Tren Ekbis

Ekonom Ingatkan Jangan Terlena Euforia Pasar, Ritel Masih Berdarah

  • Penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi kabar gembira bagi investor di pasar modal. Namun ekonom mengingatkan bahwa di lapangan, sektor ritel domestik masih terhimpit keras.
<p>Calon pembeli memilih pakaian di salah satu kios pedagang pakaian bekas atau import di Pasar Senen Blok III, Jakarta, Jum&#8217;at 12 Juni 2020. Pasar yang tetap buka selama pemberlakuan PSBB dengan pembatasan jam operasional dari pukul 10.00 &#8211; 14.00 setiap harinya ini akan dibuka normal kembali pada Senin 15 Juni 2020 mendatang dengan aturan protokol [&hellip;]</p>

Calon pembeli memilih pakaian di salah satu kios pedagang pakaian bekas atau import di Pasar Senen Blok III, Jakarta, Jum’at 12 Juni 2020. Pasar yang tetap buka selama pemberlakuan PSBB dengan pembatasan jam operasional dari pukul 10.00 – 14.00 setiap harinya ini akan dibuka normal kembali pada Senin 15 Juni 2020 mendatang dengan aturan protokol […]

(Istimewa)

SOLO, TRENASIA.ID—Penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi kabar gembira bagi investor di pasar modal. Namun ekonom mengingatkan bahwa di lapangan, sektor ritel domestik masih terhimpit keras.

Daya beli masyarakat yang belum benar-benar bangkit, ditambah cara belanja yang sudah berubah total, membuat ritel konvensional makin terpuruk. Ekonom Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, mengatakan gerai-gerai di pasar tradisional kini makin sepi pembeli. 

Pergeseran ke belanja online, imbuhnya, sudah begitu masif hingga pedagang kehilangan pelanggan. "Bahkan di pasar-pasar tradisional, pedagang fashion datang hanya untuk ngobrol karena hampir tidak ada transaksi. Masyarakat desa sekalipun belanjanya lewat online," ujar Anton dalam keterangannya pada TrenAsia, Selasa, 16 Desember 2025. 

Yang bikin miris, lonjakan transaksi digital ini tak banyak menguntungkan produsen lokal. Anton mengungkap hal ini karena e-commerce dibanjiri produk impor, terutama fashion murah dari luar negeri. Alhasil, industri tekstil dalam negeri justru terpotong mata rantainya, dan penyerapan tenaga kerjanya pun jadi minimal.

Anton menilai langkah pemerintah menekan thrifting dan memperketat impor pakaian sudah tepat untuk melindungi industri lokal. “Yang penting, penegakan aturannya harus hati-hati supaya tak melanggar kesepakatan perdagangan bebas. Kalau marketplace bisa didominasi produk lokal, efek positifnya bakal jauh lebih besar dan berkelanjutan,” tutur dia.

Tunda Ekspansi 

Di tengah perubahan perilaku konsumen yang drastis dan daya beli yang masih lemah, Anton melihat pelaku usaha menjadi serba ragu. Banyak yang menunda ekspansi setelah sekian lama wait and see. “Hanya sedikit industri yang mulai berani bergerak lagi. Jelas, pemulihan ritel tak bisa cuma mengandalkan euforia bursa saham,” tegasnya. 

Lebih lanjut, stimulus fiskal seperti penurunan suku bunga dan penyaluran kredit Rp 200 triliun dinilai belum berdampak optimal dalam waktu dekat. Pengusaha dianggap belum tertarik ambil pembiayaan baru karena kondisi global masih bergejolak. "Perlu waktu sampai sektor riil menangkap kembali kepercayaan pasar. Setidaknya kita lihat lagi di triwulan pertama 2026," jelas Anton.

Pihaknya menekankan pentingnya kebijakan yang bisa membendung serbuan produk impor di platform digital. Perlindungan industri harus jadi agenda mendesak, karena hanya dengan itu manufaktur bisa kembali menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Meski begitu, Anton melihat peluang jangka panjang tetap ada asal pemerintah bisa menyeimbangkan perlindungan industri dengan transformasi digital. “Pemulihan ritel juga mesti dibarengi penguatan industri hulu agar rantai pasok domestik hidup kembali dan ekonomi nasional jadi lebih sehat,” kata dia.

Baca Juga: Proyeksi Ekonomi Indonesia 2026: Kejar Pertumbuhan 5,4%, Bertumpu Sektor Hijau dan Digital

Sejauh ini, perbaikan bertahap tampak mulai terlihat di beberapa sektor, termasuk pertanian yang terbantu program pangan nasional. Tapi untuk pemulihan menyeluruh, Anton menyebut konsistensi kebijakan yang berpihak pada industri dalam negeri tetap jadi kunci.

Anton meminta euforia IHSG jangan sampai membuat lupa bahwa kekuatan ekonomi Indonesia sebetulnya ada di sektor riil. “Kesuksesan pertumbuhan ekonomi 2026 sangat bergantung pada kemampuan pemerintah mendorong aktivitas industri, mengendalikan impor, dan memulihkan daya beli masyarakat,” ujarnya.