Industri

Tips Atur Porsi Investasi Reksa Dana dan Saham Saat Pandemi

  • JAKARTA – Kontraksi perekonomian global akibat COVID-19 membuat investor harus mengatur strategi guna menyelamatkan aset investasinya. Salah satu cara dengan menyeseuaikan alokasi aset portofolio ke instrumen investasi yang profil risikonya lebih rendah. Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya mengatakan untuk investor dengan profil risiko balanced, sementara ini disarankan untuk mengurangi […]

Ilustrasi investasi reksa dana saham saat pandemi.

Ilustrasi investasi reksa dana saham saat pandemi./ Pixabay

(pixabay)

JAKARTA – Kontraksi perekonomian global akibat COVID-19 membuat investor harus mengatur strategi guna menyelamatkan aset investasinya. Salah satu cara dengan menyeseuaikan alokasi aset portofolio ke instrumen investasi yang profil risikonya lebih rendah.

Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya mengatakan untuk investor dengan profil risiko balanced, sementara ini disarankan untuk mengurangi porsi saham dan mengalihkan ke obligasi demi menurunkan tingkat volatilitas portofolio. Dengan proporsi 25% reksa dana saham, 40% reksa dana pendapatan tetap atau obligasi, dan 35% reksa dana pasar uang.

Sedangkan untuk investor dengan profil risiko agresif idealnya memiliki portofolio yang terdiri dari 60% reksa dana saham, 25% reksa dana pendapatan tetap atau obligasi dan 15% reksa dana pasar uang.

“Hal terpenting yang dilakukan investor di masa apapun terutama yang baik dilakukan dengan kondisi saat ini adalah diversifikasi aset,” kata Ivan Jaya dalam keterangan resmi yang diterima TrenAsia.com di Jakarta, Rabu, 17 Juni 2020.

Selain strategi diversifikasi aset tersebut, Ivan juga merekomendasikan para investor untuk tetap aman berinvestasi dari rumah melalui digital yaitu lewat internet atau mobile banking.

Kondisi Terkini

Dalam penjelasannya, Ivan mengakui meskipun tengah terkontraksi, perekonomian Indonesia dapat dikategorikan lebih baik jika dibandingkan dengan stabilitas dan ketahanan ekonomi pada krisis 2008 maupun 1998 silam. Indikatornya dapat dilihat dari angka inflasi yang terbilang stabil dan bertahan pada kisaran 3%.

Angka ini dapat dikatakan rendah jika dibandingkan dengan angka inflasi pada krisis 2008 sebesar 12% dan 82% pada krisis 1998. Dari segi cadangan devisa, saat ini masih relatif lebih besar sehingga dapat diasumsikan menjadi amunisi kestabilan rupiah dan melambatkan pelemahan rupiah.

Sampai akhir Mei, cadangan devisa berada di level US$130,5 miliar, pada krisis 2008, cadangan devisa hanya tercatat US$50 miliar dan US$17 miliar pada krisis 1998.

“Ini setara dengan pembiayaan delama bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan melampaui standar kecukupan internasional selama tiga bulan,” tambah Ivan.

Dengan capaian yang cukup baik, Presiden Direktur Schroders Indonesia, Michael T. Tjoajadi optimistis bahwa pasar saham, akan rebound pada 2021 mendatang seiring dengan proyeksi pulihnya perekonomian global. Dalam beberapa minggu ini, bursa saham juga tercatat membaik akibat pembukaan lockdown  di sejumlah negara.

“Saat ini menjadi waktu yang tepat untuk berinvestasi. Ini memberikan kepercayaan, nantinya capital market di negara emerging market seperti kita juga akan memberikan harapan untuk investasi,” kata Michael. (SKO)