus menciptakan green jobs yang semakin relevan bagi Gen Z.

Ketika subsidi justru dinikmati oleh rumah tangga mampu dan industri besar, generasi muda kehilangan kesempatan atas pendidikan yang lebih terjangkau, kota yang lebih layak huni, dan udara yang lebih bersih. 

Lebih dari itu, persoalan ini menyentuh inti keadilan sosial, tidak adil jika keluarga berpenghasilan rendah yang seharusnya dilindungi malah ikut membiayai konsumsi energi mereka yang memiliki banyak kendaraan atau skala usaha besar.

Kisah gas melon dan solar bukan hanya cerita dapur. Ia terhubung dengan rantai pasok nasional dan kepentingan ekonomi besar. Di lapangan, praktik seperti pengoplosan, injeksi LPG, hingga pemanfaatan solar bersubsidi oleh industri mencerminkan celah pengawasan.

Upaya digitalisasi, mulai dari QR code hingga aplikasi belum sepenuhnya menutup celah. Sistem sering kali tidak sinkron dengan data kendaraan dan kependudukan. Tanpa integrasi lintas lembaga, teknologi justru menjadi tameng administratif alih-alih alat penertiban.

Baca juga : Kedubes AS Buka 40 Loker Lulusan SD, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Negara Sudah Bergerak, Tapi Tertatih

BPK telah merekomendasikan solusi, penetapan kebijakan berbasis data penerima yang jelas dan terintegrasi, serta penguatan pengawasan distribusi. 

Ombudsman RI mendorong perbaikan prosedur dan keselamatan distribusi. Sejumlah pemerintah daerah meminta Pertamina memperketat pengawasan dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum.tantangan struktural masih membayangi upaya perbaikan subsidi energi. 

Pertanyaan "Gas melon untuk siapa?" adalah pertanyaan etika. Apakah subsidi akan terus menjadi kenyamanan bagi yang mampu, atau benar-benar menjadi jaring pengaman bagi yang rentan?

Bagi Gen Z, isu ini sejalan dengan nilai yang kerap mereka perjuangkan, keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Subsidi yang tepat sasaran bukan hanya soal menghemat anggaran, tetapi tentang memilih masa depan apakah dana publik dipakai untuk menambal kebocoran hari ini atau membangun fondasi esok hari.

Reformasi subsidi energi adalah ujian keberpihakan negara. Selama data tidak terintegrasi, pengawasan longgar, dan penegakan hukum setengah hati, kebocoran akan terus berulang. Dan yang membayar mahal secara diam-diam adalah generasi muda.