Peta Masa Tunggu Haji di Indonesia: Antrean 10 hingga 40 Tahun
- Pergi haji kini bukan hanya soal biaya, tapi juga kesabaran menghadapi antrean 20–40 tahun. Kenapa antrean berbeda tiap provinsi, dan apa langkah pemerintah memperbaikinya?

Debrinata Rizky
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Pergi haji adalah impian banyak umat Muslim di Indonesia. Namun, realitas antrean yang panjang menjadikan perjalanan spiritual ini tidak hanya soal kesiapan fisik dan finansial, melainkan juga kesabaran menghadapi masa tunggu yang bisa mencapai puluhan tahun.
Data terbaru Kementerian Agama (Kemenag) mencatat, masa tunggu haji di Indonesia bervariasi tajam antarprovinsi. Ada yang relatif singkat sekitar 10 tahun, namun ada pula yang mencapai 30 hingga 40 tahun.
Di antara provinsi dengan antrean terlama adalah Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Calon jemaah di wilayah ini harus menunggu hingga empat dekade untuk bisa berangkat. Sementara itu, di provinsi besar seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatra Barat, masa tunggu berkisar 20 tahun. Adapun antrean tersingkat tercatat di Maluku Utara, Papua, dan Kalimantan Utara dengan rata-rata hanya sekitar 10 tahun.
Mengapa Bisa Beda-Beda?
Pertanyaan yang kerap muncul adalah mengapa masa tunggu berbeda, padahal kuota haji Indonesia ditentukan oleh pemerintah pusat melalui kesepakatan dengan Kerajaan Arab Saudi?
Menurut Kemenag, panjang-pendeknya antrean ditentukan oleh dua faktor utama: jumlah pendaftar dan kuota yang dialokasikan per provinsi. Dari total sekitar 221 ribu kuota haji per tahun, distribusi dibagi berdasarkan proporsi jumlah penduduk Muslim di tiap daerah.
Di provinsi dengan basis Muslim besar dan animo tinggi seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, jumlah pendaftar jauh melampaui kuota tahunan, sehingga antrean mengular hingga puluhan tahun. Sebaliknya, di daerah dengan jumlah pendaftar lebih sedikit, kuota relatif mencukupi sehingga jemaah bisa berangkat lebih cepat.
Faktor sosial-ekonomi juga berperan. Di wilayah dengan tingkat pendapatan masyarakat lebih tinggi, kemampuan finansial untuk mendaftar haji cenderung besar. Hal ini membuat antrean semakin padat.
Bisa Daftar di Domisili Lain?
Antrean panjang membuat sebagian calon jemaah berpikir untuk mendaftar di provinsi dengan masa tunggu lebih singkat. Namun, aturan resmi Kemenag menegaskan bahwa pendaftaran haji harus mengikuti domisili sesuai KTP dan KK.
Meski begitu, ada celah hukum berupa pindah domisili resmi dengan mengurus dokumen kependudukan. Regulasi memperbolehkan langkah ini selama dokumen sah. Namun, praktik ini memicu perdebatan karena berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi warga asli daerah dengan kuota terbatas.
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah tengah memperbaiki manajemen antrean haji. Salah satunya lewat digitalisasi Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) agar distribusi kuota lebih transparan.
Kemenag juga meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang realitas panjangnya masa tunggu. Selain itu, diplomasi dengan Arab Saudi untuk penambahan kuota terus dilakukan. Namun, ruang negosiasi terbatas karena kuota global ditetapkan berdasarkan 1% dari jumlah penduduk Muslim tiap negara.
Fenomena antrean haji di Indonesia bukan sekadar soal administrasi, tetapi juga menjadi ujian kesabaran. Mereka yang mendaftar di usia muda mungkin baru bisa berangkat setelah pensiun, sementara yang mendaftar di usia senja menghadapi risiko tak sempat berangkat karena faktor usia dan kesehatan.
Realitas ini mencerminkan ironi: semakin banyak umat Muslim ingin menunaikan rukun Islam kelima, semakin panjang pula antrean yang harus dilalui. Strategi mendaftar lebih dini bisa menjadi solusi, namun bagi yang sudah berada di antrean panjang, kesabaran adalah kunci utama.

Debrinata Rizky
Editor
