Tren Ekbis

PBB Naik Ugal-ugalan di Berbagai Daerah, Apa Urgensinya?

  • Dari Pati hingga Bone, gelombang protes PBB tunjukkan bahwa komunikasi publik sama pentingnya dengan besaran tarif
pajak pbb
Ilustrasi pajak (repro)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Gejolak sosial melanda Kabupaten Pati, Jawa Tengah, usai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%. 

Kebijakan ini memicu aksi protes besar pada 13 Agustus 2025 di Alun-Alun Pati yang diikuti puluhan ribu warga. Aksi sempat ricuh dan dibubarkan dengan gas air mata. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, mengkritik minimnya pelibatan publik dalam penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). 

Padahal, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan PP No. 45 Tahun 2017, partisipasi masyarakat wajib dilibatkan dalam kebijakan yang menambah beban warga. Meski Bupati Sudewo akhirnya membatalkan kenaikan dan menyampaikan permintaan maaf, unjuk rasa tetap berlangsung, sementara tuntutan mundur terhadap bupati menguat di tengah tudingan sikap arogan.

“Untuk PBB yang naik sampai 250%, sesuai arahan Menteri Dalam Negeri (Muhammad Tito Karnavian) dan Gubernur Jateng (Ahmad Luthfi), akan diturunkan. Itu juga sesuai tuntutan warga Pati,” ujar Sudewo dalam pernyataan resminya didepan awak media di Pati, dikutip Jumat, 15 Agustus 2025.

Baca juga : Membedah Lemahnya Penerimaan Pajak Pati Dibanding Kota Lain di Jateng

Fenomena Kenaikan PBB

Fenomena kenaikan PBB ternyata tidak hanya terjadi di Pati. Di Kota Cirebon, Jawa Barat, Paguyuban Pelangi Cirebon menolak kenaikan PBB hingga 1.000%. Di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Bupati Ngesti Nugraha menjelaskan kenaikan hanya berlaku untuk sekitar 45 ribu dari total 775 ribu Nomor Objek Pajak (NOP), umumnya di wilayah berkembang. 

Sementara di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, warga memprotes dengan membayar PBB menggunakan ratusan koin setelah tarif melonjak dari Rp300 ribu menjadi Rp1,2 juta. Bupati Warsubi pun berjanji tidak akan menaikkan PBB hingga 2027. 

Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, kenaikan PBB-P2 hingga 300% memicu bentrok mahasiswa HMI dengan aparat. Ketua DPRD Bone mengaku terkejut dan berjanji mengawal pembatalan, sementara massa siap menggelar aksi lanjutan jika tuntutan tidak terpenuhi.

Di berbagai daerah, permasalahan yang muncul bukan semata besaran kenaikan pajak, melainkan minimnya pelibatan publik dan kurangnya transparansi. Pemerintah daerah umumnya beralasan kenaikan dilakukan karena penyesuaian NJOP dan upaya meningkatkan pendapatan daerah. Namun, tanpa komunikasi yang baik, kebijakan pajak justru berisiko memicu krisis kepercayaan dan instabilitas sosial.

Baca juga : Demonstrasi Pati, Pajak dan Kedaulatan Rakyat

Untuk Apa Sebenarnya PBB?

Secara aturan, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sepenuhnya dikelola oleh pemerintah daerah. 

Dana tersebut merupakan salah satu pilar penting pembiayaan pembangunan sekaligus peningkatan pelayanan publik di tingkat lokal. Penerimaan dari PBB tidak hanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, drainase, dan penerangan jalan, tetapi juga menjadi sumber pendanaan utama sektor pendidikan dan kesehatan. 

Mulai dari pembangunan dan perawatan sekolah negeri, pemberian beasiswa, hingga peningkatan fasilitas puskesmas dan rumah sakit. Di sisi lain, PBB juga menopang pelayanan administratif seperti pengurusan dokumen kependudukan dan perizinan usaha, mendorong pertumbuhan ekonomi melalui dukungan terhadap UMKM, penyelenggaraan pelatihan kerja, pemberdayaan masyarakat, hingga pemberian bantuan sosial bagi kelompok rentan. 

Bahkan, sebagian anggaran bisa dialokasikan untuk menjaga kelestarian lingkungan, termasuk program penghijauan, pengelolaan sampah terpadu, serta pengendalian banjir yang berkelanjutan.

Namun, di balik peran vitalnya bagi pembangunan, dinamika di lapangan menunjukkan bahwa keberhasilan pemungutan PBB tidak hanya ditentukan oleh besar kecilnya tarif yang ditetapkan. 

Proses penetapan tarif yang transparan, adil, dan mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat menjadi sama pentingnya dengan besaran pajak itu sendiri. Begitu pula komunikasi kebijakan yang jelas, terbuka, dan melibatkan partisipasi publik akan memperkuat rasa percaya serta kepatuhan warga. 

Tanpa kedua aspek tersebut, kebijakan yang sejatinya dirancang untuk kemaslahatan justru berisiko memicu gelombang protes, penolakan, hingga menurunkan tingkat penerimaan daerah. 

Dengan kata lain, PBB bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan juga cerminan hubungan timbal balik antara pemerintah daerah dan warganya, di mana transparansi, keadilan, dan dialog menjadi kunci keberhasilannya.