Kenapa Co-Payment Diterapkan? Ini Alasan Sistem Baru Asuransi di Indonesia
- Dengan skema ini, terlihat bahwa biaya langsung yang ditanggung peserta relatif terkendali. Batas maksimum diatur supaya di kasus klaim besar, nasabah tidak terkena potongan biaya klaim hingga puluhan juta rupiah. Di sisi lain, premi yang harus dibayar setiap bulan atau tahun diharapkan menjadi lebih terjangkau karena risiko keseluruhan bagi perusahaan asuransi berkurang.

Idham Nur Indrajaya
Author


JAKARTA - Belakangan ini, wacana penerapan skema co-payment dalam asuransi kesehatan komersial di Indonesia semakin mengemuka setelah aturan baru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diumumkan. Skema ini menuntut pemegang polis untuk menanggung sebagian kecil biaya klaim kesehatan, dengan tujuan mengendalikan lonjakan klaim dan biaya layanan medis yang meningkat tajam.
Penerapan co-payment dijadwalkan mulai berlaku pada 2026, dan memicu debat luas di kalangan pemangku kepentingan, pelaku industri, hingga konsumen asuransi.
- Dari Lereng Gunung ke Dunia Internasional: Desa Nglanggeran Buktikan Inovasi Bisa Dorong Perekonomian Lokal
- Butuh Modal Rintis Usaha? Cek Pembiayaan dari OCBC dan Ant International
- Cum Date Besok, Berapa Modal untuk Dapat Dividen PGAS Setara UMP Jakarta?
Apa Itu Skema Co-Payment dalam Asuransi Kesehatan?
Secara sederhana, co-payment adalah mekanisme di mana nasabah atau tertanggung harus membayar persentase tertentu dari total biaya klaim, sementara sisanya ditanggung oleh perusahaan asuransi.
Misalnya, dalam aturan OJK, nasabah wajib membayar minimal 10% dari total klaim, dengan batas maksimum Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap per pengajuan klaim.
Mekanisme ini mirip dengan praktik cost-sharing di banyak negara lain, termasuk Thailand yang baru-baru ini menerapkan aturan serupa untuk mengelola klaim berlebih dan biaya kesehatan yang melonjak.
Latar Belakang Penerapan: Biaya Medis dan Moral Hazard
Salah satu alasan utama di balik co-payment adalah kenaikan biaya layanan kesehatan yang terus meningkat, akibat inflasi medis dan pemanfaatan layanan yang berlebihan (overutilization). Data menunjukkan tren klaim yang naik signifikan, seiring dengan harga perawatan dan teknologi medis yang semakin canggih namun mahal.
CEO dan President Director PT MSIG Life Insurance Indonesia Tbk (LIFE) Wianto Chen memberi contoh, misalnya nasabah yang menerima total manfaat sebesar Rp35 miliar, dikenai biaya sebesar Rp35 juta saat ia sedang berobat.
Terkadang, dengan adanya total manfaat yang jumlahnya terlampau jauh dibanding biaya kebutuhannya, pihak rumah sakit menambahkan beberapa layanan yang tidak penting sebagai akhirnya terjadilah overutilization dan biaya klaim yang lebih tinggi daripada yang dibutuhkan.
“Berbeda misalnya dengan misalnya di negara Jepang, di mana orang itu harus membayar sebagian kecil dari klaim yang disepakati. Kalau misalnya ikut membayar, akhirnya kan mereka pasti akan mengecek detil layanan kesehatan yang diberikan. Kalau tidak, mereka mungkin tidak peduli karena berpikir semua biaya akan ditanggung asuransi,” ujar Wianto dalam acara peluncuran produk unit link Smile Optima Flexilink di Jakarta beberapa waktu lalu.
Tanpa mekanisme cost-sharing atau co-payment, perusahaan asuransi menghadapi risiko keberlanjutan finansial karena beban klaim yang tinggi. Selain itu, skema dan diharapkan mengurangi moral hazard, yakni kecenderungan tertanggung mengajukan klaim berlebihan jika tahu perusahaan asuransi menanggung sepenuhnya tanpa konsekuensi biaya sama sekali.
Regulasi OJK: SEOJK Nomor 7/2025
Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan Komersial.
Dalam dokumen ini diatur bahwa setiap pengajuan klaim rawat jalan maupun rawat inap harus menyertakan kontribusi minimal 10% dari total klaim atau batas maksimum seperti disebutkan sebelumnya.
Aturan ini hanya berlaku bagi produk asuransi kesehatan komersial, dan tidak diterapkan pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Penerapan efektif di tahun 2026 memberi ruang bagi perusahaan asuransi dan pemegang polis melakukan penyesuaian produk dan pemahaman sebelum diberlakukan.
Dampak terhadap Premi dan Keberlanjutan Industri
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dan beberapa pengamat menilai bahwa dengan adanya kontribusi tertanggung, risiko klaim berlebihan berkurang sehingga premi dapat lebih terjangkau bagi konsumen.
Bahkan, dengan premi yang lebih rendah, penetrasi asuransi kesehatan di masyarakat diharapkan tetap tinggi meski ada co-payment, asalkan dilengkapi pelayanan yang cepat dan efisien bagi nasabah.
Dari sisi keberlanjutan industri, mekanisme ini diyakini membantu perusahaan asuransi menjaga solvabilitas dan profitabilitas jangka panjang. Tanpa kontrol klaim, risiko bangkrut atau menaikkan premi drastis di masa depan semakin besar.
Dengan co-payment, perusahaan memperoleh sinyal untuk memonitor pola klaim dan mendorong pemilihan fasilitas kesehatan yang lebih rasional.
