Program 3 Juta Rumah Belum Mampu Angkat Sektor Properti
- Program 1 juta hunian vertikal di era presiden Prabowo Subianto yang harusnya akan berdampak positif dan signifikan terhadap pasar properti ikut tak berjalan sesuai rencana.

Debrinata Rizky
Author


JAKARTA - Senior Associate Director Colliers Indonesia, Ferry Salanto menyebut perkembangan program 3 juta rumah andalan Presiden Prabowo Subianto hingga April 2025 belum menunjukkan hasil yang nyata pada dunia properti.
Adapun dari target 3 juta itu katanya belum nampak sepertiganya atau setidaknya 1 juta per tahunnya. Bahkan program pendahulunya yaitu Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang ditujukan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar bisa memiliki rumah sendiri juga tak banyak peminatnya.
"Program 3 juta rumah secara umum progressnya belum kelihatan ya sampai saat ini,"katanya dalam Media Briefing Colliers secara virtual pada Senin, 14 April 2025.
- Cadangan Devisa RI Naik di Tengah Perang Dagang
- Gagal Bayar Rp210 M ke Nasabah, Inilah Perjalanan dan Sederet Prestasi Melania Credit Union
- Dewan Fatwa Mesir dan PBNU Buka Suara Terkait Fatwa IUMS Soal Jihad Lawan Israel
Sehingga menurut Ferry, Pemerintah harus segera bergerak untuk mendorong target program 3 juta rumah ini baik dengan pihak BUMN hingga swasta. Perlu adanya ketegasan pemerintah baik dari sisi siapa yang akan mengerjakan hingga ketepatan timeline penyelesaian pembangunan.
Pembangunan TOD Tak Sesuai Ekspektasi
Ferry membeberkan, program 1 juta hunian vertikal di era presiden Prabowo Subianto yang harusnya akan berdampak positif dan signifikan terhadap pasar properti ikut tak berjalan sesuai rencana.
Padahal menurutnya konsep hunian TOD (Transit Oriented Development) yang merupakan pengembangan hunian yang terintegrasi dengan sistem transportasi publik, dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih efisien, berkelanjutan, dan ramah lingkungan tak mampu menarik minat para pencari properti.
"Yang kita lihat saat ini justru masyarakat tampak khawatir dengan komitmen dari developer terutama perusahaan BUMN,"jelasnya.
Menurutnya ketidaktepatan waktu penyelesaian pada pembangunan menjadi hal utama yang akan berimbas pada penurunan daya beli hunian tersebut. Padahal skema hunian TOD ini bisa menjadi alternatif masyarakat yang ingin hunian yang tak jauh dari tempat kerja atau jantung kota.
Berdasarkan data Colliers Indonesia, jika dilihat dari kepemilikan apartemen di Jabodetabek selama tiga tahun terakhir, yield sewa apartemen relatif stabil, berada di -4%.
Alasannya di indonesia sendiri, apartemen sebagai instrumen investasi, masih kurang menarik dibandingkan obligasi dan deposito di mana gross yield masing-masing 7% dan 5%. Sedangkan take-up rate berada di 87,8%. Dari total 162 unit yang terjual, 90% nya berasal dari projek eksisting.
Dari sisi harga apartemen tertinggi ada di Jakarta Selatan karena projek under-construction berpusat di area ini. Diperkirakan harga apartemen akan naik 1-2% hingga tahun 2027. Harga apartemen Jakarta naik 0,1% QoQ menjadi Rp35,77 juta per m2.
Sedangkan di jenis apartemen sewaan, menurut Colliers tidak ada apartemen service baru yang beroperasi pada kuartal ini. Bahkan tingkat hunian turun menjadi 56,8%. Salah satu faktornya adalah kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, khususnya pada apartemen yang mayoritas penyewanya dari sektor pemerintah.
Dari sisi harga sewa di CBD naik 1% QoQ menjadi Rp 469.332 per sq m per bulan, sedangkan Non-CBD naik 2,8% QoQ menjadi Rp
407.701 per sq m per bulan. Diprediksi akan ada penyesuaian harga sewa di tahun 2025 ini diakibatkan adanya apartemen baru yang akan beroperasi.

Amirudin Zuhri
Editor
