Dari Dapur Nusantara ke Rak Eropa, Tempe Indonesia dalam Peta Pasar Global
- Industri tempe global tengah naik daun, dengan Inggris menjadi pasar utama. Namun di Indonesia, produsen tempe masih menghadapi tantangan klasik seperti ketergantungan impor kedelai dan minim dukungan modal.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Industri tempe tengah mengalami momentum besar di pasar global. Di Inggris dan negara Barat lainnya, produk berbahan kedelai fermentasi asal Indonesia ini kini diposisikan sebagai makanan sehat premium yang ramah lingkungan.
Namun, kontras dengan booming tersebut, industri tempe di tanah air justru menghadapi tantangan klasik berupa ketergantungan bahan baku impor dan keterbatasan dukungan modal.
Kisah sukses Tiba Tempeh, sebuah startup asal Inggris, menjadi contoh bagaimana tempe bisa naik kelas di pasar internasional. Didirikan oleh pasangan Alexandra dan Ross Longton, perusahaan ini melaporkan lonjakan penjualan hingga 736% dalam setahun terakhir.
Pertumbuhan eksplosif itu membawa Tiba Tempeh masuk ke rak supermarket besar seperti Sainsbury's, Morrisons, dan Ocado, bahkan menembus pasar Eropa melalui jaringan Carrefour di Spanyol dan Prancis.
"Sejak awal kami sadar, tempe ini harus bisa dinikmati orang-orang di negara asal kami. Kami harus cari cara supaya tempe bisa 'tiba' di Inggris," jelas Alex, dikutip dari laman resmi Tiba Tempeh, Selasa, 30 September 2025.
Tak hanya soal distribusi, Tiba Tempeh juga berhasil menarik perhatian investor. Pada awal 2025, mereka mengamankan pendanaan sebesar £1,1 juta atau sekitar Rp29 miliar untuk ekspansi dan pengembangan produk baru. Strategi pemasarannya jelas, menempatkan tempe sebagai superfood sehat, minim proses, vegan-friendly, dan ramah lingkungan.
Baca juga : Bagaimana Sebenarnya Asal-usul dan Makna Pengibaran Bendera Setengah Tiang?
Pasar Global yang Kian Menggeliat
Booming tempe di Eropa bukan semata soal tren sesaat. Laporan publikasi FoodBev menyebutkan bahwa nilai pasar tempe global telah mencapai US$4,7 miliar pada 2024 dan diproyeksikan tumbuh menjadi US$6,3 miliar pada 2030. Inggris sendiri kini menempati urutan ketiga pangsa pasar tempe dunia.
Selain Tiba Tempeh, sejumlah produsen lain seperti Tempeh Man dan Tempeh Meades juga berusaha menjaga cita rasa otentik ala Indonesia. Mereka memproduksi tempe segar dengan masa simpan pendek, meski harus menghadapi tantangan distribusi.
Ironisnya, di negara asalnya, tempe masih lebih dikenal sebagai lauk harian murah meriah ketimbang produk bernilai tinggi. Pemerintah lewat BPS memproyeksikan, Industri tahu-tempe nasional tumbuh sekitar 10% pada 2025, terutama berkat konsumsi domestik.
Tantangan terbesarnya terletak pada bahan baku, lebih dari 85% kedelai Indonesia masih bergantung pada impor, dengan produktivitas lokal yang rendah dan rantai pasokan yang panjang.
Meski demikian, peluang ekspor tetap terbuka lebar. Pemerintah mulai mendorong pengrajin untuk menembus pasar internasional, salah satunya dengan produk olahan seperti tempe keripik dan tempe beku. Beberapa produsen, seperti Tempe Azaki asal Bogor, sudah lebih dulu merambah pasar luar negeri dan menempatkan tempe Indonesia di rak-rak global.
Baca juga : Instagram vs Realita Bali, Antara Pesona dan Kekacauan
Perjalanan tempe dari dapur rakyat Indonesia menuju rak supermarket internasional adalah kisah tentang transformasi citra dan nilai tambah. Di Inggris, tempe telah beralih dari sekadar lauk sederhana menjadi simbol gaya hidup sehat. Sementara di Indonesia, tempe masih berjuang agar bisa naik kelas dan tak hanya dipandang sebagai makanan rakyat kecil.
Jika tantangan pasokan dan produktivitas kedelai dapat diatasi, bukan tidak mungkin Indonesia bisa mengambil porsi lebih besar dari kue pasar global yang sedang tumbuh pesat ini. Tempe bukan hanya warisan budaya kuliner, tetapi juga bisa menjadi komoditas masa depan.

Muhammad Imam Hatami
Editor
