Tren Ekbis

Ekonomi AS Tertekan Akibat Shutdown 2025, Indonesia Perlu Waspada

  • Shutdown pemerintah AS 2025 diperkirakan memangkas pertumbuhan ekonomi 0,1–0,2% per minggu dan mengancam PHK permanen. Meski terbatas, dampaknya bisa menjalar ke pasar global, termasuk Indonesia.
gedung putih.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Shutdown pemerintah Amerika Serikat yang dimulai pada 1 Oktober 2025 berpotensi memberikan tekanan besar terhadap perekonomian Negeri Paman Sam, bahkan dinilai lebih serius dibandingkan peristiwa serupa pada masa lalu. 

Selain memukul pertumbuhan ekonomi, kondisi ini juga membawa ancaman baru berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) permanen terhadap ratusan ribu pegawai pemerintah federal. 

Langkah penutupan sebagian operasi pemerintah dipicu oleh kebuntuan politik antara Gedung Putih dan Kongres terkait anggaran belanja. Namun kali ini, para ekonom memperingatkan bahwa dampaknya dapat lebih luas dan dalam, seiring kondisi ekonomi AS yang sudah rapuh akibat tingginya suku bunga dan perlambatan pertumbuhan lapangan kerja.

"Perekonomian benar-benar berada di 'ujung tanduk'," jelas Michael Linden, peneliti kebijakan senior di Washington Center for Equitable Growth dikutip AP News, Jumat, 3 Oktober 2025.

Pertumbuhan Ekonomi Tertekan

Shutdown diperkirakan akan langsung menekan aktivitas ekonomi Amerika Serikat. Analisis Oxford Economics menyebutkan bahwa setiap minggu shutdown akan memangkas 0,1 hingga 0,2 poin persentase dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) triwulanan AS. 

Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih (CEA) memperkirakan kerugian ekonomi sekitar 1US$5 miliar per minggu, sementara sekitar 750.000 pegawai federal akan menghadapi status tanpa gaji sementara (furlough). 

Bila shutdown berlangsung satu bulan penuh, pengeluaran konsumen bisa menyusut hingga US$30 miliar. Dampak ini menunjukkan setiap pekan shutdown membawa konsekuensi nyata terhadap laju ekonomi, mulai dari konsumsi rumah tangga hingga aktivitas bisnis yang terganggu.

 "Data ekonomi menunjukkan arah yang berbeda saat ini, yang kita tahu pasti adalah bahwa perekonomian menciptakan lebih sedikit lapangan kerja, pertumbuhan upah melambat, dan konsumen kelas menengah merasa terjepit." tambah Linden.

PHK Permanen

Berbeda dengan shutdown sebelumnya, pemerintahan Presiden Donald Trump mengindikasikan kemungkinan “Reductions in Force” atau pemangkasan tenaga kerja federal secara permanen. 

Ancaman ini menjadi perhatian utama para analis karena dapat mengubah dampak shutdown dari sekadar gangguan sementara menjadi penurunan daya beli jangka panjang. 

Jika PHK permanen benar terjadi, maka pasar tenaga kerja akan mengalami tekanan struktural yang lebih dalam, dan pemulihan ekonomi bisa menjadi lebih lambat.

Linden juga mengungkap menegaskan bahwa kebijakan ini dapat menciptakan efek domino terhadap konsumsi, tabungan, serta stabilitas sosial ekonomi.

Kondisi Ekonomi yang Rapuh

Shutdown juga terjadi dalam konteks ekonomi AS yang sudah tidak stabil. Pertumbuhan lapangan kerja menunjukkan tren perlambatan, sementara kebijakan suku bunga tinggi yang diterapkan oleh Federal Reserve masih membebani aktivitas bisnis. 

Di sisi lain, penutupan pemerintahan menghentikan publikasi data ekonomi resmi penting, seperti laporan pekerjaan bulanan dan inflasi. Kondisi ini menyulitkan pengambil kebijakan, pelaku pasar, dan investor untuk membuat keputusan strategis dengan tepat karena minimnya data acuan.

Ketidakpastian tersebut pada akhirnya meningkatkan volatilitas pasar keuangan dan memperbesar risiko perlambatan ekonomi secara keseluruhan.

Dampak terhadap Indonesia

Meski dampak langsung shutdown terhadap Indonesia diperkirakan tidak besar, pengalaman masa lalu menunjukkan adanya efek rambatan ke pasar keuangan domestik. 

Pada shutdown 2018–2019, nilai tukar Rupiah justru menguat 2,65 persen dan IHSG naik 5,67 persen seiring melemahnya dolar AS dan aliran modal ke pasar negara berkembang. 

Potensi penguatan Rupiah dan pengaruh positif terhadap IHSG mungkin kembali terjadi kali ini, terutama jika dolar AS melemah dan investor global mencari peluang di emerging markets. 

Namun, perlambatan ekonomi AS dapat berdampak terhadap ekspor Indonesia, mengingat AS merupakan salah satu mitra dagang utama. Oleh karena itu, pemerintah dan pelaku pasar perlu memperkuat fundamental ekonomi dan menjaga stabilitas makro untuk meredam potensi gejolak eksternal.

Shutdown pemerintah AS 2025 bukan sekadar drama politik di Washington. Jika berlangsung lama dan diikuti PHK permanen, kebijakan ini dapat menjadi pemicu pelemahan ekonomi yang lebih dalam, baik di dalam negeri AS maupun secara global. 

Bagi Indonesia, efek jangka pendek mungkin terbatas, namun kewaspadaan terhadap perubahan arah pasar global tetap diperlukan.