Industri

Indonesia Bisa Keruk Rp57 Triliun per Tahun dari Pajak Karbon

  • Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah meramu penerapan pajak karbon di Indonesia.

<p>Ilustrasi kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, di kawasan Gatot Subroto, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>

Ilustrasi kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, di kawasan Gatot Subroto, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

(Istimewa)

JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah meramu penerapan pajak karbon di Indonesia.  

Penerapan pajak karbon ini menjadi upaya baru untuk mengeruk penerimaan pajak yang merupakan tulang punggung penerimaan negara.

Rencana pengenaan pajak karbon ini diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022.

Ekonom Bahana Sekuritas Raden Rani Ramdana mengungkap pengenaan pajak karbon berpotensi mendatangkan penerimaan hingga Rp57 triliun. Angka itu setara 0,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Dengan asumsi tarif pajak sekitar US$5-10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi, penerimaan negara bisa mencapai RP57 triliun,” kata Raden dalam laporan Bahana Sekuritas, Rabu, 2 Juni 2021.

Untuk diketahui, pajak karbon merupakan bentuk pigouvian tax untuk mengkompensasi eksternalitas negatif dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Sebanyak 16 negara tercatat telah menerapkan regulasi ini.

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memang harus segera diterapkan Indonesia.

Bagai efek domino, kebijakan ini bisa membuat Indonesia mencapai target pengurangan 41% emisi karbon sekaligus mengeruk penerimaan negara.

Mamit menyebut tarif pajak karbon Indonesia perlu diberlakukan secara gradual. Pada awal penerapan, dirinya mendorong tarifnya agar tidak terlalu tinggi.

“Tarifnya perlu menyesuaikan daya beli Indonesia yang masih terdampak di tahun depan, jangan sampai terlalu tinggi untuk di tahap awal,” kata Mamit kepada Trenasia.com beberapa waktu lalu.

Besaran pajak karbon tertinggi diterapkan Swedia dengan 108,8 Euro atau Rp1,8 juta per ton emisi karbon. Di posisi berikutnya, ada Swiss dan Liechtenstein yang mematok pajak karbon paling mahal, yakni 90,53 Euro per ton emisi karbon.

Sementara itu, Jepang, Singapura, Perancis, dan Chile diketahui mematok tarif pajak karbon di kisaran US$ 3 hingga US$49 per ton emisi karbon.

International Monetary Fund (IMF) menyebut bila tarif pajak karbon Indonesia menyentuh US$75 per ton CO2, bakal terjadi kenaikan rata-rata harga energi. Sejumlah harga energi bakal melejit, antara lain batu bara (239%), gas alam (36%), listrik (63%), hingga bensin (32%). (RCS)