Membuat Premi Lebih Terjangkau
Budi Tampubolon, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), ikut menjelaskan dampak kebijakan ini bagi industri dan masyarakat.
"Co-payment ini bukan hal baru. Banyak negara sudah menerapkan skema serupa, bahkan beberapa produk asuransi kendaraan di Indonesia juga punya konsep di mana nasabah menanggung sebagian nilai klaim,” ujar Budi Tampubolon dalam konferensi pers paparan kinerja industri asuransi jiwa di Rumah AAJI, Jakarta, Rabu, 4 Juni 2025.
Secara langsung, co-payment membuat peserta asuransi membayar setidaknya 10% setiap kali mengajukan klaim. Misalnya, jika biaya rawat jalan Rp1.000.000, maka nasabah harus membayar Rp100.000, sedangkan sisanya Rp900.000 akan ditanggung oleh perusahaan asuransi—selama 10% tersebut belum melebihi batas Rp300.000. Jika biaya klaim Rp5.000.000, 10% berarti Rp500.000, namun karena ada plafon, nasabah tetap hanya membayar Rp300.000.
“Tadinya nasabah tidak bayar sama sekali untuk klaim. Sekarang, mereka memang mesti tanggung 10%, tapi kan maksimal cuma Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap,” jelas Budi Tampubolon.
Baca Juga: Nasabah Asuransi Harus Bayar 10 Persen Klaim Kesehatan, Beban atau Justru Meringankan?
Dengan skema ini, terlihat bahwa biaya langsung yang ditanggung peserta relatif terkendali. Batas maksimum diatur supaya di kasus klaim besar, nasabah tidak terkena potongan biaya klaim hingga puluhan juta rupiah. Di sisi lain, premi yang harus dibayar setiap bulan atau tahun diharapkan menjadi lebih terjangkau karena risiko keseluruhan bagi perusahaan asuransi berkurang.
Inflasi di sektor kesehatan—misalnya kenaikan tarif dokter, biaya obat, atau biaya kamar rumah sakit—seringkali mendorong jumlah klaim membengkak. Tanpa mekanisme co-payment, perusahaan asuransi dituntut menanggung seluruh biaya perawatan, yang otomatis menaikkan beban underwriting dan berujung pada kenaikan premi.
“Klaim terus naik, dan kalau perusahaan harus menanggung 100% klaim tanpa batas, tentu premi akan melonjak drastis. co-payment diharapkan menjadi mekanisme untuk menahan laju kenaikan klaim,” papar Budi.
Dengan adanya kewajiban co-payment, peserta akan lebih selektif menggunakan fasilitas kesehatan, terutama untuk kasus ringan yang sebenarnya bisa ditangani dengan alternatif lebih ekonomis (misalnya berobat ke klinik primer ketimbang rumah sakit).
Jadi, diharapkan jumlah kunjungan yang kurang esensial menurun, sehingga perusahaan asuransi bisa memproyeksikan harga premi lebih stabil walau inflasi medis masih tinggi.
Pandangan Pemangku Kepentingan
OJK menegaskan bahwa kebijakan ini adalah respons nyata terhadap lonjakan klaim dan biaya layanan kesehatan, serta untuk mencegah risiko moral hazard dan overtreatment. OJK memperingatkan bahwa tanpa intervensi, tren klaim yang terus naik bisa mengancam kelangsungan bisnis asuransi kesehatan.
AAJI mendorong perusahaan asuransi untuk mempersiapkan sosialisasi kepada nasabah, menyesuaikan produk, serta meningkatkan literasi konsumen terkait co-payment agar pemahaman lebih baik. AAJI percaya penerapan co-payment tidak akan mengurangi minat masyarakat membeli asuransi kesehatan karena keuntungan premi lebih rendah dan kesadaran konsumen terhadap biaya kesehatan semakin tinggi.
Selain itu, konsumen diimbau:
Membandingkan Produk: Periksa berbagai polis asuransi kesehatan komersial untuk memilih yang cocok dengan kebutuhan dan budget, termasuk memahami ketentuan co-payment.
Meningkatkan Literasi Asuransi: Pahami definisi, mekanisme klaim, syarat dan ketentuan co-payment, serta cara mengajukan klaim agar tidak ada kejutan biaya.
Memanfaatkan Fasilitas Digital: Banyak perusahaan asuransi menyediakan aplikasi untuk mengecek plafon klaim, menghitung estimasi co-payment, dan memantau proses klaim secara real-time.
Konsultasi dengan Agen/Perencana Keuangan: Tanyakan secara rinci implikasi co-payment pada rencana proteksi kesehatan jangka panjang, termasuk opsi tambahan seperti rider atau manfaat lain yang relevan.
Langkah-langkah antisipatif ini membantu konsumen agar tetap nyaman dan terinformasi saat skema co-payment diterapkan.
- Link Live Streaming Timnas Indonesia Vs China di Kualifikasi Piala Dunia 2026, Cek Rekor dan Skuad Kunci
- 13 Daftar Promo Makanan Spesial Iduladha 2025 dan Libur Panjang
- 4 Film Bioskop Indonesia Temani Libur Panjang, Ada Tak Ingin Usai di Sini
Pembelajaran dari Praktik Internasional
Di beberapa negara tetangga seperti Thailand, co-payment juga diterapkan untuk menahan laju kenaikan klaim dan mendorong kesadaran biaya di kalangan pemegang polis.
Secara global, cost-sharing dalam polis asuransi kesehatan menjadi salah satu instrumen bagi perusahaan untuk menjaga kestabilan keuangan sambil memberi insentif kepada pemegang polis agar lebih selektif dalam penggunaan layanan medis.
Namun, penting pula dicatat bahwa mekanisme ini perlu disertai pengecualian atau subsidi bagi kelompok rentan agar akses layanan kesehatan tetap terjamin.

Amirudin Zuhri
Editor
