Modal Satelit Makin Murah, Regulasi Jadi PR Industri Antariksa Indonesia
- Industri antariksa global tak lagi dimonopoli konglomerasi besar. Modal satelit kini lebih murah, peluang investasi terbuka lebar, namun regulasi masih jadi tantangan. Indonesia punya keunggulan strategis di garis ekuator untuk jadi pusat peluncuran.

Ananda Astri Dianka
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Industri antariksa global kini memasuki era baru. Jika sebelumnya hanya segelintir konglomerasi besar seperti Boeing dan Airbus yang mampu menguasai pasar, kini modal untuk masuk ke sektor ini semakin terjangkau.
Dalam lima tahun terakhir, sejumlah pemain baru bermunculan. Salah satunya adalah SpaceX dengan layanan Starlink, sebagai perusahaan yang relatif muda, valuasinya diproyeksikan akan mencapai US$1 triliun.
“Dulu membangun industri antariksa itu harus besar-besaran, sekarang dengan skala kecil pun dampaknya bisa signifikan,” ujar Ketua Umum Asosiasi Antariksa Indonesia & Direktur Utama Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Adi Rahman Adiwoso.
Modal Lebih Murah, Regulasi Jadi Tantangan
Kemajuan teknologi membuat investasi satelit semakin murah. Jika sebelumnya butuh dana ratusan juta dolar, kini perangkat satelit bisa dibangun dengan modal di bawah US$200.000. Bahkan, berbagai komponen dapat dirakit hanya dengan peralatan yang muat di atas meja kerja.
Namun, persoalan regulasi masih menjadi pekerjaan rumah. Adi mencontohkan, Badan Antariksa Selandia Baru mampu merampungkan regulasi hanya dalam 18 bulan, meski negaranya relatif kecil dengan area peluncuran hanya sekitar 3 hektare.
“Kita masih berkutat pada regulasi. Padahal peluang investasi di industri ini sudah sangat terbuka,” tegasnya.
Indonesia memiliki keunggulan geografis karena berada di garis ekuator. Posisi ini membuat Tanah Air sangat potensial sebagai pusat peluncuran satelit, sekaligus menjadi daya tarik bagi investor global.
Adi pun mendorong sinergi lebih kuat antar pemangku kepentingan, baik pemerintah, akademisi, maupun industri. “Kami merasa perlu ada wadah untuk mempertemukan semua stakeholder antariksa. Kadang-kadang program ada di mana-mana tapi tidak nyatu. Harus ada solusi untuk menyambungkan SDM dengan industrinya,” ujarnya.
Menurutnya, industri antariksa bukan hanya tentang membangun roket, tetapi juga menciptakan berbagai perangkat lunak (software) yang dapat mendukung ekosistem teknologi antariksa nasional.
“Industri ini sudah bukan niche, melainkan sektor besar dengan peluang ekonomi dan lapangan kerja yang luas. Indonesia harus segera memanfaatkannya,” pungkasnya.
Perbandingan Biaya Pembuatan Satelit
Sebagai informasi, dulu, membangun dan meluncurkan satelit identik dengan biaya selangit. Negara-negara besar atau perusahaan raksasa seperti Boeing dan Airbus menjadi satu-satunya pemain yang mampu menggelontorkan dana ratusan juta hingga miliaran dolar. Kini, gambaran itu berubah drastis.
Perkembangan teknologi membuat biaya pembuatan satelit semakin terjangkau. Untuk kategori CubeSat yang berukuran kecil, modal yang dibutuhkan hanya sekitar US$50.000 hingga US$500.000. Sementara itu, SmallSat dengan bobot di bawah 500 kilogram bisa diproduksi dengan kisaran US$500.000 hingga US$2 juta. Bahkan satelit kelas menengah, Microsat, saat ini dapat dibuat dengan biaya US$2 juta sampai US$5 juta, angka ini jauh lebih rendah dibanding satu dekade lalu.
Efisiensi biaya juga terjadi pada tahap peluncuran. Falcon 9 milik SpaceX saat ini mematok tarif sekitar US$67 juta per peluncuran, atau setara US$2.700 per kilogram menuju orbit rendah Bumi (LEO). Bandingkan dengan era sebelum SpaceX hadir, ketika biaya peluncuran bisa menyentuh lebih dari US$20.000 per kilogram. SpaceX bahkan menawarkan program rideshare, yang memungkinkan satelit mini ikut menumpang roket dengan biaya sekitar US$300.000 untuk kapasitas 50 kilogram.
Jika dibandingkan dengan penyedia lain, perbedaan biaya semakin terlihat. Rocket Lab Electron mematok harga sekitar US$7,5 juta per peluncuran, atau US$25.000 per kilogram. Orbital ATK Pegasus XL lebih mahal lagi, sekitar US$30.000 per kilogram. Sementara penyedia tradisional seperti Ariane 5 menelan biaya US$165 juta, dan roket Delta IV Heavy milik ULA bisa mencapai US$350 juta sekali terbang. Di sisi lain, SpaceX terus menekan harga dengan pengembangan Starship, yang ditargetkan bisa memangkas ongkos hingga US$100 per kilogram.
Indonesia pun sudah mulai merasakan mahalnya investasi satelit. Proyek SATRIA (Nusantara 3) yang baru diluncurkan pada 2023, misalnya, menelan biaya hampir US$550 juta atau sekitar Rp8 triliun. Sebelumnya, Nusantara Satu yang diluncurkan 2019 menghabiskan sekitar US$230 juta. Jika dibandingkan dengan tren global, biaya besar ini menunjukkan bahwa Indonesia masih bergantung pada teknologi satelit konvensional dengan ongkos tinggi.
Dengan menurunnya harga satelit mini dan efisiensi peluncuran, peluang bagi pemain baru di industri antariksa kian terbuka lebar. Namun, Indonesia masih dihadapkan pada pekerjaan rumah berupa regulasi yang belum rampung, sehingga potensi geografis di garis ekuator belum sepenuhnya dimanfaatkan.

Ananda Astri Dianka
Editor
